webnovel

Rumah Ketiadaan

Di dalam gua, aku mengambil tempat dan mengolah pernapasan, mengikuti Yogacara aliran Dignaga, yang mengatakan bahwa pengetahuan hakiki hanya dimungkinkan melalui yoga. Kuingat sebuah pelajaran dari Kitab Sang Hyang Kamahayanikan.

Jika dikau berada di gunung, di gua, di tepi samudera, di dalam rumah atau wihara, pertapaan, bahkan kuburan, hutan dan semacamnya dirikanlah rumah sunya rumah ketiadaan ...

Lantas kujelajahi duniaku, ruang dan waktuku, semampu daya usia uzurku. Apakah aku akan bisa mendapat jawaban dari masa lalu? Bagaikan masih tersisa aroma yang ditinggalkan Pendekar Melati, membuat aku sulit memusatkan pikiran dan mencapai anatman-keadaan tanpa diri dan tanpa jiwa, maupun sabhava, keadaan yang hakiki; tetapi masih bisa kugapai bhavana- meditasi yang mengembangkan pikiran. Apakah mereka yang masih mencariku setelah 50 tahun berlalu datang karena peristiwa Pembantaian Seratus Pendekar? Semula aku mengira mereka yang datang adalah keluarga, keturunan, ataupun murid-murid mereka yang terbunuh. Dalam dunia persilatan, kisah dendam membara bukanlah perkara yang aneh. Namun dalam Pembantaian Seratus Pendekar setiap orang datang tanpa paksaan dan pertarungan berlangsung dengan adil. Meski terkalahkan, setiap orang pralaya dengan terhormat sebagai pendekar. Bahkan orang-orang golongan hitam, yang tidak pernah dihormati meskipun ditakuti, seperti disucikan kembali jiwanya karena tewas dalam pertarungan tanpa kelicikan seperti yang selalu mereka lakukan. Aku baru sadar. Peristiwa yang kualami sekarang ini barangkali tidak ada hubungannya sama sekali dengan Pembantaian Seratus Pendekar. Namun juga sangat mungkin bahwa peristiwa itu dimanfaatkan demi suatu kepentingan. Aku sudah terlalu lama meninggalkan dunia ramai, tidak tahu menahu keadaan apakah kiranya yang paling mungkin berhubungan dengan perburuan diriku. Lagi pula dunia ramai orang-orang awam tidaklah pernah menjadi kepentinganku.

Masalahnya, orang-orang yang mengepung dan menghujaniku dengan anak panah berseragam tentara, orang-orang militer; dan meskipun regu pembunuh yang memasuki gua hanya berseragam hitam tanpa penanda kesatuan tertentu, aku tahu mereka adalah pasukan khusus yang dilatih untuk melaksanakan tugas-tugas menentukan. Kelima pemimpinnya pun jelas para perwira yang membawa pasukan tersebut. Apakah mereka masih berasal dari sebuah kerajaan yang dipimpin Dinasti Syailendra? Ketika aku meninggalkan dunia persilatan dan meleburkan diri dalam dunia ramai selama 25 tahun, sedang berlangsung pergolakan di Yawabumi, yang membuat saudara muda raja Samarattungga, Balaputradewa, menyingkir ke Suwarnadwipa dan akhirnya menjadi salah satu raja di kerajaan Sriwijaya. Sampai aku meninggalkan dunia ramai dan menghilang ke dalam hutan, Yawabumi sebelah timur dikuasai oleh Jatiningrat, menantu Samarattungga yang kemudian akan disebut Rakai Pikatan. Aku tidak terlalu yakin apa yang sebenarnya telah terjadi, apakah mereka bersengketa karena masalah perkawinan, bahwa Jatiningrat yang memeluk Siwa menikahi putri Samarattunga yang beragama Buddha, dan apakah perbedaan agama itu menjadi perkara sengketa. Aku menganggap perbedaan agama antara Balaputradewa yang memeluk Buddha Mahayana dan Jatiningrat sebagai pemeluk Siwa seharusnya tidak menjadi masalah, karena bagi rakyat jelata kedua agama itu tidak lebih sebagai kepercayaan asing yang datang bersama orang-orang asing. Jika kemudian raja-raja mereka memeluk agama asing, dan mewajibkan rakyatnya melakukan upacara-upacara keagamaan seperti agama?agama asing itu, rakyat jelata yang cinta damai tidaklah berkeberatan melakukannya demi keselamatan dan ketenangan. Dalam kehidupan sehari-hari rakyat jelata, perbedaan agama bukanlah suatu masalah -tetapi bagi para pemimpin dunia awam, agama dimanfaatkan sebagai penanda untuk membedakan golongannya sendiri dengan golongan lainnya. Bagiku, sengketa di antara para pemimpin hanyalah sengketa masalah kekuasaan. Agama hanyalah alasan untuk mendapatkan pengikut sebanyak?banyaknya. Hal semacam itu bagiku adalah kelicikan yang memuakkan. Aku menghilang tahun 846. Saat itu Balaputradewa telah pergi, tetapi agama Buddha tetap bertahan, bahkan berkembang, karena rakyat jelata memang tidak menolaknya. Bukankah Pramodawardhani, putri Samarattungga yang Buddha, permaisuri Jatiningrat yang Siwa, tahun 824 telah meresmikan candi jinalaya Kamulan Bhumisambhara yang mempunyai makna sepuluh tahap menuju Buddha? Itulah sebabnya aku juga selalu berpendapat, para pimpinan negara pun lebih sering menjadi korban permainan perebutan kekuasaan para pelaku di balik layar, yang saling bertarung dan beradu pengaruh atas nama agama. Ketika menyamar sebagai tukang batu, aku pernah bekerja untuk membangun candi Siwa maupun candi Buddha Mahayana, dan meskipun letaknya berdekatan, tiada pertentangan di antara para jemaatnya. Bahkan aku sering terperangah dengan pengarahan para acarya yang mampu memadukan citra keindahan Siwa maupun Buddha dalam pembentukan candi.

Saat aku menghilang, candi jinalaya Kamulan Bhumisambhara telah berdiri, candi raksasa bertingkat sepuluh itu dipenuhi dengan patung dan ukiran kisah?kisah ajaran Buddha. Ketika baru mulai dibangun, sekitar tahun 820 aku mengajukan diri sebagai salah satu dari beratus-ratus pengrajin yang bertugas menatah dinding dengan kisah-kisah tersebut dan dengan begitu aku menghayatinya kembali secara lebih mendalam, yang tidak kusangka ternyata berhubungan dengan ilmu silatku. Dari bawah sampai ke atas, Candi Kamulan Bhumisambhara menerjemahkan pencarian manusia atas hakikat kehidupan-betapa pergulatan nafsu dalam ketubuhan mesti di atasi dalam kesadaran untuk mencapai pencerahan, dan bahwa dalam pencerahan tiada lagi bentuk, tiada lagi diri, hanyalah alam awang-uwung yang tiada terterjemahkan dalam kebahasaan. Tiadalah mengherankan jika Jurus Tanpa Bentuk dianggap sebagai pencapaian yang paripurna dalam dunia persilatan. Segalanya terukir indah di Kamulan Bhumisambhara, dari segala macam bentuk kehidupan duniawi di tingkat terbawah sebagai pemenuhan indera, sampai kepada bentuk-bentuk penuh perlambangan atas peningkatan hidup dari tingkat demi tingkat di atasnya, menuju kepada stupa yang lurus menunjuk ke langit kosong tak bertepi. Jurus Tanpa Bentuk bagaikan langit bagi segala bentuk dalam semesta dunia persilatan -hanya mereka yang mampu melepaskan segala bentuk akan menguasai Jurus Tanpa Bentuk. Aku membuka mata. Belum kutemukan titik terang. Namun kini aku merasa tenang. Setidaknya telah kutemukan tempatku kembali di tengah alam setelah menutup diri 25 tahun di dalam gua. Jika perhitunganku tepat, aku sekarang berada di Yawabumi tahun 871. Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya kembali dengan sangat amat perlahan. Mestikah aku kembali memasuki dunia persilatan? Terlalu banyak hal masih menjadi teka-teki yang menuntut penuntasan.

***

Beberapa lama aku tenggelam dalam meditasi tidaklah kuketahui. Samadi melepaskan kita dari ruang dan waktu manusia-tetapi jelas tubuhku masih di dalam gua yang pernah dihuni manusia purba. Gua yang masih begitu bersih, seolah-olah baru kemarin mereka meninggalkannya. Kulihat gambar-gambar orang bergerak di dinding gua itu. Aku sudah sangat berpengalaman membaca berbagai gambar dalam kitab-kitab ilmu persilatan dan dengan mudah gerakan-gerakan itu segera bisa kubayangkan seutuhnya. Aku tidak akan mengatakannya sebagai gerakan tanpa bentuk, tetapi itulah gerakan-gerakan yang belum terbentuk. Apakah gerakan itu untuk menari? Aku taktahu pasti. Namun gerakan-gerakan itu dilahirkan oleh naluri terdalam, yang mewakili gerakan sukma sebelum manusia berbahasa. Aku memperhatikan lagi gambar-gambar dalam gua temaram itu. Kuangkat obor yang menyala pada ranting kering karena batu api untuk meneranginya, dan goyangan api membuat gambar-gambar itu bergerak. Hmm. Para manusia purba yang dahulu kala menghuni gua ini sebenarnya telah memahami dasar gerak dengan sempurna. Dengan dasar gerak itu seseorang bisa menari, bisa melakukan bela diri, bahkan juga bersamadi, hanya dengan memahami gerakan inti. Apakah gerakan inti itu? Tiada lain kediaman dalam gerak dan gerak dalam kediaman. Seperti Jurus Tanpa Bentuk, masalahnya berada dalam pemikiran. Dengan cepat kusapu seluruh gerakan yang tergambar pada dinding gua itu dan segera menguasainya.

Lantas aku keluar dengan cepat, melompat dan melesat ke udara terbuka. Ternyata aku tidak langsung meluncur ke bawah, karena aku menjadi sangat ringan, jauh lebih ringan dibanding jika aku menggunakan ilmu meringankan tubuh. Tanganku terulur lurus ke kiri dan ke kanan dengan jari -jari yang kurapatkan, kedua kakiku rapat dan tegak lurus, aku bagaikan sebuah patung dengan tangan terbentang, tetapi aku tidak meluncur ke bawah dengan cepat, bahkan serasa aku berada di luar hukum alam di bumi. Aku meluncur ke bawah dengan sangat pelan dan dengan perlahan aku berputar, berputar, dan berputar. Seperti berada di luar bumi, tetapi menjadi bagian pergerakan semesta. Aku mendengar gumam nyanyian puja para pendeta di telingaku, seperti irama yang menentukan kecepatan meluncurku. Seperti bergerak, tetapi diam; seperti diam, tetapi bergerak juga-karena memang bukan keduanya. Memang, aku menjelajah dalam Rumah Ketiadaan, sembari mengingat Samvarodaya-tantra. dalam rumahnya sendiri di tempat yang tersembunyi nyaman di pegunungan, gua, hutan, pantai lautan atau kuburan di candi Devi Ibu tempat dua sungai bertemu hasil tertinggi menjadi pencapaian mandala dalam perputaran Begitulah aku bagaikan mandala yang berputar karena pertemuan dua sungai dalam semesta batinku. Perputaran yang memberikan kepadaku kediaman gerak abadi. Sepanjang malam aku berputar tanpa merasa berputar dan meluncur ke bawah dengan ringan sampai mendarat kembali di atas bumi tepat pada saat fajar menyingsing. Langit di ufuk timur masih ungu ketika aku sudah melenting kembali dari batu ke batu kembali menuju dataran cadas di atas sana. Kabut berpendar dalam cahaya pagi dan seluruh dinding batu yang curam itu lambat laun bagaikan disepuh cahaya keemasan. Kutinggalkan kicau burung- burung hutan dan dari atas kusaksikan kerimbunan rimba raya yang telah menyembunyikan diriku selama 25 tahun. Rimba raya yang kutinggalkan untuk menghirup kembali rimba hijau dunia persilatan. Sebelum mencapai puncak, aku berbelok dan berlari miring sepanjang dinding untuk kembali menuju peradaban. Sungai telaga persilatan berada di ruang dan waktu yang sama dengan dunia orang awam meskipun dunianya begitu berbeda, sehingga dunia persilatan hanya tampak kepada orang awam sebagai suatu dongeng. Aku berlari cepat sekali, berkelebat tak terlihat seperti bayangan, yang membuat orang-orang awam hanya akan mampu merasa sesuatu berkelebat melaluinya tetapi tidak pernah berhasil menegaskannya. Begitulah aku mulai bertemu dengan para pencari kayu, pemetik buah, penjerat binatang, dan para pemburu, tetapi aku melewatinya saja, agar kehidupan mereka tidak terganggu. Dunia persilatan, meski menyenangkan didengar sebagai cerita pengisi waktu luang, nyaris selalu membawa persoalan sebagai kenyataan. Aku tidak ingin melibatkan orang-orang awam dalam persoalanku yang bahkan bagiku masih penuh dengan pertanyaan. Setelah melesat dan berkelebat dalam lindungan bayang-bayang yang serbamemanjang tibalah aku di sebuah jalan di pegunungan. Ini sebuah jalan raya antarkota, kukira inilah pintu masukku kembali ke dunia. Aku harus mendengar suatu percakapan agar mengenali kembali dunia yang telah kutinggalkan 25 tahun lamanya.

Di tepi jalan itulah aku duduk bersila bagaikan seorang pengemis tua, sambil membawa tongkat dan kulit buah waluh yang keras sebagai mangkok, siap menerima apapun yang diberikan sebagai sedekah dan memakannya. Memang para pendeta Buddha juga melakukannya sebagai ketentuan yang telah mereka terima, seperti pernah kubaca dalam Siksassamuccaya, catatan yang ditulis Santideva saat aku dilahirkan seratus tahun lalu. pakailah sarung dan perangkat Buddha yang hidup dari derma bawalah waluh dan tongkat peminta-minta kepala gundul, pakaian berwarna dan mangkok peminta-minta untuk menghilangkan keangkuhan agar bebas dari keangkuhan seseorang harus menjadi candala orang hina yang meminta-minta menerima apa saja yang dibuang menghormati gurunya berlaku baik agar pendeta lain suka. Aku bukanlah pendeta Buddha dan kepalaku tidaklah gundul, sebaliknya bahkan awut-awutan seperti gelandangan yang menjijikkan dan aku tidak mengenakan sarung melainkan sekadar kancut seperti orang sadhu, itu pun warnanya tidak jelas bisa disebutkan seperti apa. Aku hanya menjalankan peran seorang pengemis, seperti pernah kulakukan ketika meleburkan diri dalam kehidupan sehari-hari, dan itulah saat kuhayati kehidupan seorang candala yang hina dina. Orang-orang menghindar untuk memandangiku, setiap kali memandang kubaca tatapan penghinaan, anak-anak meludahiku, dan ibu-ibu tua bersikap mulia tidak lebih karena rasa kasihan. Ketiadaan penghargaan adalah makna hidup dalam kehinaan-dan bagi seorang pendeta yang mengolah akal kebijaksanaan, segera terbentang kelemahan perilaku manusia yang tidak perlu mereka ulang. Dari balik kelokan muncul seekor kuda yang dipacu laju. Kuda yang tegap dan perkasa itu berwarna hitam, tetapi penunggangnya mengenakan busana serba kuning, ikat rambut pita kuning, bahkan sarung pedang di punggungnya pun berwarna kuning keemasan. Meski kudanya dipacu laju, dari jauh aku tahu ia waspada atas kehadiranku. Kepalaku tunduk ke bawah seperti siap menerima nasib apa saja, tetapi aku sungguh-sungguh siaga. Sudah jelas penunggang kuda ini berasal dari sungai telaga dunia persilatan, dan sesama orang?orang persilatan sudah jamak bila akan saling mengenal dalam sekali pandang. Aku memang sudah menghilang dua puluh lima tahun, tetapi di dunia persilatan kisah-kisah menggemparkan seperti Pembantaian Seratus Pendekar terkadang memberikan rincian yang cermat tentang para tokohnya, sehingga ciri-ciri mereka menjadi sangat terkenal. Pengalamanku menyamar dan melebur dalam kehidupan awam menunjukkan betapa tidak begitu saja seseorang yang telah menapakkan jejak dan mendapat nama di rimba hijau bisa dengan mudah menghilang. Ketika menjadi pengemis aku mengira tiada seorang jua akan sudi memperhatikan aku. Hidup menggelandang dan tidur di sembarang tempat kukira merupakan cara yang terbaik untuk memghindari pandangan. Namun sebaliknya justru di sinilah keberadaanku di mana pun selalu dipergoki orang-orang Partai Pengemis.

Kuda yang melaju itu semakin dekat. Aku segera menandai bahwa penunggangnya bukan penduduk Yawabumi, dan tidak juga Suwarnadwipa, karena ia mengenakan pembungkus kaki yang oleh orang-orang asing disebut sebagai sepatu. Dari sarung pedangnya yang keemasan itu pun aku tahu pemiliknya bukan sembarang pendekar. Sarung pedang itu berukiran gambar naga-dan aku tahu akan begitu juga sisi-sisi pipih pedangnya. Hmm. Penunggang kuda itu tentunya seorang pendekar yang mewarisi Pedang Naga Emas!