webnovel

Tangis Clarissa

Pukul lima sore. Aditya datang menjemputku. Dia tidak banyak bicara seperti sebelumnya. Tetapi aku tidak begitu menghiraukannya. Sampailah di rumah. Aditya masih belum mau berbicara denganku, dia langsung pergi ke kamar lalu membersihkan dirinya. Aku menyiapkan pakaian untuknya.

"Sayang, kamu sudah makan?" tanyaku.

"Ya," jawab Aditya singkat.

"Kalau begitu aku tidak masak enggak apa ya?"

"Ya."

Singkat sekali dia menjawab, tidak seperti biasanya. Apa aku melakukan kesalahan ya atau mungkin di kantornya sedang ada masalah. Aku pergi ke kamar Clarisa untuk membantunya menyiapkan perlengkapan sekolah untuk besok. Clarisa semenjak sekolah, dia tidur sudah sendiri tetapi terkadang aku menemaninya tidur. Clarisa mengajakku untuk menonton televisi.

"Mom, daddy tidak menemaniku menonton?" tanya Clarisa.

"Mungkin daddy masih ada pekerjaan kantornya yang belum selesai," kataku.

"Seperti Ica ya? Suka di kasih tugas dari sekolah."

Aku hanya mengangguk menanggapinya. Aditya keluar dari kamar dan duduk di sebelah Clarisa. Aku tersenyum menatapnya, tetapi Aditya sama sekali tidak melihat ke arahku. Aku pun mengubah ekspresiku jadi cemberut. Merasa kesal karena dia masih tidak bicara padaku.

Malam tiba. Aku kembali ke kamar begitu sudah menidurkan Clarisa. Terlihat Aditya masih q ponselnya sambil menonton channel favoritnya. Aku duduk di sampingnya lalu bersandar pada bahunya.

"Sayang, are you okay?" tanyaku.

"No," jawab Aditya.

Aku terdiam mendengarnya jawabannya. Banyak sekali yang ingin aku tanyakan, tapi lebih baik aku diam saja menunggu dia saja yang bercerita dari pada aku paksa dia untuk bercerita nanti malah aku yang kena marah.

"Aku tidak suka jika kamu berbohong," katanya lalu mematikan ponselnya.

"Bohong tentang apa? Aku tidak pernah berbohong padamu, sayang," kataku.

"Kamu tidak bilang padaku kalau kamu akan datang ke rumah Vina dan ada Raka juga di sana."

Aku terdiam. Aditya menatapku kecal yang disertai dengan rasa kecewa. Memang benar, aku tidak memberitahunya kalau di sana ada Raka juga. Terlebih lagi aku yang menyuruhnya untuk datang ke rumah Vina untuk menemuiku.

"Ya, aku memang akan menceritakannya padamu tadinya. Tapi melihat ekspresi wajahmu yang seperti itu makannya aku diam dulu karena aku tidak ingin membuatmu marah ..."

"Kau yang membuatku marah karena tidak bicara padaku! Aku ini suamimu!"

Mataku berkaca-kaca mendengar dia membentakku. Aditya menghela napas lalu membuka ponselnya lagi.

"Iya, maaf. Harusnya aku bilang. Tapi tadi semenjak pulang kamu seperti itu, ya aku kira kamu ada masalah di kantor."

Tidak ada jawaban dari Aditya. Aku pun menunduk sambil menghapus air mataku yang tanpa sadar terjatuh. Aditya memelukku. Tangisku pecah saat dia memelukku.

"Aku enggak akan seperti itu lagi. Aku akan bilang apa pun padamu meskipun kamu tidak suka mendengarnya. Aku tidak mau kamu mendiamkan aku seperti itu," kataku dengan isak tangis.

Tidak ada jawaban apa pun darinya. Dia hanya mengelus punggungku. Aku yang nasih terisak-isak pun terhenti dan akhirnya terlelap dalam pelukannya.

Keesokan harinya. Aku seperti biasa menyiapkan sarapan untuk Clarisa dan juga Aditya. Aku memang sudah bilang pada Aditya untuk melakukan apa pun atas izin darinya. Oleh karena itu aku mengisi waktu dengan menggambar seperti sebelumnya. Dia lebih mengizinkan aku untuk bekerja dari pada bertemu orang yang tidak tahu akan bertemu siapa nantinya seperti sebelumnya. Terlebih sekarang Aditya mencarikan asisten rumah tangga, jadi tidak khawatir lagi tentang siapa yang mengantar jemput sekolah Clarisa.

"Aku sudah biasa bekerja bersama temanku, sekarang dia tidak bisa menemaniku. Sungguh menyebalkan," gerutuku.

Panas matahari begitu terik. Bagaimana ini aku akan menyelesaikan pekerjaanku. Terdengar pintu terbuka yang dibarengi dengan tangisan. Aku keluar dari kamar. Melihat Clarisa yang tengah menangis.

"Tadi Ica jatuh dari sepeda karena di dorong oleh temannya," kata bi Laras, asisten rumah tangga untuk membantuku karena Aditya tidak mau melihatku terlalu capek.

"Mommy ... boohoo," ujar Clarisa menghampiriku dengan tangis.

"Iya, sayang. Mana yang sakitnya?" tanyaku pada Clarisa.

"Bibi mau simpan tasnya dulu," kata bi Laras. Aku mengangguk kemudian dia pun pergi.

"Ta-tangan aku sakit, mom," kata Clarisa.

Aku mencoba memegang tangannya, tapi dia malah menangis dengan begitu keras. Aku mengurungkan niat untuk mengurut tangannya. Aku mengambil ponsel lalu menghubungi Aditya. Satu kali, dua kali, masih tidak diangkat teleponnya. Ini darurat ayolah, diangkat teleponnya. Telepon pun terhubung.

"Ada apa? Eh, itu ada apa menangis?" tanya Aditya begitu mengangkat teleponnya.

"Ica, dia menangis karena tadi jatuh dari sepeda tadinya aku mau urut tapi pas dipegang malah kesakitan dia," kataku menjelaskan dengan singkat.

"Ya sudah bawa saja ke rumah sakit, biar dokter yang menanganinya. Selesai ini kabari aku akan menyusul ke sana."

Aditya menutup teleponnya. Aku memberitahu bi Laras bahwa aku akan pergi ke rumah sakit. Mengambil kunci motor dan Clarisa dibantu oleh bi Laras untuk duduk di motor.

"Sabar ya, Ca. Tahan sedikit lagi," kataku mencoba menenangkannya.

Tak lama kemudian sampailah di rumah sakit. Saat Clarisa sedang ditangani oleh dokter, aku memberitahu kepada Aditya lokasi rumah sakitnya. Mungkin membawa kendaraannya dengan kecepatan penuh, Aditya datang hanya beberapa menit dari teleponku tadi. Dokter pun keluar.

"Bagaimana anak saya dok?" tanyaku.

"Tangannya hanya terkilir saja karena menahan tubuhnya saat jatuh, dan sekarang dia sedang tertidur karena lelah menangis, " jelas dokter.

"Apa boleh saya temui anak saya sekarang?" tanyaku.

"Kamu masuklah, aku akan mengurus administrasinya," kata Aditya.

Aku mengangguk lalu masuk ke ruangannya. Aku mengusap kepala Clarisa perlahan. Ada-ada saja yang dilakukan anak, enggak tahu bagaimana cerita yang sebenarnya bisa jatuh seperti itu. Tak lama kemudian, Aditya masuk dan menggendong Clarisa.

"Sudah boleh dibawa pulang?" tanyaku.

"Iya, tadi bertemu dengan dokter dan bilang seperti itu, dan berpesan untuk tidak menaiki sepeda untuk sementara waktu. Bagaimana ceritanya bisa seperti ini?" kata Aditya.

"Aku juga enggak tahu. Tadi aku lagi di kamar, Clarisa pulang sudah menangis, bibi ceritanya hanya seperti itu."

"Lalu kamu ke sini pakai apa tadi?"

"He-he. Motor."

Aditya menghela napas lalu meminta kunci motornya. Aku memberikan padanya. Dia menyuruhku untuk mengambilkan ponselnya yang ada di sakunya. Aku pun mengikuti interupsinya. Kemudian dia menyuruhku untuk menghubungi Bayu untuk mengambilkan motorku dan mengantarkannya ke rumah.

"Darurat sayang, dari pada lama menunggu taksi. Lagi pula aku tidak teringat untuk memesan taksi makanya aku langsung pakai motor saja. Aku bawa motornya biasa kok, tidak membawanya dengan cepat," kataku meyakinkan Aditya.

"Kali ini aku maafkan, karena memang lagi darurat."

"Terima kasih," kataku dengan semringah.

Aditya mendudukkan Clarisa dia kursi belakang dan memasangkan sabuknya. Kami pun menunggu Bayu datang. Beberapa saat kemudian Bayu datang bersama temannya menggunakan motor, Aditya memberikan kunci motornya lalu melajukan mobilnya.