Cahaya mentari terselip di celah-celah tirai kamar dua insan yang telah menghabiskan malam bersama penuh gairah itu.
"Morning, Sayang. Tidurlah kembali, kau perlu istirahat," sapa pagi serta perhatian Yafizan dengan mengecup kening istrinya yang baru terbangun setelah semalam kelelahan karena melayani suaminya yang begitu bergairah.
"Morning..." balas sapa Soully walaupun matanya masih terlalu berat. "Kau akan pergi?" tanyanya.
"Iya, Sayang. Maafkan aku..." Yafizan membelai wajah Soully lalu dikecup keningnya lama. "Aku harus pergi, jaga dirimu baik-baik. Akan aku usahakan membereskan pekerjaanku secepatnya dan segera pulang. Berjauhan denganmu sungguh membuatku gila. Apalagi memikirkan atasanmu yang psycho itu mendekatimu," celotehnya sehingga membuat Soully tertawa.
"Pergilah cepat, Kak Rona akan heboh jika tahu kau menghilang."
"Kau mengusirku, Sayang? Oh, kau kejam sekali. Suamimu ini masih ingin di dekatmu dan kau malah menyuruhku pergi," cicit Yafizan memasang wajah yang memelas dan lagi, Soully hanya tertawa.
Yafizan meraih tangan Soully, ia menyelipkannya sesuatu ke jari manisnya. Soully membangunkan tubuhnya untuk duduk lalu melihat apa yang disematkan suaminya di jari manisnya.
"Cincin pernikahan." Yafizan mengangkatkan telapak tangannya menunjukkan cincin emas yang tersemat di jari manisnya juga.
Cincin emas bermatakan berlian itu sungguh indah dan pas di jari manis istrinya. "Cantik." Yafizan menggenggam tangan istrinya. Soully masih merasa speechless, matanya berkaca haru. Ia langsung memeluk suaminya.
"Terima kasih."
"Jangan pernah untuk melepasnya. Kau mengerti? Maaf waktu kita menikah aku belum memberimu cincin pernikahan."
Soully mengangguk lalu menggeleng. "Tak apa. Pergilah dan segera kembali." Soully mengecup bibir Yafizan sekilas dan dibalas oleh Yafizan lama.
Yafizan menghilang dan Soully hanya tertegun, dia tersenyum berharap hari-hari bahagianya akan terus menyertainya.
***
Mobil sport merah terparkir cantik saat Soully keluar dari apartementnya. Soully perlahan melambatkan langkahnya. Ia mengernyitkan dahi seolah pernah melihat mobil itu. Seseorang keluar dari dalam mobil, ia melangkah memutari setengah mobilnya.
"Pagi, Cantik," sapa Miller dengan penuh senyum di wajahnya.
"Pa-gi..." balas Soully menyapanya. "Tuan Bimo..."
"Dia mungkin sudah tiba di kantor. Aku sengaja menjemputmu. Apa kau sudah sarapan?" sahut Miller.
"Aku..." canggung Soully. Berharap ia tak mendapat masalah karena bos anehnya ini sepertinya memang mulai gila.
"Ayolah, sebaiknya kita sarapan bersama dulu," ajak Miller menarik tangan Soully lalu memasukkannya ke dalam mobil. Ia pun segera masuk ke dalam mobilnya. Menarik safety belt lalu melingkarkannya di tubuh Soully. Sejenak Miller terus menatap wajah Soully. Rasanya ia ingin melumat habis bibir ranum dan mengecup pipi Soully yang merona.
Andai takdir menjodohkannya kembali, mungkin ia takkan menyia-nyiakan kesempatan itu dan menjadikan Soully istri yang paling dicintai dan dibahagiakannya di dunia ini.
Namun, semua sudah terlambat. Yafizan sudah memilikinya lebih dulu. Tapi tekadnya tak gentar, ia bahkan berniat ingin merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya. Fikiran jahatnya kini terus menggentayanginya. Dengan cara apapun, ia harus mendapatkan Soully secepatnya.
Miller mengajak Soully sarapan bersama di cafe dekat kantornya. Sebenarnya Soully sudah sarapan tadi, walaupun hanya dengan roti dan segelas susu. Tapi melihat makanan enak yang tersaji di hadapannya membuat cacing-cacing dalam perutnya ikut berdemo ingin melahap makanan itu segera. Sepotong cake coklat dan blueberry cheese itu menggugah seleranya. Ditambah lelehan coklat panas dalam cangkir itu menggelitik indera penciumannya.
"Cicipilah! Makanan itu bukan untuk ditatap saja. Kau hanya boleh menatapku jika seperti itu," seru Miller menggoda Soully. "Sepertinya kau ingin aku suapi lagi. Baiklah..."
"Tidak tidak. Aku bisa makan sendiri," tukas Soully secepatnya mengambil sendok kecil untuk memakan kuenya. Soully menikmati kuenya penuh haru, baginya itu adalah kue terenak yang pernah ia makan. Mungkin Soully lupa, cocholate cake adalah favoritnya. Miller tersenyum melihat Soully yang sedang menikmati makanannya.
Bahkan makanan favoritmu masih sama seperti dulu. Kenapa perasaanmu terhadapku harus berubah? Andai dulu aku bersikap baik padamu dan kau tak merubah perasaanmu padaku, mungkin setiap pagi ini merupakan aktivitas harian kita yang menyenangkan dan penuh dengan cinta.
Mungkin saat ini, kau istriku dan aku adalah suami yang paling bahagia di dunia.
***
Seluruh staf dan kru sedang sibuk menyiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk acara spektakuler yang akan segera ditayangkan beberapa hari lagi. Miller dan Soully pun mulai disibukkan untuk mempersiapkan acara tersebut.
"Hai, everybody!!!" suara nyaring dari sapaan seseorang membuat orang-orang yang ada di sana menoleh ke arahnya. Soully sudah hafal suara nyaring tersebut.
"Hai, apa kabar?" sapa Tamara yang mulai mendekat. Para staf dan kru pun membalas sapaan Tamara. Mereka begitu akrab karena bagaimanapun Tamara memang idola. Tubuh tinggi dan semampai juga lekukan indah tubuhnya memang idaman semua orang, terutama kaum pria.
"Kenapa dia di sini?" gumam Soully dalam hati. Ia memutar bola matanya jengah.
Tamara menghampiri Miller. Tatapannya ramah dan dingin namun penuh kerinduan. "Aku tak mengira jika kau menjadikanku host di acara yang spektakuler karena itu langsung di bawah naunganmu," tutur Tamara.
Miller hanya tersenyum. Ada sejuta rahasia di balik senyumannya. "Ya, kurasa itu cocok jika kau yang melakukannya," ujarnya dingin. Padahal itu adalah modus tersembunyi agar Miller bisa menjalankan rencananya.
Soully beranjak pergi menghindari tatapannya melihat sosok yang tak ingin dilihatnya. Miller mengetahui kecanggungan Soully, dia pun hendak menyusulnya. Namun, tangan lentik Tamara menahannya.
"Apa...karena dia? Perempuan itu, apa istimewanya dia sampai-sampai kalian para titisan Dewa mengaguminya?" cibir Tamara yang langsung mendapat tatapan tajam dari Miller. "Kenapa? Apa kau ingin menghabisiku saat ini juga? Kau lupa? Kebersamaan kita selama tiga tahun cukup membuatku sedikit banyak mengetahui tentang dirimu. Tentu kau tak ingin perempuan itu tahu, bukan? Jika selama ini kau menguntitnya bahkan berniat membalaskan dendammu pada suaminya," ucap Tamara mengintimidasi.
"Tahu apa kau memangnya? Jangan coba-coba mengancamku!" Miller menghempaskan tangan Tamara yang mengcengkramnya. "Dan jangan pernah menyentuhku lagi! Dan soal menguntit, silahkan saja kau beritahu dia, karena itu memang fakta dan aku takkan menyangkalnya," tegas Miller lalu meninggalkan Tamara.
Tamara menghentakkan kesal kakinya. Ia menyesal pernah terjerat dan menjadi pelampiasan nafsu dari pria dingin seperti Miller. Bahkan menjalin kasih selama tiga tahun namun tetap berbuntut ketidakbahagiaan karena Miller terus mengabaikannya.
Bagi Miller pun sama, ia sama menyesalnya karena memisahkan dan merebut Tamara dari Yafizan saat itu hanya karena dendamnya yang ingin membuat Yafizan menderita. Andai dia tak merebut Tamara, mungkin Yafizan dan Tamara sudah bersatu. Jadi, ia pun bisa menemukan kebahagiaanya.
Andai saja ia berfokus mencari sosok gadis remaja yang pernah singgah menggelitik hatinya dan membuatnya tersenyum lepas waktu itu. Dan andai saja ia dengan cepat mengingat kejadian lampau yang menimpanya, kejadian di mana ada sosok perempuan cantik nan baik hati yang berusaha merebut perhatian, cinta, dan kasih sayangnya.
Andai saja...
Miller menghampiri Soully yang sedang terduduk di kursi kantornya. Soully masih fokus mempelajari file yang ada di tangannya.
"Kenapa kau menyendiri di sini?" suara lemah lembut itu membuyarkan fokusnya.
Soully mendongakkan wajahnya, Miller sudah duduk di atas mejanya. "Aku hanya ingin sendiri dan lebih fokus saja," jawabnya dan Miller hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja dengan menopangkan tangannya di bawah dagunya.
"Apa kau tak nyaman Tamara ada di sana tadi?" tanya Miller.
"Kenapa anda tidak bilang jika Tamara menjadi host di acara reality show kita?" tanya balik Soully.
"Kita?" Miller mengulang kata 'kita' dalam pertanyaannya. Entah kenapa kata 'kita' mewakili perasaannya. Seolah kata itu mewakili antara dirinya dan Soully bersatu.
"Maksudku reality show di bawah pengawasanmu," jelas Soully.
"Kau tidak menyukainya?" tanya Miller.
"Ti-tidak, bukan begitu. A-aku hanya...dia..." Soully tergagap. Dirinya salah tingkah.
Mana mungkin ia bilang merasa kesal karena mantan kekasih suaminya bekerja sama dengannya.
"Sudahlah, lupakan saja. Lagipula apapun keputusanmu sudah diperhitungkan dengan sangat baik dan matang," tukas Soully tak ingin memperpanjang bahasannya.
Miller menatap Soully.
Kenapa kau tidak menaruh rasa cemburu itu kepadaku? Seharusnya rasa itu kau berikan untukku. Hanya untukku !!
***
Hari sudah menjelang malam. Miller hendak mengantar Soully pulang padahal Soully sudah menolaknya. Mungkin hari ini harinya Miller, bagaimana tidak? Ia bisa memperlakukan Soully sesuai keinginannya tanpa mendapat tatapan intimidasi dari Yafizan.
"Hei, kita lihat dulu acara talkshow Bos Yafi. Ini live!" seru seseorang berteriak membuat seluruh staf dan kru menghampirinya. Mereka terduduk, ada juga yang berdiri rapi berjajar menonton di depan layar digital yang terpampang di dinding perusahaannya.
Ups, Soully lupa jika hari ini suaminya tampil di acara talkshow di salah satu televsi swasta dan diadakan di luar kota.
Sebelum pulang, Soully dan Miller ikut menonton bareng acara talkshow tersebut bersama kru dan staff di perusahaannya. Di dalamnya ada sesi wawancara dan tanya jawab. Mata Soully berbinar ketika melihat sosok yang dicintainya ada di dalam layar tersebut. Terlihat tampan...
Bahkan tatapan Yafizan yang menatap kamera seolah menatap Soully penuh kasih dan memberitahu, 'Lihatlah aku, sayang!'.
Miller merasa cemburu akan tatapan mata Soully. Tatapan mata penuh cinta yang seharusnya ia dapat. Ia sungguh merindukan tatapan penuh cinta itu.
Pesona Yafizan memang patut diacungi jempol. Karena kharisma yang ditimbulkan itu membuat tepukan tangan serta jeritan kaum hawa yang berteriak mendukungnya. Yang menonton pun sedari tadi begitu heboh menyaksikan sesi demi sesi acaranya. Tak terasa mungkin acara itu berlangsung hampir 50 menit berlalu, hingga sang presenter acara menanyakan soal kehidupan pribadinya.
"Tuan Yafizan, ini sesi penutupan. Apa boleh saya menanyakan soal pribadi anda?" tanya presenter acara itu dengan ragu. Yafizan menyeringai, lalu dengan tersenyum ia menganggukan kepalanya dan mempersilahkan presenter wanita itu bertanya. Kini, sukses tidaknya acara talkshow ini ada di genggaman tangannya.
"Emhh...mungkin pertanyaan ini mewakili para kaum hawa yang ada di sini bahkan di seluruh penjuru dunia, hehehe..." cicit sang presenter acara terkekeh dengan gugup. "Apa...anda masih single?" pertanyaannya.
Jawaban Yafizan sangat dinanti. Lalu tanpa ragu ia mengangkat tangannya dan menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Apa dengan begini cukup mewakili jawabanku?" tuturnya masih dengan sikap yang elegant.
Soully dan Miller merasakan jantungnya berdebar cepat. Soully yang ingin berteriak untuk jangan pernah mengatakannya sekarang, karena ia di kelilingi para pemuja suaminya tersebut. Jika Yafizan mengungkapkan dirinya sekarang tanpa Yafizan menemani di sampingnya, maka akan dipastikan dirinya saat ini sudah pasti dikuliti hidup-hidup dari keganasan para wanita yang memuja suaminya itu.
Lain halnya dengan Miller yang tak ingin hubungan mereka terekspos sekarang. Karena tujuannya belum tercapai. Miller mengepalkan kedua tangannya.
"Jadi, apa anda sudah bertunangan atau...." tanya presenter acara itu penasaran.
"Ya, saya sudah menikah!" jawab Yafizan tegas. "Kami menikah sekitar dua bulan yang lalu. Tapi istriku tak ingin jati dirinya terekspos media. Tapi yakinlah, dia perempuan paling baik dan istimewa jika kalian sudah mengenalnya. Dan aku bangga memilikinya," terangnya berbinar.
"Oh, selamat. Kami ikut berbahagia untuk pernikahanmu. Walaupun sepertinya akan banyak yang patah hati karena anda," ujar presenter itu tertawa garing. "Kalau boleh tahu, siapa wanita yang beruntung itu?" tanyanya lagi.
"Saya sudah mengatakannya, bukan? Istriku tidak suka di ekspos. Yang jelas, perempuan imut, menggemaskan dan paling cantik sedunia, itulah istriku!" jelasnya bangga memuji Soully.
Jika Yafizan melihat Soully saat ini, dia pasti akan melihat wajah Soully sangat merona. Bahkan yang bukan Soully saja, dibuat kegirangan akan ucapannya yang begitu memuja istrinya.
"Oww, anda sungguh romantis dan siapapun nyonya Yafizan Aldric, anda sungguh beruntung."
"Tentu saja."
"Oke, tapi jujur ini membuat kami penasaran," canda sang presenter. "Baiklah, ini sudah di penghujung acara, apa ada yang ingin anda sampaikan?"
Sejenak hening. Jawaban Yafizan sangat dinanti orang-orang yang saat ini sedang menyaksikannya. Termasuk presenter acara tersebut.
"Hm. Ini untukmu Sayang, istriku." Yafizan menatap kamera lekat-lekat.
"Uuuhhh, anda pun memanggilnya Sayang."
"Yes, tentu saja. She is my mine, she is my love, she is my life. Aku bisa gila tanpanya."
Ya Bos, tanpa Soully meninggalkanmu pun, kau memang sudah gila! - Rona yang berada di backstage dari tadi.
"Anda sungguh mencintainya?" presenter wanita itu merasa tersentuh.
"Ya, sangat!" Yafizan menarik nafas. "Walaupun sebenarnya aku sangat ingin menunjukkanmu pada dunia, mungkin tidak sekarang karena aku tahu kau pasti tak menginginkannya. Percayalah, suatu saat aku harus menunjukkan jika kau wanitaku. Terima kasih karena kau selalu sabar menghadapiku, terima kasih untuk semuanya dan aku sangat mencintaimu, Sayang!" ucap Yafizan dengan lantang dengan memberi kode hati di depan dadanya hingga mendapat tepukan serta sorak sorai para penonton.
Soully terharu dibuatnya. Dia merasa cukup lega walaupun ia tahu sekuat mungkin Yafizan menahan segala yang mengganjal di hatinya untuk memberitahukan siapa istrinya.
Terima kasih, untuk selalu melindungiku, aku pun mencintaimu dengan segenap hatiku...
***
Bersambung...