Masih berurai air mata yang terlihat jarang menghiasi wajahnya, Soully kini tengah duduk sendiri di bangku taman dekat pusat kota. Dirinya menatap gedung-gedung pencakar langit yang seolah sedang mengelilinginya. Ia menoleh ke arah kanan dari pandangannya, gedung kantor yang masih terlihat walau dari jauh, ketinggian serta warna juga arsitektur gedung kantor itulah yang paling menonjol sehingga memudahkan Soully mengetahui jika gedung kantor itu adalah milik suaminya.
Semula, Soully tersenyum ketika ia mengingat bagaimana pertama kali dirinya bertemu dengan Yafizan. Bayang-bayang yang terjadi selama di kantor itu membuat ia tersenyum getir. Tak lepas, air matanya kembali melintas di pipi mulusnya itu. Namun tak lama kemudian, tatapannya menjadi sendu ketika ia menoleh ke arah kiri saat ia melihat lantai paling atas gedung apartement yang sama jauhnya namun masih terlihat jelas. Jendela kaca yang membentang itu, berharap seseorang melihatnya dari atas balkon. Air matanya meluncur deras ketika ia mengingat kejadian sebelum kakinya melarikan diri ke tempatnya sekarang.
Seseorang menepuk pundak Soully sehingga dirinya sempat berjingkat karena kaget. Soully menatap orang yang menyentuh pundaknya dengan air mata yang masih terurai.
"Nona Soully? Kau Nona Soully, kan?" tanya orang itu memastikan.
Soully mengerutkan dahinya. Perempuan berambut sebahu yang diikat kuda itu tampak familiar. Segera ia mengusap air mata yang masih membasahi pipinya.
"Ya ampun, benar ini kau!" pekiknya. "Ke mana saja kau selama empat hari ini, Nona?" sudah ikut mendudukkan tubuhnya di samping Soully. "Kenapa kau menangis sendirian di sini? Kau ada masalah? Apa kau bertengkar dengan Tuan Miller?" tanyanya membuat Soully menyadari jika perempuan yang kini sedang duduk bersamanya adalah rekan kerjanya. Dia salah satu staf kru di kantornya.
"Elly?" Soully meragu, ia menyipitkan kelopak matanya yang sudah sendu sehingga membuatnya semakin terpejam. Dan perempuan yang menemaninya itu mengangguk membenarkannya.
"Kau mengingatku?" ucap Elly berbinar. "Aku senang kau mengenaliku, Nona Soully. Aku fikir kau takkan mengenaliku," imbuhnya senang. Namun, kemudian pandangannya berubah sendu ketika ia melihat wajah Soully yang begitu sembab. "Kau ada masalah?" tanyanya yang tanpa ragu mengusap air mata yang masih lolos membasahi wajah Soully.
Soully sedikit beringsut, pasalnya ia merasa tak enak karena ia benar-benar ketahuan. Ia pun mengusap sisa-sisa air mata yang sudah jarang itu dengan memalingkan wajahya dari Elly. "Aku tak apa-apa, Elly. Dan panggil saja aku Soully." ucapnya parau.
"Tidak, Nona. Kau ini atasanku. Ya...walaupun faktanya aku lebih tua sedikit darimu. Tapi dengan wajah baby face-ku ini, takkan ada yang mengira jika umurku ini sudah hampir berkepala tiga," kekehnya pelan mencoba mencairkan suasana. Dan terbukti, kekehannya menular sehingga Soully merasa ucapan Elly menyebalkan sekaligus membuatnya melupakan sejenak masalahnya.
Elly tampak orang yang menyenangkan bagi Soully. Walaupun sudah hampir dua bulan ia bekerja, tetapi Soully memang jarang sekali berinteraksi pada staf dan kru di tempat kerjanya. Padahal mereka begitu baik padanya.
"Terima kasih," tutur Soully pelan.
"Untuk apa kau berterima kasih? Aku tidak melakukan apapun," tukasnya pelan.
"Karena kau aku merasa sedikit terhibur," ucap Soully.
"Nona, sebenarnya kau ke mana saja? Kenapa kau absen selama empat hari ini? Kau tahu, gara-gara kau tak ada, Mr.Miller yang baru pulang bisnis dari luar negeri itu begitu emosional saat mengetahui kau sudah empat hari ini tak ada. Sering kali ia marah, kadang mengamuk tak jelas. Kami dibuat kerepotan karenanya," jelas Elly.
"Tuan Miller sudah pulang? Bukankah pertemuan bisnisnya di luar negeri itu setidaknya akan memakan waktu dua minggu, bahkan satu bulan? Ini bahkan belum satu minggu..." ucapan Soully terhenti. Ya, dia tersadar jika dirinya sudah absen selama empat hari ini.
"Entahlah, kurasa ia mempercepat kesepakatannya. Dan...perkiraan kami karena ia tak sabar ingin bertemu denganmu," tutur Elly menggoda Soully tanpa tahu ucapan Soully terhenti karena ia benar-benar ceroboh, terlalu larut akan masalahnya ia sampai lupa kalau ada hal lain yang harus ia urus, yaitu tanggung jawab pekerjaannya.
"Jangan berfikir yang macam-macam, Elly," tukas Soully.
"Tidak macam-macam. Ini hanya satu macam saja." Elly mengelak namun tatapannya tetap menggoda Soully.
"Sudahlah, tak perlu membahasnya. Kau sedang apa di sini? Bukankah seharusnya kau bekerja?" tanya Soully mengalihkan pembicaraan.
"Sudah kubilang, bukan? Karena kau tak ada, Mr.Miller benar-benar merepotkan kami. Kau tahu, ini sangat melelahkan, dia menyuruhku membelikan sesuatu yang sepertinya takkan pernah aku dapatkan." Elly menghelas kasar nafasnya.
Soully menaikkan kedua alisnya dengan matanya yang sembab. "Dia menyuruh membeli apa?"
"Air mineral murni." Entah sudah berapa kali Elly menghela nafasnya. "Entah itu air mineral dengan merk murni ataukah memang dia ingin air mineral yang murni." Elly menjelaskan ketika Soully masih belum bisa mencerna kata-katanya.
"Sudahlah kalau difikirkan memang terasa memusingkan. Dan aku tak ingin menambah masalahmu dengan memikirkan masalahku," tukas Elly, ia merasa tak enak saat melihat raut muka Soully. "Oh ya, ngomong-ngomong kau mau ke mana, Nona? Mengingat tingkah Mr.Miller yang sungguh sangat menyebalkan dan melihatmu seperti ini, apa kau pergi dari rumah?"
Soully terdiam, bagaimana mungkin ia bilang kalau suaminya mengusirnya? Apalagi pada Elly yang tak begitu dekat dengannya. Soully memang tipikal karakter yang hangat dan gampang berbaur dengan orang-orang baru. Tetapi untuk teman dekat ataupun sahabat? Rasanya memang ia tidak memilikinya. Karena selama ini, hanya Erick ataupun Rona yang bisa Soully andalkan selain suaminya. Sejak kecil Soully memang tidak begitu mempunyai banyak teman dekat di sekitarnya, karena sejak kecil bibinya sudah mengajarinya untuk membantunya mencari nafkah. Waktu yang seharusnya ia dapat ketika masa kanak-kanak sampai remajanya, hampir tak pernah ia merasakan bermain bersama dengan teman sebayanya.
"Nona?" tepukan halus pada punggung tangannya membuat Soully mengerjap dari lamunannya. "Nona, maafkan aku jika aku terkesan banyak ingin tau. Dan maaf, aku menyebut Mr.Miller menyebalkan." Elly menyeringai malu. "Tapi satu hal yang harus kau tau, aku begitu ingin berteman denganmu saat pertama kali melihatmu bergabung dengan tim kami. Kau terlihat baik hati dan...sangat cantik. Aku sangat mengagumimu." Elly berbinar.
Soully hanya tersenyum menanggapi penuturan dari mulut rekan kerjanya itu. Haruskah ia merekam ulang ucapan Elly yang ingin berteman dengannya? Apa dia tak salah dengar?
"Emh...aku tau jika aku tak pantas berteman denganmu. Maafkan aku yang terlalu banyak berharap. Kalau begitu, aku permisi dulu, Nona." Elly berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya menekuk dan terlihat memelas. Oh, apakah Elly kecewa padanya?
"Bo-bolehkah aku tinggal di tempatmu, Elly?" pertanyaan Soully membuat Elly mengurungkan langkahnya. "Untuk sementara. Itu pun jika kau tak keberatan," imbuhnya dengan nada suara yang semakin pelan.
"Ke-kenapa anda ingin tinggal di tempatku?" Elly terlihat antara bingung dan berbinar senang.
"Bukankah seorang teman akan menampung temannya beserta masalahnya?" Soully beranjak dari tempat duduknya. Ia menepuk-nepuk serta merapikan rok dress-nya yang kusut, tak lupa ia menyisir rambutnya dengan jemari tangannya. "Kuharap kau mau menampung masalahku serta membiayai diriku selama aku tinggal di tempatmu," ujarnya berlalu melewati Elly yang masih mematung di tempatnya. "Hei, apa aku tuan rumahnya? Kenapa kau masih di situ? Ayo, tunjukkan aku di mana kau tinggal," seru Soully sehingga membuat Elly merasa gugup. Lalu setengah berlari ia menyusul langkah kaki Soully. Mereka berjalan dengan tersenyum bersama.
Elly terlalu gembira karena Soully mau berteman dengannya. Bukan hanya Elly, pun dengan Soully yang merasa bahagia karena setidaknya ia mempunyai teman yang bisa dipercayainya. Entah mengapa, Elly adalah orang yang tepat baginya.
***
"Nona, mau sampai kapan kau akan mengejar tuan Miller? Kau baik dan kau sangat cantik, masih banyak pria tampan lainnya yang akan mencintaimu dan menikahimu," hardik seseorang merasa kesal karena nonanya sulit sekali di beritahu. "Lihatlah, kenapa juga kau harus berpenampilan seperti nona Mayra? Padahal kau lebih cantik darinya. Kau malah menirukan gayanya," kesalnya bersungut-sungut.
"Sampai Kak Miller menyerah atas diriku, maka aku pun akan menyerah," ucap nonanya dengan yakin. "Menyerahkan hatinya dan aku pun akan menyerahkan hatiku," terkekeh geli akan ucapnnya sendiri.
"Oh, Nona Malika yang terhormat, Anda sungguh-sunguh...Menyebalkan!" cebik orang itu memutar bola matanya merasa jengah akan sikap polos Malika.
"Kau sungguh menggemaskan, Lily..." tawanya sambil mencubit-cubit pipi pelayan setianya itu.
"Nona, hentikan. Aku bukan anak kecil! Aku lebih tua darimu. Harusnya kau bersikap sopan padaku!" Lily bersungut-sungut. Ia menirukan gaya bicara khas Miller jika sedang bicara dengan Malika.
"Tapi aku lebih tinggi darimu, Kakak... Lily."
Mereka pun tertawa lepas. Bercengkrama dan saling terbuka satu sama lain serta tertawa bersama hingga di sudut-sudut matanya berair sudah merupakan bagian dari kegiatan mereka sehari-hari. Mungkin Lily bukan pelayan bawaannya. Lily hanya seorang pelayan yang selalu mengurusi Malika saat tinggal di istana kediaman keluarga Miller.
Pelayan setia yang bernama Lily itu berperwakan sama persis seperti Elly yang ada di dunia saat ini.
Apakah sudah guratan takdir jika dulu Malika dengan pelayan setianya, Lily. Sekarang Soully pun berakhir dengan menjalin pertemanannya dengan Elly?
***
"Kuharap kau akan nyaman tinggal di sini, Nona. Rumahnya memang kecil, tapi rumah ini aku dapat dari hasil kerja kerasku selama ini." Elly tersenyum getir merasa tak enak kepada Soully yang sudah ia bawa dalam rumahnya.
Soully mengedarkan pandangannya ke ruangan rumah Elly. Rumah yang bertempat di komplek minimalis ini jauh lebih baik dibandingkan ketika ia harus tinggal di sebuah kontrakan kecil di gang sempit. Betapa beruntungnya Elly karena ia bisa membeli sebuah rumah ini dari hasil kerja kerasnya sendiri, fikir Soully.
"Ini jauh lebih indah dibanding aku harus tidur dijalanan, Elly," tutur Soully tersenyum tulus. "Aku pasti akan membalas semua kebaikanmu padaku," imbuhnya merasa sangat bersyukur.
"Aku sangat terharu. Bolehkah aku memelukmu, Nona?"
***
Bersambung...