webnovel

Permintaan yang Kedua

"Crish, sudahi pekerjaanmu. Besok lanjutkan lagi, kinerjamu cukup baik di hari pertama," puji Pak Arman sembari melangkah mendekati Crish. Pria yang sudah berumur itu baru saja masuk ke ruangan Crish.

Crish tersenyum senang. "Terima kasih. Aku tak akan bisa menyelesaikan pekerjaan perdanaku tanpa bimbingan dari Papa," ungkap Crish.

Pak Arman tersenyum bangga. Tak sia-sia ia mendidik Crish selama ini, Crish benar-benar membuatnya bahagia. Hal ini membuat Pak Arman dapat memantapkan hati untuk memberikan warisan pada anak sulungnya itu.

"Sebentar lagi kita pulang. Di rumah, Papa sudah menyuruh para pelayan untuk menyiapkan banyak sekali makanan. Ini untuk merayakan pekerjaan perdanamu di perusahaan Alexander," ungkap Pak Arman.

Di sisi lain, Crish cukup terkejut dengan pernyataan Pak Arman. Ia menatap ayahnya dengan raut serius. "Perayaan? Lagi?"

"Hanya perayaan kecil. Makan malam bersama keluarga kita," jawab Pak Arman menenangkan.

"Ya ampun, Papa ini. Aku tak ingin merepotkan Mama maupun Papa, tapi terima kasih," balas Crish merasa senang.

Pak Arman mengulurkan tangannya dan menepuk pundak Crish beberapa kali. Hal itu ia lakukan sebagai wujud apresiasi dan kebanggaannya. "Sudah, ayo pulang," ajaknya lagi.

Saat Crish bangkit sembari membereskan beberapa berkasnya, kotak berisi cincin untuk Lathia tiba-tiba terjatuh ke lantai. Kotak itu menggelinding dan berhenti tepat di samping sepatu Pak Arman.

Hal itu membuat perhatian Pak Arman teralihkan. Pria itu melirik ke arah kotak tersebut, mengerutkan kening. Tanpa basa basibasi, Pak Arman menurunkan punggungnya untuk memungut kotak tersebut.

Crish menahan nafasnya, merasa cukup panik saat Pak Arman menemukan kotak itu.

"Ini apa, Crish?" tanya Pak Arman sembari menelisik benda yang sudah berada di tangannya itu.

Crish kebingungan untuk menjawab. Beberapa derik, Crish nampak senyap. Namun, sepertinya Crish harus jujur saja pada ayahnya itu.

"Itu cincin yang aku beli, untuk melamar Lathia," jawab Crish jujur.

"Apa?" Pak Arman cukup terkejut. Beliau melirik ke arah Crish, menatap manik anak sulungnya serius. Crish terhenyak dengan tatapan Pak Arman, berbeda sekali dari biasanya.

"Ah, begitu, ya," ujar Pak Arman tiba-tiba. "Kita bicarakan itu saja, bersama keluarga kita." Pak Arman lalu memberikan cincin itu pada Crish. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Pak Arman melangkah dan beranjak pergi dari sana meninggalkan Crish.

Crish menghela nafas kasar. Dari reaksinya, Pak Arman nampak tak suka. Tapi entahlah, jika Pak Arman menyuruhnya untuk mendiskusikan keinginan Crish, ada kemungkinan keinginannya ini sedang dipertimbangkan.

***

Asya duduk di kursi panjang, di balkon lantai dua. Ia sedang berada di lantai dua khusus pelayan tentunya. Gadis itu menatap pemandangan dari atas sana. Jangkauan pandangannya cukup luas. Kota terlihat sangat indah dari atas. Bisa Asya bayangkan, city light atau cahaya kota akan terlihat indah di malam hari.

Angin kencang berhembus, menerbangkan anak anak rambutnya. Gadis itu benar-benar tak memiliki kesibukan apapun saat ini. Ia ingin keluar, tapi Alma tak mengizinkan. Apalagi waktu sudah beranjak sore, dan malam akan segera datang.

Asya langsung terhenyak, saat sebuah aroma mint yang sangat menyegarkan menusuk ke hidungnya. Aroma yang entah mengapa membuat Asya betah menghirupnya. Gadis itu tau, bahwa Sean memiliki aroma parfum yang sama, aroma mint. Jika memang di area rumah ini hanya Sean yang memakai parfum itu, apakah lelaki tersebut sedang ada di dekat Asya sekarang?

Gadis itu lalu melirik ke sana kemari. Berjalan menuju ujung balkon dan menyembulkan sedikit kepalanya, Asya langsung terbelalak saat melihat seseorang yang tengah duduk memunggunginya. Tak salah lagi, itu Sean. Rambut hitam dan perawakan tubuhnya membuat Asya yakin dengan pemikirannya.

Sean nampak duduk di atas genting, sepertinya ia tak sadar dengan kehadiran Asya. Gadis itu hanya terdiam, memandang punggung Sean. Lelaki itu terlihat memegang sebuah gulungan dan tengah memainkan layang-layang. Ya ampun, kekanak-kanakan sekali.

"Kemarilah!" teriak Sean tiba-tiba membuat Asya terlonjak. Gadis itu langsung mundur dan menyembunyikan tubuhnya, agar Sean tak menyadari keberadaannya.

"Siapa? Sean berbicara dengan siapa di atas genting seperti ini?" gumam Asya pada dirinya sendiri.

"Ck!" Terdengar decakan dari Sean. "Asyara! Lia! Kemarilah! Aku berbicara denganmu!" suara Sean lagi, membuat Asya langsung terhenyak.

Asya hanya bisa menghela nafas panjang. Benar, Sean itu sensitif. Lelaki itu juga cerdas dan bisa menyadari hal sedikit pun. Persis seperti Asya. Akhirnya, gadis itu kembali menyembulkan kepalanya menatap Sean.

"Ada apa? Aku rasa kita tak memiliki masalah apapun," ujar Asya tak acuh. Ia ingin jual mahal, sebab Sean sudah merendahkannya. Namun, tak ada gunanya juga. Memangnya Sean akan membujuknya jika Asya merajuk? Hhh, mustahil!

Dengan langkah hati-hati, Asya melintasi pagar balkon, berjalan di atas genting-genting dengan pelan, hingga kaki yang berbenturan dengan genting itu menciptakan suara-suara. Gadis itu kemudian berdiri, menatap Sean dingin.

"Katakan sekarang. Ada perlu apa?" tanya Asya to the point.

Sean tak melirik Asya, lelaki itu hanya fokus memegang tali layangan dan memandang layangan miliknya yang sudah melayang cukup jauh di udara.

"Aku minta maaf, untuk perkataan kasarku waktu itu," ujar Sean memulai. Ia melirik ke arah Asya. "Duduklah," titahnya.

Asya cukup terkejut dengan permintaan maaf Sean yang menurutnya tiba-tiba. Gadis itu lalu ikut duduk di samping Sean. "Tidak apa-apa," balas Asya cepat.

Sean tersenyum miring. "Naif sekali," komentarnya dengan pelan.

"Apa?" Asya mengangkat alisnya, karena suara Sean cukup kecil, Asya tak mendengarnya dengan jelas. "Jadi ... kamu datang ke sini hanya untuk meminta maaf padaku?" Asya mulai mengganti topik.

"Yang benar saja," sanggah Sean. "Sebelum kau datang ke rumahku, aku selalu duduk di sini, berdiam diri. Jadi jangan berharap aku melakukan hal yang merepotkan hanya untuk orang sepertimu," jelas Sean.

Asya berdecak kesal. Lagi, Sean mengejeknya. Percuma saja lelaki itu minta maaf, karena memang itu sifat asli Sean yang tak bisa diubah.

"Ah, lupakan! Baiklah, aku memang datang ke sini untuk mengatakan sesuatu padamu." Akhirnya Sean memilih jujur, walaupun pada awalnya ia gengsi. Lelaki itu lalu menatap Asya serius, tepat ke retina gadis itu.

"Aku ... ingin melanjutkan hubungan palsu kita." Sean mengatakan itu, dengan nada serius, bahkan tatapan lelaki itu, membuat Asya semakin terpaku, tatapan intens yang bisa memicu detak jantungnya lebih cepat. Tatapan serius yang pernah Asya terima seperti saat ia berdansa bersama Sean.

Asya tak mengerti maksud Sean. Namun, lelaki itu terlihat sangat bersungguh-sungguh, membuat pikiran Asya tak bisa menebaknya dengan tepat.

"Hubungan?" tanya Asya, setelah gadis itu terlarut dalam tatapan Sean dalam waktu yang lama.

Sean mengangguk singkat. "Jujur saja, Asya. Aku ... merasa bersalah padamu. Aku juga sudah jujur padamu resiko jika kamu berdekatan denganku. Dan kamu sudah menerima resikonya dari diriku sendiri. Diriku yang memakimu kemarin adalah sisi pecundangku. Tapi, di sini, sisi diriku yang sebenarnya. Asyara, keberadaanmu berhasil membuat Lathia lebih memperharikanku. Bahkan dia sempat menanyakanmu padaku."

Kali ini, Sean memegang kedua bahu Asya. Gulungan kail yang ia bawa, ia simpan terlebih dahulu. Sean menatap Asya lekat.

"Aku ingin menjadikanmu pacar sungguhan. Bukan lagi pura-pura. Tapi, dengan tujuan untuk membuat Lathia menjadi milikku. Kamu bisa, 'kan?"

***

~Bersambung~