Sudah waktunya bagi saya untuk kembali ke kehidupan monoton saya. Saya kuliah, lalu bekerja paruh waktu, itulah rutinitas yang saya lakukan. Sisa waktuku kuhabiskan di apartemen Ze. Akhirnya saya harus berbagi biaya sewa apartemen dengan Zevanya karena sudah tidak memungkinkan lagi saya kembali ke asrama.
Saya duduk di kelas menunggu Pak Hudson setelah kemarin dia tidak mengajar dan hanya memberi tugas melalui email. Dia seharusnya datang untuk mengajar kami hari ini, dan sepertinya semua siswa mulai terlihat gugup karena dia biasanya tidak terlambat ke kelas, sedangkan hari ini dia terlambat beberapa menit.
Di saat semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, ada yang mengobrol, ada yang sibuk dengan ponselnya, saya duduk termenung, sementara ingatan saya terseret kembali ke kejadian kemarin sore di kedai kopi. Saya melihat wanita itu datang dengan blazer putih yang terlihat elegan dan membawa tas dengan warna yang sama. Dengan kacamata hitam, wanita itu datang ke bar dan bertanya tentang saya.
"Bolehkah saya melihat Ms. Stuart?" Wanita itu bertanya padaku dengan tatapan mengintimidasi. Aku merasakan tatapannya seperti menggelitikku.
"Aku." jawabku gugup.
"Bisakah kita bicara sebentar?" Dia bertanya dan saya menoleh ke Paman Bento, pria itu mengangguk memberi saya izin. Saya mengikutinya keluar dari toko dan mengarahkan saya ke mobilnya. Seorang pria berdiri di dekat pintu dan membukakan pintu untukku. Aku masuk diikuti oleh wanita itu dan kami duduk berdampingan sementara aku terdiam bertanya-tanya dalam hati, apa yang dia inginkan dariku.
Tatapan wanita itu lurus ke depan, "Saya Lindsey Mc. Kurtney." Dia memperkenalkan dirinya, seolah ingin menunjukkan siapa dirinya.
"Nona McCurtney." Saya menjawab, meskipun gugup dan gemetar, meskipun saya sangat ingin tahu apa yang dia inginkan dari saya, "Apa yang Anda inginkan?" tanyaku berusaha menyembunyikan kegugupanku.
"Kau cukup tidak sabar, seperti yang kupikirkan." Dia tersenyum skeptis. "Aku sarankan kamu menjauh dari mantan suamiku." Dia mengatakan langsung tentang tujuannya untuk bertemu dengan saya, dan itu cukup mengejutkan bagi saya. Dia adalah mantan istri Tuan Christopher Hudson?
Aku menelan ludah, "Apa maksudmu?" Tanyaku berpura-pura tidak mengerti apa yang dia katakan.
Dia menoleh ke arahku dan memelototiku, "Christopher Hudson." dia berkata.
Aku menelan ludah sekali lagi, tapi berusaha menyembunyikan kegugupanku darinya, "Mantan suamimu itu guruku, Bu." Aku menjawab.
Dia sepertinya mulai tidak sabar, "Jangan bertele-tele, aku tahu dia mendekatimu." Sesungguhnya.
Entah apa yang membuatku tidak mau menyerah begitu saja, "Kalau iya lalu apa?" Saya bertanya.
Rahang wanita itu mengatup, meski terlihat anggun, namun sekilas kulihat rahangnya yang tegas mengeras mendengar jawabanku yang menantang, "Berapa banyak uang yang kamu inginkan, aku akan memberikannya, asalkan kamu mau keluar darinya. penglihatan." Dia bilang itu seperti mengancam saya.
Aku menghela nafas dalam-dalam, mengapa semua orang menilaiku dari segi materi? Apakah saya begitu menyedihkan sehingga orang berpikir saya mengejar uang mereka daripada memiliki perasaan yang tulus? "Kupikir kau sudah tidak punya hubungan lagi dengan mantan suamimu. Jadi berhentilah menggangguku." Aku terhuyung-huyung keluar dari mobil, tetapi wanita itu mengucapkan kalimat yang membuatku berhenti.
"Beri tahu saya berapa banyak uang yang Anda butuhkan sehingga Anda dapat meninggalkan orang itu?" dia bersikeras.
"Aku tidak mengejar uang." jawabku tegas.
Wanita itu tersenyum sinis, "Aku sering melihat orang-orang sepertimu yang hidup seperti benalu. Atau lebih menjijikkan karena kalian adalah binatang pengerat yang dilahirkan di lingkungan kumuh yang selalu dilingkupi kelaparan. Bisanya kau bilang kau tidak membutuhkan uang? Kau tidak mengincar hartanya? Kau ini naïf atau hanya sok naïf?" Dia mentapku tajam.
Aku menggeleng tidak percaya, bagaimana wanita secantik ini bisa memiliki mulut yang begitu tajam dan menyakitkan, "Aku pikir anda wanita yang berpendidikan, elegan, tapi ternyata aku salah." Jawabku mengutarakan apa yang kurasakan dalam hatiku.
"Aku sudah memperingatkanmu, jangan salahkan aku jika kulakukan dengan caraku untuk menjauhkanmu dari Christopher." Katanya ketus.
Aku membalas tatapan tajamnya sekuat tenaga, menyembunyikan semua ketakutanku, "Silahkan lakukan apa saja yang anda inginkan." jawabku.
"Lihat saja apa yang bisa ku lakukan." Katanya dengan wajah memerah, dia benar-benar marah padaku.
"Aku permisi." Aku keluar dari mobil itu dan menutup pintunya dengan kesal. Dia benar-benar menghina kemiskinanku, dan aku tidak terima itu. Dia pikir dia bisa melakukan segalanya dengan uangnya.
"Mss. Stuart." Aku terhenyak dari lamunanku, dan kulihat pria itu berdiri di hadapanku. Aku menebar pandangan, dan semua orang sudah pergi? Tapi aku yakin, lamunanku tak hingga berjam-jam.
"Kemana yang lain?" Tanyaku.
"Aku meminta mereka ke perpustakaan." Jawabnya, dan aku langsung mengemas bukuku dan berniat untuk pergi ke perpustakaan juga.
"Tetap disini." Katanya.
"Maaf Sir, saya harus pergi ke perpustakaan, seperti siswa yang lainnya." Jawabku.
Dia menahanku tetap duduk di bangkuku, "Aku dosenmu dan aku memintamu tinggal." Tegasnya.
Aku menghela nafas dalam, kemudian duduk kembali dalam diam.
"Aku mendengar Lindsey menemuimu di kedai." katanya.
"Zevanya yang melaporkannya padamu?" Tanyaku kesal.
"Kau tahu situasimu sekarang, jadi jangan lari lagi dariku, pulang kerumahku nanti malam." Kalimatnya terdengar lebih seperti perntaih dibandingkan permohonan.
Aku menatapnya ragu, "Untuk apa?" Aku menautkan alisku, menatapnya "Supaya apa yang dipikirkan mantan isteri anda tentang saya menjadi mutlak benar?" Tanyaku.
Dia terlihat cukup kesulitan untuk menjelaskannya padaku, wajahnya memancarkan tatapan frustasi, "Kau benar-benar tidak tahu apa yang bisa dilakukan." Aku melihat sorot mata frustasi dibalik tatapan Mr. Christopher.
Aku menggeleng memberikan penolakan halusku padanya. "Maaf, tapi aku tidak bisa mengikuti keinginanmu." Jawabku.
Aku keluar dari ruangan itu dan meninggalkannya sendiri untuk menuju perpustakaan bersama mahasiswa lainnya. Tetap saja tatapannya, wajah itu, bibir itu, tidak bisa lepas dari benakku. Aku terus berjalan hingga sampai ke ujung lorong, dan disana tepat ponselku berbunyi.
"Halo Ze." Meski ponsel ini sudah sangat kuno, tapi masih bisa kugunakan.
"Kau mendengar kabar paman Bento?" Tanya Ze dengan suara panic.
"Tidak." Jawabku cepat.
"Dia baru saja dilarikan kerumahsakit karena serangan jantung."
"Tapi dia sangat sehat." Jawabku.
"Benar, dan sekarang puteranya Mr. Howard datang ke kedai dan mengatakan bahwa kedai sudah di jual, dan pemilik barunya akan menggunakan bangunannya untuk keperluan lainnya. Jadi hari ini kedai resmi di tutup."
"APA?!" Pekikku tertahan, saat itu Christ melintas dan apa yang dia katakana padaku soal kemungkinan apa yang bisa dilakukan oleh mantan isteri gilanya itu benar-benar terjadi.
"Ze, jangan menangis, kita akan menemukan solusi lainnya."
"Aku tidak bisa membayar sewa apartmentku jika aku tidak bekerja, aku juga tidak bisa memberikan uang untuk biaya sekolah adikku."
"Ya . . .aku mengerti, kita akan menemukan jalan." Kataku, dan saat itu kulihat Christ menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatapku.
"Aku akan menghubungimu nanti." Kataku, kemudian mengakhiri sambungan telepon kami. Aku berlari kea rah Christ.
"Katakan bahwa ini adalah ulah mantan isteri anda?"
"Sudah kukatakan, dia bisa melakukan banyak hal."
Aku menghela nafas dalam. "Aku akan menemuinya." Kataku dan Christ menarik lenganku.
"Jangan bodoh." Ujarnya.
"Dia tidak bisa menyakiti orang-orang disekitarku karenaku."
"Dia bisa saja menodongkan pistol di kepalamu dan menghabisimu tanpa ada orang yang tahu, kau mau itu terjadi?" Tanya Christ dan mataku membulat mendengarnya.
"Wanita itu . . ." Aku memegangi dadaku, tiba-tiba aku merasakan nafasku menjadi berat.
"Ikut aku." Christ membawaku turun ke lantai satu kemudian masuk kedalam mobilnya.
"Kita harus bicara, tapi tidak di kampus."
"Bagaimana dengan mahasiswa lainnya?"
"Eric bisa menghendelnya."
Oh Eric adalah salah satu mahasiswa yang di tunjuk menjadi penanggungjawab kelas.
"Mulai hari ini kau harus berada di rumahku, jangan pergi kemanapun." Christ memutar mobilnya keluar dari area kampus dan menyusuri jalanan menuju rumahnya.
"Aku mungkin aman didalam rumahmu, tapi bagaimana jika dia menyakiti orang-orang yang kukenal?" Tanyaku gusar. "Lagipula dia bebas masuk kedalam rumahmu bukan?"
Christ menoleh ke arahku sekilas. "Kau melihatnya?" Tanya Christ.
"Ya, malam itu." Jawabku lirih.
"Oh . . ." Christ menggelengkan kepalanya frustasi.
"Beberapa kali dia datang tapi hanya untuk mengambil barangnya yang tersisa, dan itu alasan mengapa aku masih memberinya akses."
"Anda tidak perlu menjelaskannya padaku."
"Menjadi perlu karena malam itu dia datang untuk mencarimu, dan aku mengusirnya."
"Mencariku?" Alisku bertaut.
"Sudah enam bulan terakhir dia berusaha mengajakku kembali rujuk tapi aku menolak."
Aku memegangi kepalaku, semua terasa begitu rumit sekarang.
"Jadi itu alasan dia memintaku menjauhi anda?"
"Jangan dengarkan apapun yang dia katakan."
Aku menghela nafas dalam. "Inti masalahnya ada padaku." Aku tertunduk.
"Ada padaku." Christ mengkoreksi.
"Aku akan menemuinya dan menyelesaikan semua kerumitan ini, kumohon."
Laju mobil Christ melambat dan berhenti di bahu jalan.
"Dia tidak akan melepaskanmu jika aku tidak melepaskanmu." Katanya. "Dan aku tidak akan melepaskanmu." Christ meraih wajahku dan menciumnya. "Never." Tegasnya setelah mencium bibirku.