Erick memeriksa keadaan Soully yang sudah tertidur dalam lelapnya. Di tangannya sudah terpasang jarum infus yang mengalirkan cairan ke dalam sel-sel tubuhnya. Soully sudah merasa tenang ketika sebelumnya dia mengalami tantrum yang sangat hebat.
Erick menatap Soully lama. Dalam hatinya ia begitu kesal karena setiap kali bersama Yafizan, hanya kesakitan dan luka yang Soully dapat. Walaupun sebenarnya itu pun tak di sengaja dan hanya sebuah kebetulan. Tapi seakan-akan itu adalah takdir yang nyata, mengingat masa lalu mereka seribu tahun lamanya itu tak bisa dipungkiri lagi.
Yafizan berdiam diri mematung dengan tangan yang masih begitu gemetaran. Mungkin kakinya sudah mulai terasa lelah ketika sebelumnya ia hanya bisa mondar-mandir merasakan kacaunya perasaan yang membara dalam jiwanya. Sebelumnya ia memang tak setuju ketika Rona memutuskan untuk menghubungi Erick memeriksa kondisi Soully. Namun, pada akhirnya walau dengan terpaksa menyetujui karena ia tahu dengan kemampuan Erick, Soully bisa ditangani dengan cepat, apalagi Erick adalah dokter yang merawat Soully selama ini.
"Apa kau ini benar-benar suaminya?" celetuk Erick tiba-tiba membuyarkan suasana hening saat itu. Yafizan mendongakkan wajahnya tajam saat ia mendengar Erick melontarkan pertanyaan yang absurd menurutnya.
"Menurutmu? Apa aku perlu memperlihatkan buku pernikahan kami?" kata Yafizan dengan nada mencemooh.
"Kau...apa yang kaulakukan di saat istrimu sendiri sedang menahan rasa sakit yang di deritanya?" ujar Erick mengepal tangannya kesal.
"Memangnya apa yang aku lakukan? Aku SUAMINYA!." tegas Yafizan menekankan nada suara di akhir kata-katanya.
Sebenarnya ia sudah menduga, kata-kata Erick memang menohoknya dengan keras. Karena sebelumnya ia memang memaksakan kehendak berhasratnya terhadap Soully.
"Ya, aku tahu kau suaminya! Tapi tak bisakah kau mempedulikan kondisi dan kesehatannya terlebih dahulu? Apa HARUS semua orang menuruti keegoisanmu?" cecar Erick membuat Yafizan terdiam.
Yafizan terus bergetar karena rasa takut dan rasa bersalahnya terhadap Soully. Lagi-lagi dengan emosi ia menyakiti perempuan yang sangat dicintainya itu. Hanya karena perempuan itu mengabaikannya? Sungguh ironis, seharusnya ia memang bertanya terlebih dahulu atau memastikan apa yang sebenarnya terjadi kepada istrinya.
"Dia baik-baik saja dan keadaannya pun sudah stabil. Biarkan dia istirahat yang cukup. Luka memar akibat benturan dan pukulanmu juga sudah tertangani dengan baik. Beruntung kekuatan 'super'mu itu tidak mengoyak isi kepalanya. Sebenarnya...alangkah lebih baik jika Soully mengalami pendarahan lewat hidungnya sehingga mempermudah proses penyembuhannya," terang Erick. "Dan...sebaiknya kau segera pakaikan Soully baju yang nyaman agar ia tak masuk angin di cuaca seperti ini," ujarnya lagi setelahnya ia pamit pergi.
Yafizan terdiam, pipinya memerah menahan malu. Karena saat panik tadi ia hanya membalut tubuh polos Soully dengan selimut. Sampai ketika Erick datang dan Soully tiba-tiba tantrum dengan memukul-mukul kepala dengan tangannya. Erick menyadari kalau Soully hanya berbalutkan selimut saja dengan gerakan refleks ia mendekap tubuh Soully dan menahan tangannya agar tak memukul-mukul kepalanya lagi. Yafizan sebenarnya marah ketika Erick mendekap tubuh Soully, namun ia pun harus bersikap profesional karena tak mungkin Erick akan bermacam-macam pada Soully.
"Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk menghubungiku," tuturnya kepada Rona saat ia melewati pintu keluar sambil menepuk pundaknya.
"Aku akan mengantar Tuan Erick ke depan!" seru Rona. Ia pun berlalu meninggalkan dua sejoli itu di dalam kamar dan menutup pintunya dengan rapat.
Yafizan mengelap tubuh Soully terlebih dahulu dengan air hangat. Dengan penuh perhatian ia memakaikan baju tidur untuk Soully dan berhati-hati supaya tidak mengganggu jarum infus yang menempel di punggung tangannya. Ia menyelimuti tubuh Soully, dikecupnya kening Soully lalu ia mencengkram tangan Soully yang satunya lagi. Dikecupnya punggung tangannya itu berkali-kali.
"Segera bangunlah, Sayang...ketika kau bangun nanti, maka kau boleh sepuasnya menghukumku. Memukuliku atau kau bisa menghantamkan benda keras ke kepalaku ini, supaya aku juga bisa merasakan bagaimana rasa sakit yang kau rasakan," ucapnya parau dengan terbata dan menahan getaran di bibirnya.
Bagaimana mungkin ia melupakan kejadian tadi yang tak diduganya. Bayangan demi bayangan bermunculan dimulai dengan orang-orang yang menghujat Soully, lalu ia mendaratkan pukulan salah sasaran itu, hingga ia memaksakan hasratnya.
Bayangan paling mengusik hatinya adalah ketika di mana Soully tantrum, dirinya menjerit kesakitan luar biasa lalu memukul-mukul kepalanya dan meminta tolong.
Dipandanginya seluruh permukaan wajah Soully yang masih terlihat pucat.
Kini, bola matanya yang memanas tak bisa dibendung lagi ketika cairan kristal bening menetes di kedua sudut matanya. Dengan tersedu-sedu ia merebahkan kepalanya di tempat tidur, di atas lengan yang sedang ia pegang erat. Lalu tertidur lelap di samping tubuh perempuan yang kini berbaring lemah. Sungguh, ini pertama kalinya setelah sekian lama, Yafizan meneteskan air matanya karena Soully.
***
Cahaya mentari pagi menyibakkan sinarnya lewat celah tirai kaca jendela kamar. Menyilaukan mata coklat keemasan yang hampir menyerupai mata hazel yang tertidur di atas sofa kamarnya. Miller tertidur di sofa setelah semalaman fikirannya terasa kacau. Hatinya merasa tak tenang setelah sekian lama ia menanti sosok yang dikira Mayra, adiknya.
Tok tok tok
Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terlihat Bimo sudah siap dan melaporkan beberapa info yang ia dapat dari anak buah suruhannya untuk mengawasi Soully.
"Ada info terbaru apa?" tanya Miller dengan suara khas bangun tidurnya. Matanya yang masih terpejam ia masih merebahkan tubuhnya dengan tangan bersedekap di atas dadanya.
"Ehm...Apa tidur anda nyenyak, Tuan?" Bimo berdehem bertanya kepada tuannya yang masih mengenakan baju formal kerjanya yang kemarin ia pakai sepertinya tak diganti karena ia tahu jika tuannya sangat rapih dan teliti apalagi mengenai kesehatan dan kebersihan. Tapi baru kali ini, tuannya Miller yang terkenal sangat kejam, berhati dingin dan tanpa ampun itu terlihat sangat kacau.
"Sudahlah, lebih baik kau segera beritahu info apa yang kau ketahui," tukas Miller tak sabar.
"Itu...dari keterangan anak buah kita, dari yang mereka dengar adalah...Nona Soully semalam mengalami tantrum yang hebat," ucap Bimo berhati- hati.
"Apa maksudmu? Tantrum? Kenapa bisa ia mengalami tantrum?" keterangan Bimo membuat Miller membuka bulat matanya lalu terbangun dari rebahannya.
"Ehm, dari keterangan yang di dapat jika Nona Soully mengalami sakit kepala parah karena saat tantrum ia memukul-mukul kepalanya," terang Bimo lagi.
Miller mengepalkan tangannya. Mata iblisnya muncul menandakan ia begitu marah. Kepulan asap putih mengitari kepalan tangannya. Bimo bisa merasakan aura kuat menghancurkan yang jika tak segera di cegah, maka tuannya itu bisa memporak-porandakan seluruh mansion akibat kekuatan anginnya.
"Beruntung, kini keadaan Nona Soully sudah stabil. Tuan Erick sudah menyelamatkannya," terang Bimo membuat Miller melunak. "Apa...anda ingin saya mengantarkan anda menemui Nona Soully?" tawar Bimo.
Miller menghela nafas. "Kita sebaiknya ke kantor saja. Kalau Soully baik-baik saja, maka kurasa tak perlu mengkhawatirkannya. Apalagi ia sudah ditangani oleh orang yang tepat," ujar Miller. "Tunggu di bawah dan siapkan segalanya. Aku akan membersihkan diri terlebih dahulu," imbuhnya sambil melangkah ke kamar mandi.
***
Soully menggeliat sampai ia meringis terasa linu di punggung tangannya. Ia mengangkat tangan dan dilihatnya jarum infus yang menempel di tangannya. Diliriknya aliran cairan infus yang di pasang di tiang atas samping tempat tidurnya.
"Aku kenapa? Ada apa dengan infus ini? Akhh..." gumam Soully hingga ia memekik merasakan sakit di kepalanya.
"Kenapa? Apa kepalamu sakit lagi?" tanya seseorang yang membuat Soully membulatkan matanya, Yafizan.
Soully tak menyadari kehadiran suaminya itu yang sejak semalam menemaninya hingga tertidur di sampingnya. Sampai ketika Soully mengaduh kesakitan membangunkan alam bawah sadarnya.
"Apa tidurmu nyenyak, Sayang..." tanya Soully parau. Sontak membuat Yafizan menganga tak percaya wanitanya menanyakan hal yang tak terduga.
"Hei...Sayang, seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Kenapa malah kau yang mengkhawatirkanku?" tutur Yafizan mengusap pipi Soully dengan lembut dan penuh sayang. "Apa kepalamu masih terasa sakit?" tanyanya cemas dan Soully hanya menggeleng.
"Ini...pukul berapa?" tanya Soully. Yafizan mengambil jam kecil di atas nakas. "Masih pukul 06.00 pagi," jawabnya.
"Kenapa kau belum bersiap? Nanti kau terlambat ke kantor," ujar Soully.
"Kau lupa, aku pemilik gedung kantor itu. So, terserah aku mau kerja atau tidak," ucap Yafizah sombong.
"Tsk, masih saja sombong," Soully berdecak sebal.
"Dan kau masih saja menggemaskan," kilah Yafizan mencubit kedua pipi Soully gemas.
"Aww, sakit..." ringis Soully dan merekapun tertawa. Yafizan menangkup wajah Soully dengan tangannya, mencium pucuk kepalanya, matanya, hidung lalu dikecupnya bibir Soully sekilas.
"Apa infusan ini sudah bisa dilepas? Aku harus bersiap," tanya Soully.
"Bersiap mau ke mana memangnya?" jawab Yafizan dengan pertanyaan.
"Bekerja," jawab Soully datar.
"Apa? Bekerja?" kagetnya. Dan Soully hanya mengangguk berkali-kali. "No, Sayang! Kau masih sakit. Kau harus istirahat!" tegas Yafizan.
"Aku sudah baikan. Aku sudah sembuh dan aku tak apa-apa. Ya...hanya saja kemarin memang aku sedikit pusing dan aku tak jujur padamu," ucap Soully menggenggam tangan Yafizan erat. "Maafkan aku..." tuturnya tulus. "Maaf karena aku tak jujur padamu soal tinggal bersama kak Erick kemarin, itu pun karena aku sangat kesal padamu karena Tamara begitu sangat menginginkanmu," kilahnya beralasan. "Maaf karena selalu membuatmu kesal, maaf aku selalu merepotkanmu dan...membuatmu khawatir..." sesalnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Permintaan maaf Soully membuat hati Yafizan terenyuh sampai dasar hati yang paling dalam. Bagaimana mungkin permintaan maaf itu bisa dilontarkan kepadanya dengan begitu tulus padahal jelas-jelas ia sendiri yang seharusnya meminta maaf.
Yafizan menarik Soully ke arah dadanya, mendekapnya erat. Soully sudah mengalirkan deras air matanya yang sudah tak terbendung itu.
"Aku yang seharusnya meminta maaf, karena keegoisanku kau selalu menjadi orang yang tersakiti. Maafkan aku, karena aku sudah memaksamu melampiaskan hasrat terpendamku. Padahal jelas-jelas kau kesakitan. Dan...oh ya." Yafizan menarik diri menjauhkan tubuh Soully lalu menarik tangan Soully meletakannya di pipinya. "Pukul aku." Ia menamparkan pipinya sendiri dengan tangan Soully yang diarahkan untuk memukulnya. Soully segera melepas paksa tangannya, namun pegangan Yafizan terlalu kuat, ia kembali mengajak tangan Soully memukul dirinya sendiri. "Ayo pukul aku, Sayang. Supaya aku bisa merasakan kesakitan yang kau rasakan kemarin."
"Apa-apaan kau ini?! Lepaskan!" teriak Soully melepas tangan sekuat tenaganya. Lalu ia memeluk Yafizan erat. "Tidak, jangan seperti ini. Aku tidak apa-apa. Sungguh. Dan soal itu...memang seharusnya sebagai seorang istri aku harus melayani suamiku, bukan? Lagi pula aku tahu kau sangat merindukanku, iya kan?" jedanya mendongakkan wajahnya menatap wajah suaminya, lalu membenamkan kembali wajahnya di dada bidang Yafizan. "Kumohon...jangan membuatku takut seperti ini," lirihnya menenangkan.
"Cih, kau terlalu percaya diri. Siapa yang merindukanmu? Aku hanya...SANGAT merindukanmu!" Yafizan membalas pelukan Soully dengan semakin erat. Soully tersenyum mendengar kata-kata yang ditekankan itu. Senyumannya menular sehingga dua insan yang saling berpelukan itu larut dalam kebahagiaan yang seharusnya. Terlarut dalam cinta dan kasih sayang yang tak bisa diungkapkan hanya dengan sekedar kata-kata.
***
Bersambung...