webnovel

6. Meninggalkan Rumah

POV Aditya

Setelah kepergian Kayla dan Rena, aku memanggil Bayu. Terlihat sangat gugup. Aku ingin mengetahui penyebab keributan tadi yang belum sempat menanyakannya kepada Kayla.

"Apa yang dia perbuat sampai membuat keributan tadi?" tanyaku

"Tadi dia ingin bertemu dengan bapak, tapi dia tidak punya janji sebelumnya," jelas Bayu.

"Apa dia tidak ada masalah denganmu? Aku dengar tadi dia sempat menghinamu. Ceritakan dengan detail!"

"Sebenarnya beberapa hari yang lalu saya bertemu dengannya di pagi hari saat membelikan sarapan untuk bapak. Saya membeli itu dengan harga dua ratus ribu. Itu sebabnya dia kesal pada saya."

Tak habis pikir. Aku yang menyuruh orang ini untuk mencari keberadaan Kayla. Tetapi dia malah tidak memberitahuku dan bilang kalau dia tidak bisa ditemukan. Menghela napas panjang setelah mendengar ceritanya.

"Kenapa kamu tidak memberikan kepadanya saja? Kenapa harus memperebutkan itu?"

"Maaf, pak. Saya hanya membelikan makanan kesukaan bapak."

Aku memberitahunya bahwa dia yang bernama Kayla. Dia begitu terkejut ketika melihat fotonya lagi. Dia meminta maaf atas perbuatannya. Aku pun menyuruhnya untuk kembali melanjutkan pekerjaannya, begitu pun aku.

Beberapa menit kemudian. Rena menelepon.

"Ada apa? Kalau tidak penting jangan telepon! Lagi sibuk," kataku setelah mengangkat teleponnya.

"Kak, tadi aku ke kantor karena ada yang mau aku bicarakan," ujarnya. "Ini tentang kal Sherlin."

"Kayla ada di sana?"

"Tidak, kak Kay sudah pulang," jawabnya singkat.

"Bicaralah!"

Rena menceritakan bahwa Sherlin datang ke rumah bersama kedua orang tuanya. Dia berprasangka kalau mereka datang untuk menetapkan tanggal pernikahan.

Benar saja, ayah datang ke kantorku bersama Sherlin. Aku menutup teleponnya ketika mereka mendekat.

"Pergi dengannya sekarang untuk memilih baju pernikahan kalian!"

"Aku tidak mau menikahi wanita seperti dia!"

"Dia sudah sangat sabar menunggumu. Ini sudah saatnya. Dia baik, berpendidikkan dan memiliki karier yang bagus. Tidak ada kata membantah! Pergi dengannya sekarang atau semua fasilitas ayah tarik!"

Ayah begitu marah. Bahkan berani membentakku di depan orang lain. Aku mengeluarkan kunci mobil dan semua kartu yang ada di dalam dompet. Melemparkannya. Membalas dengan menjatuhkan harga diri di depan orang lain. Lalu aku pergi.

"Dasar baj*ngan, anak tidak tahu diuntung!" teriaknya.

"Sabar, paman." ujar Sherlin yang samar terdengar.

Aku menyuruh Bayu untuk mengantarkanku. Dia mengangguk lalu mengikutiku dari belakang. Aku tidak tahu sekarang mau pergi ke mana, yang penting aku pergi saja terlebih dulu. Hanya saja di pikiranku hanya ada Kayla.

Ketika keluar dari lift, Robi meminta aku untuk tidak pergi.

"Ini perintah pak presdir, bapak tidak diperbolehkan untuk pergi," katanya dengan menundukkan kepalanya.

Pintu lift pun terbuka. Masih terlihat ayah memendam amarah.

"Bayu, jika kau ikut campur dalam urusanku kamu akan dipecat. Jangan bantu dia!" gertak Ayah yang membuat Bayu takut.

Bayu hanya melihatku sebentar lalu menundukkan kepalanya.

"Fine! Biar aku pergi sendiri!" kataku.

Aku meninggalkan mereka semua. Yang di pikiranku hanya satu orang, yaitu Kayla. Tetapi akankah dia membantuku kali ini? Atau dia akan membuangku karena sekarang aku tidak memiliki apa-apa. Aku terus berjalan dengan waspada takut akan ada yang mengawasiku.

Karena jarak yang cukup jauh, aku berjalan menuju daerah Kayla. Di perjalanan, aku melihat seorang pria paruh baya yang tengah kebingungan. Dia melihat ke arahku.

"Maaf, Nak. Bapak mau minta tolong," katanya.

"Ada apa, ya?"

"Bapak mau pulang tapi ini motornya mogok, di sini jauh tempat bengkelnya. Bapak mau pinjam HP-nya untuk menelepon orang rumah."

Aku pun mengeluarkan benda pipih itu. Dan membiarkan bapak itu menelepon. Tak lama setelah teleponnya ditutup, dia mengembalikan HP-ku. Langkahku dihentikan lagi olehnya.

"Tunggu, nak. Bapak merasa tidak asing denganmu," kata bapak itu sambil memegang lengan kiriku.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya, pak?"

"Tunggu!"

Bapak itu diam sejenak. Lalu memberitahu bahwa dia melihatku ketika aku kecelakaan beberapa hari yang lalu. Tak sangka akan bertemu lagi.

"Lalu kamu mau pergi ke mana?" tanya bapak itu kemudian.

"Saya mau pergi ke daerah C, pak."

"Oh. Tapi kenapa jalan kaki? Bukannya motornya sudah dikembalikan sama nak Kay?"

"Iya, motornya sudah dikembalikan. Sengaja ingin berjalan kaki saja."

"Tidak cape jalan kaki? Sudah bareng kami saja nanti. Toh tujuannya sama. Tunggu ya!"

Aku mengangguk menyetujuinya. Tak lupa juga berterima kasih. Hingga beberapa saat kemudian, anaknya bapak itu datang. Aku bersama anaknya sedangkan si bapak membawa motornya yang di dorong oleh anaknya.

Sampai di tujuan. Aku berterima kasih lagi. Aku berjalan menuju rumah Kayla. Hingga sampai di tempatnya. Hari sudah senja. Ketika aku akan mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka. Dan itu bukan Kayla.

"Maaf, cari siapa ya?" tanyanya.

"Kayla. Ini benar rumahnya?" jawabku.

"Oh, sebentar," katanya. "Kaayy!" teriaknya.

"Apa sih, Vin. Kenapa belum pu ...,"

Kayla tidak melanjutkan ucapannya setelah melihatku. Aku tersenyum. Vina pun pulang. Kayla mengajakku untuk masuk. Dia begitu khawatir ketika aku memberitahunya bahwa aku pergi dari rumah.

"Pantas saja aku tidak mendengar suara kendaraan yang datang. Ayo masuk dan bersihkan dulu dirimu," kata Kayla.

"Aku tidak punya apa-apa sekarang, Kay. Apa boleh aku menginap di sini?" kataku.

Dia terdiam cukup lama. Kemudian dia pun mengiyakan dan menyuruhku untuk mandi. Aku cukup kesulitan ketika membersihkan diri karena tanganku yang kanan masih belum sembuh. Kayla mengetuk pintu.

"Hanya ada sweater yang ukurannya cukup besar," katanya di balik pintu.

"Kay, aku minta tolong boleh?" tanyaku setelah membuka sedikit pintunya.

"Apa?"

"Tolong bantu aku mandi, aku tidak bisa menjangkau punggungku."

***

POV Kayla

Setelah menunjukkan kamar mandinya, aku pergi ke kamar mencari baju untuknya. Hanya ada satu yang berukuran besar. Sweater merah muda ini. Lalu bawahnya apa ya? Ah iya, suaminya kakak meninggalkan sarung di sini. Aku menuju kamar mandi untuk memberikan ini. Tetapi Aditya meminta bantuanku.

"Tolong bantu aku mandi, aku tidak bisa menjangkau punggungku," kata Aditya.

"Yang benar saja!"

"Ayolah, aku tutupi pakai handuk kok."

"Ok, ok."

Jantungku berdegup kencang ketika melihat punggungnya. Begitu hangat jika aku peluk. Ah, apa yang aku pikirkan. Sungguh memalukan. Untung saja dia melihat ke arahku, kalau tidak dia sudah pasti melihat wajahku yang memerah.

"Sudah, aku pergi. Mau menyiapkan makanan untuk kita makan," kataku yang langsung pergi.

Aku terkejut melihatnya. Sweater merah muda dan sarung. Sangat mengemaskan. Hingga aku tidak bisa berhenti tertawa.

"Sudah berhenti tertawa, katanya mau makan!" katanya.

"Aku tidak menyangka itu cocok denganmu. Tunggu sebentar ya," kataku.

Aku menyajikan masakanku. Aku hanya membuat sayur sop dan tahu goreng.

"Maaf, aku hanya membuat ini. Karena ini tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membuatnya."

"Tidak apa-apa. Aku suka keduanya kok."

"Baiklah. Selamat makan."

"Selamat makan."

Selesai makan. Aku membereskannya. Dia bersikeras ingin membantu tapi aku tidak membiarkannya. Dia pun mengalah dan menemaniku.