webnovel

22. Raka

Beberapa hari kemudian. Fikram meneleponku.

"Aku akan datang ke sana," katanya setelah telepon aku angkat.

"Datang saja ke rumah Kayla," memberitahu keberadaanku.

Fikram pun menutup teleponnya. Baru tiga hari aku berjualan lagi. Hanya saja Kayla masih belum menggambar lagi karena aku masih belum mengizinkannya. Kayla keluar dari rumah, lalu duduk di kursi pelanggan yang kosong. Rumah Kayla yang strategis ini membuat usahaku lancar dan selalu ramai pengunjung. Sekarang memang tidak terlalu ramai karena belum waktunya jam istirahat.

"Wah, anak dady cantik ya?" ucapku sambil menghampiri mereka.

"Iya dong, anak mommy kan memang cantik sama kaya mommynya ya," sambung Kayla.

"Oh iya, sayang. Kamu bisa hubungi Vina datang enggak? Untuk jaga warung, soalnya sebentar lagi jam istirahat."

"Memangnya kamu mau ke mana?"

"Fikram akan datang, pembicaraan kita sepertinya akan lama."

"Baiklah aku akan meminta Vina untuk datang."

Kayla beranjak dari tempat duduknya dan kembali masuk ke dalam karena tidak membawa ponselnya. Fikram datang lebih cepat dari dugaanku.

"Dika tolong jaga dulu ya? Nanti Vina akan datang membantu," pintaku pada Dika setelah melihat Fikram keluar dari mobilnya.

"Baik, bang," sahutnya.

"Vina akan datang?" tanya Fikram yang sudah di hadapanku.

"Kenapa? Nanti kamu bisa melepas rindu padanya," ejekku.

"Diamlah, aku tidak merindukannya sama sekali," jawab Fikram ketus.

Beberapa hari yang lalu dia selalu datang ke sini tanpa membawa informasi, sudah jelas dia ingin bertemu dengan Vina. Aku hanya tertawa kecil, melihat Fikram yang mulai menyukai Vina.

Tiba di ruang tamu. Fikram membuka laptopnya dan langsung menunjukkan data seorang pria yang dicari beberapa hari ke belakang.

"Anak buahku sudah menemukannya setelah beberapa kali gagal," ucap Fikram.

"Kenapa kamu selalu menggunakan anak buah untuk pencarian di lapangan?" tanya Kayla. Aku dan Fikram pun mengalihkan pandangan ke arah suara itu.

"Aku tidak ingin mengotori tanganku sendiri dan tidak ingin identitasku tersebar. Biarkan orang menganggap aku sebagai pengangguran," jawab Fikram.

Memang dia selalu menggunakan pakaian santai seperti tidak bekerja. Kayla pun duduk di sebelahku.

"Clarisa?" tanyaku melihatnya tidak membawa bayinya.

"Dia baru saja tidur," jawabnya.

Aku mengangguk. Lalu mendengarkan ucapan Fikram. Pria yang menyebarkan gosip itu adalah adik dari sopirnya Raka yang bernama Agus.

"Dia melakukannya karena seseorang menyuruhnya untuk melakukan itu dan dibayar olehnya. Karena memang dia sekarang pengangguran makanya dia butuh uang. Aku tidak tahu orang yang menyuruhnya itu memberikan berapa, sebab dia ditawari sepuluh juta pun dia masih menolak. Aku tidak berani menawarkan harga lebih, ya tahu sendiri kan?" kata Fikram sambil mengangkatkan bahunya.

Memang karena selama ini aku meminta bantuannya, aku tidak membayarnya. Hanya memberikan uang yang dia keluarkan saja untuk kebutuhan informasi.

Seseorang mengetuk pintu lalu pintunya di buka dan terlihat Vina yang datang. Vina terdiam ketika melihat Fikram. Aku bertukar pandangan dengan Kayla yang menahan tawa. Aku pun berdeham untuk menyadarkan mereka berdua yang saling pandang.

"Oh, ma-maaf. Raka ada di luar, dia ingin menemuimu," kata Vina tertunduk malu.

"Dia datang ke sini?" ucap Kayla begitu antusias. "Sayang, bolehkah?" tanya Kayla padaku.

"Hem."

Aku jadi kesal mendengar namanya. Vina kembali ke depan. Raka masuk dengan membawa paper bag yang entah apa isinya.

Clarisa menangis. Kayla pun bergegas pergi ke kamar.

"Bawa apa kau?" tanyaku ketus.

"Aku membawa bingkisan sebagai hadiah untuk anaknya Kayla," jawab Raka.

"Clarisa tidak memerlukan itu, bawa lagi saja. Dan aku peringatkan untuk tidak membawa apa pun lagi untuk Kayla ataupun Clarisa," kataku dengan menatapnya tajam.

Dia hanya tersenyum seolah tidak menganggapku ada. Sungguh kesal dibuatnya.

"Ada yang ingin aku tanyakan padamu," kataku.

"Silakan. Aku akan menjawabnya," ujar Raka.

Aku mengisyaratkan Fikram untuk menanyakannya. Dia pun mengangguk. Kayla datang bersama Clarisa di pangkuannya kemudian duduk di samping kiriku dan sebelahnya itu Raka.

"Apa anda mengetahui keluarga sopirmu?" Fikram memulai pertanyaannya.

"Tidak terlalu, hanya saja saya tahu kalau dia tinggal bersama ibu dan adiknya. Kenapa bertanya tentang sopirku?" tanya Raka.

"Tidak, hanya ada beberapa yang ingin aku tanyakan padanya. Apa dia bersamamu sekarang?"

"Iya, dia ada di depan."

"Aku meminta izin untuk meminjam waktunya sebentar, ada hal yang ingin aku tanyakan langsung padanya."

Raka menyetujuinya. Aku meminta Fikram untuk menginterogasinya di dalam saja karena takut terdengar oleh orang lain. Raka mengajak main Clarisa. Menyebalkan. Aku tidak suka melihat pemandangan seperti itu.

"Kamu bawa apa ini?" tanya Kayla sambil meraih paper bag. Karena Clarisa sedang digendong oleh Raka.

Raka masih asyik mengajak bicara Clarisa. Terlihat Kayla membukanya dan ada peralatan bayi termasuk baju. Kayla tampak senang dengan pemberiannya.

"Wah terima kasih Raka," ucap Kayla.

"Kamu menerimanya?" tanya Raka.

"Tentu saja. Kamu memberikan ini untuk anakku kan?" lanjut Kayla.

Sudah jelas. Raka tersenyum kemenangan sambil lihat ke arahku. Tanganku silangkan di depan dada. Masih memperhatikan mereka. Fikram datang yang diikuti oleh Tomi, sopir Raka.

"Kenapa mukamu ditekuk seperti itu?" tanya Fikram lalu duduk di tempatnya semula.

Aku tidak menghiraukannya. Aku terus menatap tajam mereka. Kayla yang menyadarinya langsung menggeser duduknya. Dia langsung pergi untuk mengambil air minum.

"Sudah kubilang akan diterima," ujar Raka dengan tawa kemenangannya.

Aku beranjak dari duduk. "Tolong awasi dia, jangan sampai anakku diculik olehnya."

Aku menghampiri Kayla yang masih berada di dapur. Kayla terkejut melihatku lalu menundukkan kepalanya.

"Sayang maaf," kata Kayla sambil memegang tanganku.

"Tahu salahmu apa?"

"Em ... A-aku tahu aku salah ...," jawabnya terbata.

Aku menciumnya dengan kasar dan meninggalkan tanda merah di bawah lehernya supaya terlihat jelas. Kayla terengah-engah, mengambil napas. Aku pun membiarkannya pergi untuk memberikan minuman. Aku mengikutinya dari belakang.

"Silakan diminum, tidak apa ya hanya ini yang disajikan?" Ucap Kayla.

Kayla mengambil Clarisa dari pangkuan Raka. Tepat sekali, Raka melihat tanda merah yang ada pada Kayla.

"Aku akan pergi sekarang. Jam istirahatku sebentar lagi selesai. Aku harus kembali ke kantor," ucap Raka.

"Baiklah. Terima kasih," ujar Kayla.

Raka pun pergi. Kayla mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Dia sudah pergi. Sudah ya marahnya?" ucap Kayla.

Aku masih terdiam. Kayla kembali ke kamar dengan wajah cemberut.

"Marah atau cemburu?" Ejek Fikram.

"Berisik! Bagaimana tadi?"

"Ya, dia tinggal bersama adik dan ibunya, dan beberapa hari lalu ibunya sakit parah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Oleh karena itu mereka membutuhkan uang untuk membayar pengobatannya. Dia juga bilang uang paling banyak untuk membayarnya itu dari adiknya."

Cerita Fikram membuatku menghela napas panjang. Aku meminta Fikram untuk mengawasi ibunya Sherlin. Karena aku yakin itu adalah ulahnya.