"Wa, lo jangan bercanda deh. Ini nggak lucu, Wa," sahut Benny sembari tertawa kecut.
"Gue nggak bercanda, gue serius, Ben!" bentak Dewa. Benny pun merasakan ketakutan yang teramat sangat, tubuhnya terasa gemetaran. Dan tanpa ia sadari, Bonita telah memandangi dirinya dari belakang dengan senyum yang menakutkan, serta sebilah pisau tajam yang ada di tangannya.
Benny merasakan seperti ada sesuatu yang tengah mengawasinya. Ia sangat ingin melihat ke belakang. Namun, ia terlalu takut untuk melakukannya. Tapi, ia tidak punya pilihan lain. Dan akhirnya, Benny pun menoleh ke belakang. Ia sangat terkejut ketika melihat siapa yang ada di belakangnya. Orang itu adalah Bonita yang telah mengangkat pisaunya untuk membunuh Benny. Laki-laki itu pun lari dari gadis itu, ia tak peduli meskipun kakinya seringkali terantuk sesuatu akibat rumahnya yang begitu gelap. Benny berlari menuju ke luar rumah. Namun sayangnya pintu itu telah ia kunci, ia bahkan lupa meletakkan kunci pintu itu di mana.
Benny mendengar suara langkah kaki yang tengah menuruni anak tangga, suara itu semakin lama semakin dekat.
"Lo nggak bakal bisa sembunyi dari gue," gumam Bonita sembari tersenyum. Tak ada tempat lagi untuk bersembunyi selain di bawah meja. Benny pun terpaksa bersembunyi di sana meskipun sangat sempit.
"Sembunyi aja, dan gue pasti nemuin elo," gumam Bonita lagi sembari tersenyum licik. Ia sangat tahu bahwa Benny bersembunyi di bawah meja. Namun, ia sengaja mengulur waktu agar laki-laki itu keluar dengan sendirinya.
Setelah beberapa menit berlalu, Benny tak melihat sosok Bonita lagi. Tampaknya, gadis itu telah pergi entah ke mana. Benny pun keluar dari bawah meja pelan-pelan. Namun tiba-tiba muncul di hadapannya sepasang kaki mungil dan jenjang. Benny perlahan-lahan melihat ke atas untuk melihat siapa pemilik kaki itu. Laki-laki itu hanya bisa menelan ludahnya sendiri ketika melihat sesosok gadis dengan pisau yang ia angkat. Benny berusaha melarikan diri dengan merangkak. Namun, gadis itu cepat sekali menusukkan pisau ke mata kaki Benny. Rupanya, ia ingin membunuh laki-laki itu secara perlahan-lahan.
"Ben! Benny!" seseorang berteriak-teriak memanggil Benny sembari mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Suara itu adalah suara Dewa. Bonita mendengar itu, namun tak peduli sama sekali. Ia tetap melanjutkan aktivitasnya seolah-olah tak peduli jika Benny meregang nyawa.
Tak ada jalan lain, Dewa harus mendobrak pintu yang terbuat dari kayu itu. Ia mendobrak pintu itu beberapa kali hingga akhirnya pintu itu berhasil terbuka. Dewa sangat tertegun melihat kondisi Benny yang mengeluarkan begitu banyak darah dari kakinya.
"Benny!" seru Dewa sembari menghampiri Benny yang dalam kondisi tengkurap dan tak berdaya.
"Jangan peduliin gue ... lo harus kejar cewek itu ..." ucap Benny dengan lirih. "Jangan sampai dia lolos ..."
Dewa terdiam sejenak. Tampaknya, Benny bisa bertahan, karena yang terluka hanyalah kaki Benny. Dewa pun melepaskan jaketnya, dan mengikatkannya pada mata kaki Benny.
"Lo tunggu di sini, gue nggak bakalan lama," ucap Dewa. Ia pun berlari menuju ke arah luar, dan menyalakan motornya. Tampaknya, Dewa tahu ke mana gadis itu pergi ...
*****
Bonita kembali ke sekolah pada malam itu juga dengan sebotol alkohol di tangannya. Ia berusaha untuk menghapus bercak darah kering yang menempel di dinding toilet sekolahnya.
"Polisi bego banget ya, bercak darah yang segitu jelasnya aja bisa nggak tahu," ucap seorang laki-laki. Bonita pun menoleh ke arah laki-laki itu. Ia sangat terkejut ketika melihat sosok Dewa yang telah berdiri di daun pintu.
"Ng-ng-ngapain lo ke sini?!" tanya gadis itu, ia terlihat kebingungan ketika melihat Dewa. Tetapi, laki-laki itu terlihat menjawab dengan sangat santai.
"Gue? Gue cuma pingin lihat, apa yang dilakuin oleh seorang pembunuh untuk menghilangkan jejak? Ternyata begini ..." sahut Dewa.
"Gue bukan pembunuh!" seru Bonita dengan raut wajahnya yang terlihat sangat marah.
"Seandainya lo bukan pembunuh Shinta, terus apa yang lakuin barusan? Lo berusaha membunuh Benny, dan sekarang lo mau ngilangin jejak? Lo takut kan kalau polisi meriksa tempat ini lagi?" Dewa memberikan pertanyaan bertubi-tubi untuk Bonita yang tidak bisa berkata-kata lagi. Karena merasa telah kalah, Bonita kembali mengangkat pisaunya dan hendak menusuk Dewa. Namun, laki-laki itu berhasil menangkap tangan gadis itu.
"Lo ngincar Benny karena dia mengambil tongkat bisbol lo kan? Lo takut kalau darah Shinta muncul di tongkat itu kan?" tanya Dewa lagi.
"Harusnya orang yang lo teror itu gue, bukan Benny. Karena, gue yang nyuruh dia," lanjut Dewa. Laki-laki itu menahan tangan Bonita dengan kuat hingga gadis itu kesakitan dan menjatuhkan pisaunya. Bonita menangis tersedu-sedu di hadapan Dewa.
"Lo tahu, gue udah lama sahabatan dengan Shinta. Tapi, gue sakit hati sama dia. Dia udah nyakitin gue sama kata-katanya!" seru gadis itu sembari menangis. "Dia tiap hari marahin gue, menghina gue, nyuruh-nyuruh gue. Dan gue nggak tahan sama lagi sama dia. Makanya, gue ngelakuin ini,"
"Tapi, gue nggak menyesal udah bunuh dia," lanjut Bonita dengan senyumnya yang begitu miris. Dewa pun melepaskan tangan gadis itu, dan merasa sangat prihatin akan nasib gadis di hadapannya ini.
Memang benar, kata-kata kebencian itu lebih tajam daripada pisau yang setajam samurai sekalipun. Memang benar, untuk mengucapkan atau menuliskan kalimat kebencian itu tak membutuhkan waktu lama. Namun, orang yang dituju memerlukan waktu yang amat lama untuk melupakannya. Bahkan kemungkinan tidak akan pernah bisa melupakannya. Maka, tidak perlu heran jika setiap hari ada pembunuhan yang berlatarkan dendam ...
***** TBC *****