My Ex-Husband
I
Stefan
(Go Back)
Aku bangun dari tidur dengan mata dan nyawa yang masih setengah alias belum terkumpul semuanya. Kalau saja pagi ini tidak ada pertemuan dengan Ayah untuk membahas masalah restoran, aku akan memilih untuk tidur kembali. Rasanya aku sangat menikmati tidurku malam tadi, bergelung dengan kasur dan guling adalah sesuatu yang aku rindukan. Namun sayangnya waktu tidak mengizinkanku untuk bermanja lebih lama lagi.
Sifat ayahku itu keras, tegas, dan kadang nyebelin, beruntung ibuku mau menikahinya, harusnya ayah tahu itu. Namun dibalik itu semua ayahku adalah sosok yang baik hati, sehingga ibuku sangat mencintainya hingga sekarang, bahkan perempuan yang aku cintai pun lebih mencintai ayahku. Tapi hari ini aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara ayahku berpikir, padahal beliau tahu kalau anaknya yang tampan dan disukai banyak wanita ini baru saja pulang dari Paris harusnya dimanja-manja dulu atau diberikan waktu satu minggu lah untuk menikmati dan beradaptasi dengan udara tanah air, ini malah langsung disuruh mengurus Restoran milik Bunda tercintah, wanita yang sangat kami cintai dan kami lindungi.
Jauh-jauh hari aku memutuskan untuk mengasingkan diri di negeri orang, kabur dari perintah ayah dan mencoba bekerja secara mandiri di sana seperti yang aku impikan yakni menjadi koki. However, ternyata kebebasanku tak berlangsung lama, setelah dua tahun mencari keberadaanku dan menemukanku minggu lalu, beliau langsung mengirim ultimatum, mengancamku dengan beribu ancaman agar aku segera kembali ke tanah air.
Drttt....
Getar hape ku. Aku mendesah pasrah kala melihat nama Bundaku tercinta yang tertera di dalam layar. Semalaman aku sudah mengabaikannya, maka pagi ini aku tak bisa mengabaikan Bunda lagi.
"Iya Bun, kenapa ?" Tanyaku malas.
"Dasar anak durhaka kamu ya! Dimana kamu sekarang Stef, pulang bukannya langsung ke rumah malahan ini nggak tahu dimana!!!" Cecar Bunda. Aku sudah memprediksikan kemarahan bunda sebelumnya, aku benar-benar sudah mempersiapkannya. Sesampainya di Indonesia aku memang tidak langsung pulang ke rumah bunda, namun aku memutuskan untuk pulang ke apartemen. Apartemen yang sudah lama aku tinggalkan. Dulu apartemen ini adalah tempat aku dan tem1an-teman SMA nongkrong.
"Apartemen bundaku sayangggggg...."
"Pulang atau apartemen itu bunda jual, Stefan Putra William!." Ancam bunda dan aku tidak boleh mengabaikannya karena ancaman bunda tidak pernah main-main. Pernah dulu aku melakukan hal yang sama dan jika terjadi lagi mungkin ini adalah apartemen kesekian yang akan jadi korban kekejaman bunda.
"Oke bun, nanti Mahkota bunda yang ganteng dan rupawan ini akan pulang, tapi setelah anak tampan ini mau bertemu dengan ayah dulu ya bun!"
"Oke sayang, bunda sudah kangen sama kamuu… Kamu nggak kangen apa sama bunda?" Rengek bunda dengan nada memelasnya. Aku yakin wajah bunda saat ini sedang dibuat seperti muka orang yang meminta belas kasihan, itulah bundaku kalau sudah memiliki keinginan tinggi.
"Kangen bunda… Udah dulu ya bun, love you bun..." Sebelum bunda melanjutkan drama menye-menye maka aku harus segera menutup percakapan absurd ini.
"Love you sayang..."
Aku tersenyum sambil memandang gambar dalam wallpaper hp ku, di sana ada gambar bundaku yang paling cantik dan juga menggemaskan karena memang bunda tipe wanita yang manja luar biasa tapi juga bisa menjadi sosok istri dan bunda yang luar biasa untuk anak-anaknya.
Aku bangkit dari kemalasan ku, masuk ke kamar mandi untuk mengguyur badan supaya segar. Lama rasanya aku tak merasakan udara bahkan air asli Indonesia karena cukup lama aku meninggalkan negara ini. Jika diingat-ingat aku memilih untuk tidak ingin kembali ke sini. Aku tak ingin memori yang sudah aku lupakan kembali terkuak ke permukaan, meski nyatanya seperti itu adanya. Ternyata melarikan diri tidak lantas membuatku lupa akan kisah masa laluku itu. Alih-alih ingin melupakannya, justru aku semakin tersiksa karena dimanapun aku berada bayangan itu selalu menerorku.
Sungguh aku ingin sekali menghancurkan apapun yang ada di hadapanku saat ini, namun semua harus aku tahan. Aku tak ingin sisi kejamku keluar dan nanti dia akan melihatnya, tidak. Selama bertahun-tahun aku berusaha untuk lebih pandai mengendalikan diri dan sekarang pun aku harus bisa. Hanya dengan mengingat dia aku bisa meredam emosiku, kekesalanku bahkan amarahku. Dia yang selama ini menemaniku, sumber semangatku dari keterpurukan.
Dia jugalah sumber cahaya penerang kegelapanku dan sungguh aku sangat mencintainya. Aku bahkan rela memberikan nyawaku untuknya karena dia sekarang adalah pusat kesempurnaan hidupku. Hanya saja sudah dua hari ini aku tak bertemu dengan dirinya. Sudah dua hari ini kami terpisah, bukan karena kemauanku, tapi dia sendiri yang ingin menginap di rumah saudaranya. Sebagai orang yang baik maka aku mengizinkannya, toh mereka juga sudah lama tak saling bertemu. Tapi sekarang aku benar-benar merindukannya, dua hari berpisah itu bagaikan satu abad. Bagaimana tidak, selama dia lahir hingga sebesar sekarang aku belum pernah terpisah seperti ini.
Lepas bertemu ayah mungkin nanti aku harus menjemputnya dan mempertemukan dia dengan orang tuaku. Aku yakin, ayah dan bunda pasti bahagia bisa bertemu dengan cahaya hidupku itu. Mengingat kerinduanku padanya membuatku semangat untuk menjalani hari ini, aku harus segera bersiap, semakin cepat aku menemui ayah semakin cepat pula aku dapat menemuinya.
Menggunakan mobil kesayanganku, aku berkendara menuju restoran milik bunda. Semalam aku sengaja diam-diam meminta pak Beni untuk mengantar mobilku, supaya orang rumah tak mengetahuinya dan menyuruhku segera pulang ke rumah, namun sepertinya bundaku itu menyadari kenakalan anaknya sehingga ia menelpon dan memintaku segera pulang.
Mobilku membelah jalanan kota Yogyakarta, melalui jalan Malioboro, Tugu Jogja kemudian sampailah aku di depan Restoran milik bunda. "BS" Adalah nama restoran yang bunda bikin. Restoran ini bertingkat tiga. Dua tingkat digunakan untuk memanjakan pengunjung, satu tingkat paling atas sebagai ruangan pemilik dan juga ruang rapat para karyawan.
Sebelum masuk aku meneliti kembali penampilanku, membenahi rambut yang sudah lumayan panjang dan perfect, aku sudah siap untuk ke dalam. Bukan tanpa alasan jika tiba-tiba saja aku berubah lebih memperhatikan penampilanku, aku berharap di dalam sana aku bisa menemukan wanita cantik yang bisa aku ajak jalan. Sudah lumayan lama rasanya diri ini jalan berkeliling sendiri, sesekali bolehlah cuci mata. Maklum, meski di luar negeri aku sama sekali tak melirik bule-bule, menurutku cantikan wanita Indonesia, mereka memiliki sejuta pesona yang tak terkalahkan.
Setelah memarkirkan mobil di parkiran khusus, meneliti penampilan yang nyatanya masih sangat rapi akupun keluar dari mobil menuju pintu utama. Bunyi lonceng menandakan pintu berhasil aku buka dan hampir semua mata memandang ke arahku, bisa kalian bayangkan bagaimana pesona seorang Stefan kan?. Ku anggukkan kepala saat beberapa karyawan menyapaku, mereka pasti sudah tahu aku siapa karena di restoran ini tak sepi dari foto-foto keluarga yang sengaja bunda pasang.
"Emm.... Pa.... E tuan-" Panggil salah satu pegawai wanita. Dia terlihat bingung memanggilku apa, sehingga menyapaku dengan nada terbata dan ragu antara pak dan tuan, oh Tuhan tapi aku belum setua itu. Aku yang tak terbiasa jujur merasa canggung mendengar panggilan seperti itu.
"Panggil mas saja, aku belum setua itu untuk dipanggil bapak atau tuan.” Jawabku tak lupa menebar senyum padanya. Tebar pesona sedikit tidak masalah bukan?.
"Tapi.... " Katanya ragu. Kemudian ku lihat nama yang terpampang dari name tagnya. Namanya Karin, anaknya terlihat masih polos. Sepertinya dia baru lulus SMA.
"Tenang saja, nggak akan ada yang marahin." Jawabku untuk menjawab keraguannya.
"Mas Stefan sudah ditunggu bapak sama ibu di ruangan."
“Bunda…?” Tanyaku memastikan
“Iya. ibu mas Stefan”
"Oke, aku kesana. Layani para pengunjung dengan baik." Pesanku sebelum pergi untuk menemui keduanya.
***
"Sakit, bun....!" protesku. Gila, sumpah ini sakit banget. Jambakan bunda dan pukulan bunda sukses buat kepala aku muter, perut aku mual. Bukannya disambut dengan hangat, bunda justru menyambutku dengan jurus mautnya.
"Makanya kalau disuruh pulang itu langsung pulang. Sudah nggak pulang, nggak ngabarin orang rumah dan sekarang kamu kesini sendiri? Dimana cucu bunda, Stefan?!” Teriak bunda di ujung kalimatnya.
"Aku tukar sama uang biar bisa pulang ke sini." Jawabku enteng.
"Stefan....!" Geram bunda padaku.
Salah siapa suruh aku balik ke sini, Paris-Jogja butuh uang banyak apalagi harus kirim barang pula. Aku butuh modal untuk pulang ke Indonesia.
"Awas ya kalau nanti kamu pulang ke rumah sendirian. Bunda cincang kamu, Stefan."
"Udah bun, kapan nih ayah ngomongnya sama anak kita kalau bunda marahin dia terus. Dia udah harus aktif hari ini juga, ayah juga harus ngantor. "
"Tapi yah," Bundaku merengek seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
"Tadi bunda janji apa sama ayah? Bunda cuma mau ketemu Stefan kan bukan buat marahin dia atau memukul dia?." Terang ayah tegas, ini dia baru ayahku. Ini lah ayahku, Beliau tahu kapan harus tegas, kapan bercanda dan kapan saatnya ayah mengabulkan rengekan istri dan anak-anaknya.
"Iya .... Tapi bunda kesel yah,"
"Ayah udah nggak ada waktu, bun. Ayah harus meeting dulu sama anak kesayangan bunda ini sebentar saja."
"Oke, bunda ngalah. Emang kalian berdua itu nyebelin!"
Bunda mengambil tas hitam di atas meja kerja dengan wajah tertekuk kemudian melangkah menuju pintu.
"Bunda mau kemana?." Tanya ku menggoda, aku tahu bunda pasti ngambek dan akan pulang. Nggak apa-apa kan basa-basi dulu sama bunda.
"Pulang." Jawab bunda tegas.
Aku dan ayah salaing bertukar pandang.
"Perang dunia...!!" Ucapku dan Ayah berbarengan.
***
"Ayah mau pulang atau ke kantor?." Tanyaku setelah kita selesai rapat berdua.
"Ke kantor, ayah benar-benar nggak bisa absen kali ini." Ucap ayah lemas. Aku tahu jika bunda adalah sumber ketidak semangatan ayah.
"Kalau begitu biar aku yang baikin bunda. Ayah selesaikan masalah kantor dulu, cukup nanti ayah belikan aku martabak telor saja semua pasti beres."
"Dasar, nggak pernah berubah kamu. "
"Habisnya aku kangen sama martabak telor depan kantor ayah."
"Oke, nanti ayah belikan. Ingat harus baikin bunda!"
"Siap kapten!" Seruku tak mau kalah.
"Aku antar ayah ke depan,"
"Nggak usah, lebih baik kamu cek karyawan dan pelanggan."
"Ya udah, kita turun bersama."
Aku dan ayah menuruni tangga restoran menuju lantai satu dimana semua kegiatan dalam restoran ini terlihat. Beberapa orang yang tak lain adalah karyawan restoran menundukkan kepala saat kami berpapasan dengan mereka.
"Kerja yang rajin Bagus, bekerja seperti biasa meski kali ini ada anak saya yang memimpin. Jangan merasa sungkan dengan dia, bimbing dia dan ingatkan ketika anak saya ini melakukan kesalahan." Pesan ayah kepada seseorang yang baru aku tahu namanya yaitu Bagus dan dia adalah tangan kanan bunda dan ayah selama ini.
"Baik pak, akan saya usahakan. " Jawabnya dengan senyum. Aku ikut menepuk pundaknya untuk merilekskan tubuh Bagus, aku tahu jika dia sedikit takut saat menatapku.
"Ayah pergi dulu, terimakasih sudah kembali ke sini Nak."
"Iya ayah."
Seperti perpisahan-perpisahan sebelumnya, aku menjabat tangan dan mencium tangan tuanya dan ayah membalas dengan pelukan.