The Lingerie
Kami sampai di rumah Christ, kupikir dia akan membawaku kembali kerumah neneknya, tapi dalam keadaan babak belur seperti ini tentu akan sangat rumit jika kami kembali kerumah neneknya.
"Kau baik-baik saja?" Tanyanya begitu kami sampai di kamar Christ.
"Ya." Anggukku. "Duduklah akan kuobati lukamu." Aku memintanya duduk di sofa dan kuambil kotak obat untuk mengobati luka di sudut bibirnya. Saat aku kembali dengan kotak obat, Christ sedang menghubungi seseorang.
"Siapa yang bicara denganmu?" Tanyaku ragu, karena saat aku datang Christ segera mengakhiri percakapannya.
"Pengacaraku."
"Ada masalah?" Tanyaku lagi.
"Seseorang hampir mencelakaimu, apa kau hilang ingatan?" Tanyanya kasar, aku terkesiap, aku bahkan tidak menyangka dia akan semarah itu dengan pertanyaanku yang sangat sederhana.
"Maaf . . ." Aku tertunduk. Kubuka kotak obat dan kutuangkan alcohol diatas kapas kemudian menempelkannya ke luka Christ membuatnya menyeringai keskitan.
"Aw . . ."
"Aku hanya ingin membersihkan lukamu, bukan membunuhmu." Kataku kesal, kuulangi hal yang sama dan Christ tidak bereaksi meski aku yakin itu sangat menyakitkan. Setelah merasa lukanya bersih, aku mengoleskan obat dengan cottonbud.
"Aku akan memanggil dokter." Kataku setelah menyelesaikan semuanya sambil berdiri menenteng kotak obat itu. Tapi Christ meraih tanganku dan menarikku hingga aku jatuh kepangkuannya. Kami saling menatap dan Christ menundukkan kepalanya hingga dahi dan ujung-ujung hidung kami bertemu.
"Maaf aku sudah kasar padamu." Bisiknya. "Aku hanya merasa sangat frustasi saat tahu ada orang yang berusaha menyakitimu." Imbuhnya dengan tatapan kelam. Aku meraih wajahnya dan mencium ujung hidungnya.
"Aku baik-baik saja." Bisikku.
"Aku tidak bisa membayangkan jika aku terlambat beberapa menit saja."
"Jangan bayangkan itu, sekarang aku ada di sini." Ujarku, dan Christ menghela nafas dalam kemudian menghembuskannya kasar.
"Mulai sekarang kau akan pergi kemanapun dengan pengawalan ketat."
"What?!" Protesku.
"Aku tidak ingin berdebat." Dia menurunkanku dari pangkuannya dan berjalan ke kamar mandi.
"Aku akan memanggil dokter." Teriakku dan dia mengangkat tangannya, pertanda dia tidak menginginkannya.
Aku menghela nafas, entah ini salahku atau salah siapa, tapi yang aku tahu dia benar-benar marah padaku saat ini dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk membuat kemarahannya berakhir.
***
Aku berada dikamarku, kamar yang disediakan untukku saat aku berada di rumah ini. Setelah membersihkan diriku kuputuskan untuk meringkuk di atas ranjang. Percuma muncul di hadapan Christ dalam keadaan seperti ini, dia mungkin sangat kesal padaku hingga ingin menelanku mentah-mentah.
Brrrrtt Brrrrttt
"Hai . . ." Suara Ze terdengar di seberang, aku mendengar kepanikan dari sapaannya.
"Ze . . .maaf aku lupa mengabarimu." Oh, aku lupa mengabari Ze bahwa kami tidak jadi bertemu untuk berbelanja lingeri hari ini.
"Aku tahu, Christ sudah menghubungiku."
"Benarkah?" Tanyaku bingung.
"Aku menunggumu di tempat kita janjian tapi sudah sepuluh menit menunggu kau tidak juga datang. Kupikir Christ menjemputmu jadi aku menghubunginya dan menanyakan keberadaanmu." Ungkap Ze. "Dia curiga kau masih ada di kedai jadi dia mampir ke kedai, kebetulan dia sedang dalam perjalanan pulang. Apa kau tidak bertemu Christ?" Tanya Ze.
"Kami bertemu." Aku tidak ingin menceritakan kejadian buruk ini pada Ze, cukup kusimpan sendiri saja. Lagipula aku tidak ingin Ze panic jika tahu Justin yang melakukan semua ini padaku.
"Aku sedang di apartmentku, dan mendengar suara sirine mobil polisi. Saat aku melihat dari jendela, ada tiga orang keluar dari apartment Justin."
Oh aku baru ingat kalau apartment mereka berseberangan.
"Ada apa?" Aku pura-pura tidak tahu, tapi pengacara Christ tentunya bekerja dengan cara yang sangat cepat, bahkan tak butuh waktu dua jam untuk memenjarakan Justin kurasa.
"Justin dan kedua temannya diamankan polisi karena terlibat perkelahian di taman." Ujar Ze, andai dia tahu perkelahian itu terjadi antara Christ dan Justin untuk kedua kalinya.
"Oh." Kataku singkat, sangat singkat.
"Aku akan kekantor polisi untuk membantu Justin, mungkin dia bisa keluar dengan uang jaminan." Ucap Ze cepat. "Kau bisa meminjamkan uangmu Bell?" Tanyanya.
Aku tertunduk, menelan ludah, ini bagaikan buah simalakama.
"Ze . . ." Aku menyebut namanya dan Ze menjawab. "Ya."
"Justin berusaha menculikku dengan dua temannya, dan Christ datang lalu mereka berkelahi. Christ terluka, mungkin mereka bertiga juga, tapi aku selamat." Ujarku.
"WHAT THE FUCK!" Umpat Ze.
"Dan sekarang kau memintaku membayar jaminan untuk orang yang hampir mencelakaiku?" Tanyaku.
"Bella, aku benar-benar tidak tahu soal ini, maafkan aku." Sesal Ze.
"Aku akan bicara pada Christ untuk membatalkan tuntutannya, tapi aku tidak bisa menjanjikan apapun."
"Bella, tidak perlu lakukan itu. Justin sudah keterlaluan." Ze benar-benar mengkoreksi seluruh niatnya.
"Aku tahu kita berteman, dan kau berteman baik dengan Justin, akan kulakukan sebisaku. Bye Ze." Tutupku. Aku tidak ingin lagi mendengar apapun. Kuletakan ponselku di ranjang dan sekarang situasinya menjadi rumit. Jika aku memohon pada Christ untuk membebaskan Justin, Christ mungkin akan mendepakku keluar dari rumahnya juga dari kehidupannya. Tapi aku juga tahu Justin tidak sejahat itu, mungkin.
Aku berjalan ke arah lemari dan mengulak-alik deretan baju didalamnya. Seorang ahli perang pasti memiliki strategi, selain itu mereka juga memiliki senjata. Dan aku? Meski aku tak cukup pintar dalam bermain strategi, tapi aku yakin aku punya senjata di dalam lemari ini untuk meluluhkan Christ.
Oh, ini dia.
Aku segera memakai senjataku itu dan membungkusnya dengan outer yang lebih longgar kemudian berjalan dengan yakin keluar dari kamarku dan menuju kamar Christ.
Tanpa mengetuk pintunya kutarik handel pintu dan kubuka, Christ berbaring di ranjangnya. Saat aku masuk dia hanya menoleh sekilas padaku, kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke televisi yang menyala.
"Hei." Aku berjalan mendekat ke arahnya dan dia bergeming.
"Aku tidak ingin bernegosiasi soal apapun, jadi pergilah ke kamarmu dan tidur." Dia benar-benar ahli perang, dia bahkan tahu kalau aku akan datang ke kamarnya dan memintanya untuk bernegosiasi, bahkan sebelum satu katapun terucap dari bibirku.
"Aku hanya ingin melihat lukamu." Kataku masih berdiri, sementara dia berbaring memunggungiku.
"Aku baik-baik saja, lagi pula ini luka kecil." Jawabnya ketus.
Aku naik ke atas ranjang dengan sangat percaya diri meski resikonya adalah Christ mungkin menendangku turun atau malah dia yang turun dari ranjang dan menjauhiku, pergi keluar dari kamarnya.
Perlahan aku merangsek penuh dengan kehati-hatian, dan dia tidak berheming, hanya menoleh sekilas kemudian kembali melihat televisi. Aku berbaring di belakangnya dan memeluknya dari belakang, oh mungkin sekarang aku tampak seperti perempuan murahan yang sungguh sangat percayadiri, umpatku dalam hati.
Christ memang tidak membalik posisinya hingga membuatku bisa melihat wajahnya, tapi aku merasa tangannya menyentuh tanganku yang melilit pinggangnya.
"Aku tidak ingin bicara, kembali ke kamarmu dan tidur." Katanya dengan nada lebih lembut.
"Aku tidak akan bicara denganmu jika kau tidak ingin." Kataku pelan di belakang punggungnya. "Aku hanya ingin memelukmu." Imbuhku, dan benar saja, semua ahli perang akan luluh pada kelembutan perempuan dan kalah dalam peperangan yang sudah mereka rencanakan dengan matang hanya dengan begitu saja.
Christ mematikan televisi dan melempar remotenya ke sisi ranjang, kemudian memutar tubuhnya menghadapku. OK, aku sudah menang satu langkah setidaknya sekarang.
Kami saling menatap dan kulihat sudut bibirnya membiru, Justin sialan, tidak seharusnya dia membuat bibir sempurna Christ terluka sedemikian rupa.
"Apa kau akan baik-baik saja jika aku mencium bibirmu?" Tanyaku dan Christ tersenyum sekilas, mungkin pertanyaanku terdengar menggelikan baginya.
Christ menciumku lebih dulu sekilas sebelum akhirnya aku menyadari itu jawaban darinya.
Aku melepas tali outer lebarku dan menariknya begitu saja, memamerkan lingerie berwarna putih yang ternyata sangat sempurna di tubuhku tanpa harus kuhabiskan ribuan dollar dari rekeningku untuk membelinya.
"Seseorang pasti salah meletakkan pakaian ini didalam lemarimu." Christ menatapku tajam.
"Kau pasti sudah merencanakanya bukan?" Aku menyipitkan mataku padanya dan dia menggeleng.
"Mungkin, secara tidak sengaja." Dia mengangkat bahu.
"Kalau begitu mari kita realisasikan rencana anda Mr. Hudson." Aku merangsek ke atas tubuhnya dan duduk diatas pinggangnya
"Wow . . ." Christ meraih pinggangku. "Aku tidak menyangka kau mahasiswiku yang secerdas ini." Christ tersenyum dengan sedikit menahan nyeri di sudut bibirnya.
"Jangan banyak bicara, lakukan saja bagianmu." Kataku dengan sangat percaya diri, aku bahkan memerintahnya seperti seorang bos perempuan. Oh lihatlah siapa gadis ingusan yang sekarang tampil dengan sangat berani bahkan duduk diatas pinggang dosennya dengan sangat tidak sopan, aku tidak percaya diriku melakukan semua ini.
"Tidak untuk mala mini." Christ meraih tanganku dan menarikku hingga aku jatuh ke atas pelukannya. Dia memelukku kerat dan mengecup ujung kepalaku.
"Tidak untuk malam ini." Dia mengulangi kalimatnya, dan aku merasa baru saja dipecundangi oleh keadaan. Aku bahkan merasa diriku sangat sexy dengan lingerie putih ini, tapi Christ tidak menginginkanku?? Oh, betapa malunya dan frustasinya diriku saat ini.
Aku berusaha membebaskan diriku dari pelukannya dengan marah tapi Christ mempertahankanku di poisiku saat ini.
"Jangan marah." Bisiknya. "Aku akan memenuhi keinginanmu, tapi tidak malam ini." Bisiknya. Dia membuatku mendongak menatapnya dengan satu tangannya, kemudian mencium bibirku dengan lembut.
"Aku tidak menarik dimatamu?" Tanyaku dan dia menutup bibirku dengan telunjuknya.
"Aku akan menjelaskannya, tapi tidak malam ini, dan satu hal lagi, kau selalu menarik bagiku, lebih dari apapun." Ujarnya sebelum menjatuhkanku dengan lembut di sisinya kemudian menarik selimut untuk menyelimuti tubuhku dan memelukku dari luar selimut. Rasanya ingin marah dan kesal, tapi aku tidak tahu harus marah pada siapa dalam situasi seperti ini.
Aku membalik posisiku hingga memunggunginya, tapi Christ tidak melarangku. Dia hanya memelukku dari belakang dan terus menciumi pundakku yang tak tertutup baik oleh pakaian maupun oleh selimut.
"Aku tahu kau sangatkesal, tapi aku punya alasan yang sangat prinsip." Bisiknya, dan aku berusahaterpejam meski dalam keadaan hampir mati kesal dibuatnya.