Entah berapa lama aku kembali kedalam keheningan, tapi saat kubuka mataku aku merasa jauh lebih baik daripada saat pertama kali aku membuka mata. Meski begitu beberapa kali aku mengalami mimpi yang berulang tentang Lindsay Mc. Kurtney dengan pisau di tangannya yang mengayun tepat di dadaku dan itu sangat menyiksaku. Karena setiap kali aku terbangun dan menyadari itu hanyalah mimpi buruk.
Aku mendengar bahkan paramedic harus menyuntikan obat penenang untuku bisa tertidur pulas, dan aku benar-benar pulas kurasa.
Saat aku berusaha membuka mataku, kulihat seorang pria duduk di tepi ranjang rumahsakit tempatku berbaring. Dia dengan wajah yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar jambang dan kumisnya.
"Hei." Dia tersenyum ketika melihatku membuka mata. Aku perlu memikirkan beberapa saat sebelum aku mengenalinya, Christopher Hudson. Dia tampak tak terawat, sudah berapa lama aku seperti ini?
"Mr. Hudson" Bisikku lirih, ternyata aku tak punya cukup banyak tenaga untuk menggerakan jariku, apalagi menghambur ke pelukannya.
Kulihat matanya berkaca, dia menciumi tanganku dan mengusap rambutku. "Kau haus?" Tanyanya.
Aku menggeleng, meski rasanya kerongkonganku begitu kering, tapi masih bisa bangun dan melihatnya dalam keadaan baik-baik saja dan duduk dihadapanku, rasanya sudah lebih dari cukup.
"Aku akan memanggil dokter." Katanya sebelum menekan tombol dan tak lama paramedic datang. Satu orang dokter dan dua orang perawat. Mereka memeriksa kondisiku dan memintaku tetap rebahan karena luka di perut bagian kiriku belum cukup baik. Aku bahkan tidak menyadari ada luka di perut bagian kiriku, darimana lukanya? Apa yang sebenarnya ku alami? Aku bertanya-tanya dalam hati. Menunggu hingga aku punya cukup tenaga untuk bicara, karena hingga saat ini aku masih merasa sedikit kesulitan untuk bernafas tanpa bantuan oksigen, jadi kuputuskan untuk diam.
Yang paling ingin kulakukan hanyalah tetap membuka mataku dan terus melihat Christopher Hudson. Aku ingin mengatakan banyak hal, aku ingin mengatakan bahwa aku merindukannya, sangat merindukannya, aku juga ingin dia tetap berada di sampingku meski ketika aku jatuh tertidur karena suntikan obat penenang.
***
(Author POV)
Seorang pria masuk kedalam ruangan perawatan tempat dimana Isabella Stuart terbaring dalam tidurnya setelah menerima suntikan obat penenang.
"Mr. Hudson, anda bisa pulang untuk beristirahat."
"Aku akan tetap di sini." Tolaknya. Sudah enam hari sejak kejadian penyerangan membabi buta itu terjadi.
Pagi itu Christopher baru saja keluar dari kediamannya dengan mobil yang dikendarai supirnya. Lima menit berselang sebuah sedan berwarna putih masuk kerumah itu, siapa lagi kalau bukan Lindsey Mc. Kurtney. Tidak sembarang orang bisa melewati pos pengamanan yang dijaga lebih dari dua orang di gerbang masuk rumah Christ.
Lindsey langsung masuk, dia bahkan tampak sangat biasa kala datang ke rumah itu. Dia mengenakan blazer berwarna plum dengan rambut dikuncir ekor kuda.
"Dimana Christ?" Tanyanya pada seorang pelayan yang menegurnya saat masuk kerumah.
"Mr. Hudson haru saja berangkat ke kantornya nyonya."
"Oh." Wanita itu bahkan sempat duduk di ruang tamu.
"Tolong bawakan aku segelas jus kiwi." Ujarnya.
"Baik nyonya, silahkan duduk."
"Oh ya, kudengar Christ berkencan dengan seorang gadis, apa gadis itu ada di sini?"
Pelayan itu menelan ludah, jika dia berbohong maka nasib buruk akan datang padanya dalam hitungan detik karena amarah Lindsey bisa saja membuatnya babak belur.
"Em . . . ya." Angguknya.
"Dimana dia?" Tanyanya singkat.
"Di kamar Mr. Hudson." Jawab pelayan itu ragu.
"Ok." Lindsey tersenyum. "Bawakan aku jusnya segera, aku akan menunggu di sini."
"Baik nyonya." Pelayan itu pergi dari hadapan Lindsey dan saat itu juga wanita yang sedang mengalami ketidak stabilan emosi itu naik ke kamar Christ, membuka pintu kemudian menemukan Isabella yang berjalan memunggunginya.
Dia langsung menjambak rambut Isabella dan membenturkan kepalanya ke tembok dengan keras hingga wanita itu terhuyung dan jatuh ke lantai. Saat itu Isabella yang pingsan tak berdaya ditusuk dengan pisau yang sudah disiapkan Lindsey sejak dari kediamannya. Isabella menerima satu tusukan di perut kiri dan saat akan menusuk untuk kedua kalinya, pelayan yang curiga tidak menemukan Lindsey di meja ruang tengah segera berlari ke kamar tuannya. Melihat semua kejadian itu dia berteriak dan lima orang pengawal segera membantunya.
Lindsey akhirnya bisa dilumpuhkan, meski saat itu suasana menjadi sangat kacau karena Lindsey berusaha melukai dirinya sendiri.
Isabella dilarikan kerumahsakit dalam keadaan sekarat. Dia harus menerima empatbelas jahitan di perut kirinya, untung saja pisau itu cukup pendek hingga tidak melukai paru-paru dan organ lainnya.
Sesak nafas yang diderita Isabella karena Lindsey sempat menendang dadanya dengan stiletto hingga menyebabkan bagian dalam parunya mengalami luka dalam.
Saat ini Lindsey ditahan dengan tuduhan percobaan pembunuhan berencana dan sedang diperiksa dengan berbagai kemungkinan termasuk soal penyakit psikis yang dideritanya.
Enam hari sejak penusukan itu dan Isabella baru benar-benar dinyatakan sadar dan melewati masa kritisnya, sementara selama itu Christopher berada di rumahsakit dan tidak pernah meninggalkannya barang sedikitpun. Seluruh pekerjaan dikantornya dia serahkan pada asistennya.
Christopher yang biasanya tampak rapi kini tak lagi memikirkan dirinya. Dia terus berharap Isabella sadar dan bisa melewati masa kritisnya.
Di hari kedua pasca penusukan, Isabella bahkan sempat kehilangan denyut jantungnya dan harus dilakukan tindakan pacu jantung untuk mengembalikan detak jantungnya.
Saat itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Christopher Hudson meneteskan air mata. Penyesalan yang begitu mendalam mengapa dia meninggalkan Isabella sendiri di rumah pagi itu. Dan jika Isabella tidak selamat, maka Christopher Hudson akan mengutuk dirinya sendiri seumur hidupnya.