Riana menatap gadis kecil yang sedang tertidur sambil memeluk guling kesayangannya. Ia taidak tahu sejak kapan, Olivia memberi warna tersendiri dalam hidupnya yang seolah abu – abu dan tidak berwarna.
"Miss Riana." Panggil Nanny yang sedang berdiri diambang pintu.
"Ya Nanny."
"Boleh saya bicara sebentar?"
"Tentu saja." Riana langsung bengkit dari duduk nya dan mengikuti langkah nanny menuju ke ruang tengah.
"Ada apa nanny?"
Nanny menunduk karena bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Sudah lama Ia ingin mengatakannya namun rasa kelu dan tidak enak hati selalu membuatnya mengurungkan niatnya untuk mengatakannya pada Riana.
"Ada apa nanny?" Riana kembali mengulang kembali pertanyaan yang tadi Ia ajukan sambil menatap wajah nanny lekat.
"begini, Miss Riana." Nanny menarik nafas panjang lalu menatap lembut pada Riana yang duduk di sampingnya.
"Semalam, ah! Bukan hanya semalam. Olivia selalua mengigau menyebut nama anda, dan berulang kali mengatakan pada Daddy nya jika Ia menginginkan anda sebagai Ibunya, tapi…." Wanita tua itu kembali ragu untuk mengatakan apa yang mengganjal di dalam hatinya pada Riana.
"Tapi?" Riana menatap lekat wajah renta nanny dengan rasa penasaran di hatinya.
"Saya beberapa kali melihat anda sedang bersama dengan laki – laki dan sepertinya anda sudah sangat dekat dengannya. Apa dia calon suami anda? Maaf kalau pertanyaan saya terlalu menjurus ke hal yang sangat pribadi."
Riana tersenyum, sebenarnya Ia bingung harus mengatakan apa. Ia tak menyangka jika keberadaannya akhir – akhir ini dengan Romi aka nada yang mengetahuinya selain Aisyah.
"Kami dijodohkan, tapi saya belum memberi keputusan pada ayah saya, apakah saya akan menerima perjodohan kami atau tidak."
"Lalu bagai mana dengan Olivia nanti jika anda benar – benar menikah dengan pilihan orang tua anda?" nanny menundukkan wajahnya kedua tangannya beradu diatas pangkuan. Ada rasa nyeri dan tidak terima jika harus melihat kekecewaan di wajah Olivia gadis kecil yang sangat Ia sayang.
"Maafkan saya nanny, untuk saat ini saya benar – benar tidak tahu harus mengatakan apa pada anda." Jawab Riana dengan wajah yang tak kalah resah dan tidak nyaman.
"Olivia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu, dan saat Ia menginginkan seseorang menjadi Ibunya, apa kah Ia harus kecewa?" Nanny menatap kedua bola mata Riana yang menyiratkan kesedihan.
"Miss Riana…" Tiba – tiba terdengar suara Olivia memanggil nama Riana. Sontak kedua wanita itu lalu buru – buru masuk ke dalam ruangan Olivia.
"Iya sayang." Sahut Riana lalu duduk disisi ranjang yang di tiduri Olivia.
"Aku kira Miss Riana sudah pergi." Ucap Olivia lirih.
"Tidak sayang, Miss Riana hanya sedang menunggu Olivia bersama nanny di depan kamar Olivia, karena takut menganggu Olivia." Riana membalas ucapan Olivia dengan lembut, sedangkan nanny langsung keluar kamar Olivia untuk menyiapkan makan malam.
"Miss Riana, apa Miss Riana mau menginap disini? Daddy belum kembali dari bekerja, aku hanya bersama nanny, apa Miss Riana mau menemaniku?" Tanya Olivia dengan wajah polos.
"Sayang, Miss Riana tidak membawa baju ganti, dan lagi Miss Riana belum bilang pada Kak Aisyah kalau Miss Riana mau menginap disini. Bagai mana dong sayang?"
"Yah…" Olivia menunduk kecewa, namun tiba – tiba mendongak dan menatap wajah Riana dengan wajah tersenyum membuat Riana langsung mengerutkan dahinya.
"Kenapa Miss Riana tidak menelpon tante Aisyah saja, dan minta pada tante untuk membawakan baju ganti Miss Riana, atau tante Aisyah biar menginap disini saja sekalian, jadi tambah ramai." Olivia tersenyum ceria.
Rianapun tersenyum, Ia tak mengira jika Olivia bisa memikirkan cara itu untuk membujuknya.
"Anak pintar." Puji Riana.
"Jadi?"
"Ya sudah nanti Miss Riana telpon tante Aisyah ya."
"Asiiikk… Terima kasih Miss Riana."
"Sama – sama sayang, sekarang Olivia turun yuk, kita makan malam bersama." Ajak Riana karena ternyata Nanny telah berdiri di pintu kamar mengajak mereka untuk turun ke ruang makan.
"Tapi Olivia disuapin sama Miss Riana Ya.."
"Iya sayang."
*****
Hakkim baru saja sampai di parkiran mobil miliknya saat seseorang menepuk bahunya dari belakang.
"Pak Hakkim."
Merasa di panggil, Hakkim terpaksa menoleh ke belakang, lalu kedua sudiut bibirnya tersenyum melihat siapa sang pemanggil namanya.
"Pak Romi."
"Bisa kita bicara sebentar." Ajak Romi setelah mereka bersalaman.
"Tentu saja."
Keduanya kini berada di café bandara, keduanya memesan capucino dan makan kecil untuk menami mereka ngobrol.
"Ada masalah apa, sepertinya sangat penting sekali." Tanya Hakkim ramah.
"Ya, ini sangat penting untuk saya."
Hakim menyeruput capucino miliknya sambil menatap wajah Romi dengan tatapan penasaran karena mereka baru beberapa kali berjumpa dan sepertinya mereka tidak pernah ada masalah selama init oh mereka juga baru saja kenal.
"Apa hubungan anda dengan Riana?" Tanya Romi setelah diam untuk sesaat.
Hakkim mengerutkan dahinya. "Riana?"
"Ya, Riana guru disekolah putrid anda."
Hakim mengangguk – anggukkan kepalanya, "Lalu ada apa dengan beliau?"
"Dia calon istri saya." Jawab Romi spontan.
Hakkim terkejut, namun ia langsung merubah ekspresi keterkejutannya dengan senyuman kecil.
"Maaf saya tidak tahu, lalu masalahnya dengan saya?"
Romi menatap Hakkim lekat, "beberapa kali saya melihat anda pergi bersama dengan Riana, dan itu menganggu saya. Lagi pula bukankah hal itu sesuatu yang tidak pantas, mebgingat status anda dan juga status Riana sebagai calon istri saya?"
Hakim terdiam Ia bingung harus menjawab apa, salahnya juga Ia tak pernah menanyakan pada Riana status nya apa kah Ia telah memiliki kekasih, calon suami, atau wanita bersuami.
"Maafkan saya, selama ini saya hanya menuruti putrid saya, dan jujur saja saya tidak tahu dengan status Riana yang ternyata adalah calon istri anda."
"Apa Riana tidak pernah memberi tahu anda?"
"Tidak, karena kami tidak pernah membicarakan hal yang bersifat pribadi, kami hanya sekedar bercakap dan bercanda untuk menyenangkan anak saya."
"begitukah?"
"Ya memang seperti itu, anda jangan khawatir, saya tidak akan menganggu calon istri anda."
"Terima kasih, Pak hakim, maaf atas sikap saya yang mungkin kurang sopan terhadap anda."
"Tidak masalah, mungkin jika saya ada di pihak anda, saya akan melakukan hal yang sama."
"Sekali lagi saya mohon maaf." Ucap Romi lalu mengulurkan tangannya pada Hakkim yang langsung menerimanya dengan senang hati.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu, putri saya sedang tidak enak badan, saya harus segera kembali ke rumah."
"Oke, maaf telah menganggu waktu anda."
"Tidak apa, permisi."
Hakkim melangkah menuju ke parkiran dengan langkah tegap seperti tidak pernah ada masalah yang sedang menghinggapinya. Walau dalam hatinya sedang merasa kecewa yang tak terkira, entah apa yang akan ia katakan pada putrinya jika tahu Riana wanita yang diharapkan menjadi Ibunya telah memiliki calon suami.