webnovel

My Bittersweet Marriage

Aarhus. Tempat yang asing di telinga Hessa. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk mengunjungi tempat itu. Namun, pernikahannya dengan Afnan membawa Hessa untuk hidup di sana. Meninggalkan keluarga, teman-teman, dan pekerjaan yang dicintainya di Indonesia. Seolah pernikahan belum cukup mengubah hidupnya, Hessa juga harus berdamai dengan lingkungan barunya. Tubuhnya tidak bisa beradaptasi. Bahkan dia didiagnosis terkena Seasonal Affective Disorder. Keinginannya untuk punya anak terpaksa ditunda. Di tempat baru itu, Hessa benar-benar menggantungkan hidupnya pada Afnan. Afnan yang tampak tak peduli dengan kondisi Hessa. Afnan yang hanya mau tinggal dan bekerja di Denmark, meneruskan hidupnya yang sempurna di sana. Kata orang, cinta harus berkorban. Tapi, mengapa hanya Hessa yang melakukannya? Apakah semua pengorbanannya sepadan dengan kebahagiaan yang pernah dijanjikan Afnan?

IkaVihara · 都市
レビュー数が足りません
10 Chs

EMPAT

"Kalau di sana sekitar lima persen ikut cohousing." Afnan menjawab pertanyaan papanya. Ayah Hessa wartawan, sudah sering ke mana-mana, jadi gampang saja menemukan topik yang bisa dibicarakan.

"Mungkin seperti indekos di sini. Beberapa keluarga berbagi dapur, ruang makan, ruang bermain. Lebih hemat sepertinya. Sistemnya sudah mulai dicontek di negara lain." Afnan menjelaskan lagi.

Hessa melirik Afnan yang duduk di depannya, lalu pura-pura memperhatikan lukisan buah di dinding saat Afnan balas menatapnya.

"Kalau yang muda lebih memilih tinggal di flat. Bisa sewa, lebih murah, dan juga lebih dekat ke tempat kerja agar hemat ongkos." Afnan kembali menjawab pertanyaan papa Hessa.

Di antara mereka semua yang duduk mengelilingi meja makan, Afnan terlihat paling besar dan mendominasi. Tubuhnya tinggi. Hessa memperhatikan Afnan berbicara, menjawab dengan sopan, tidak sok tahu. Afnan terlihay seperti orang biasa, bukan seperti orang hebat yang memberikan academic speech di video Aarhus University yang sudah dilihat Hessa. Wajahnya tegas, sorot matanya sama sekali tidak menyiratkan keragu-raguan. Orang yang percaya diri, santai saja menghadapi papanya. Hessa ingat sekali, pacarnya dulu tidak betah saat berbicara lama dengan papanya.

"Nggak mencicil rumah? Daripada bayar sewa?" Ayah Hessa bertanya lagi pada Afnan.

"Hitung-hitungan keuangan setiap kepala mungkin beda, Om. Pajak mahal sekali di sana. Gaji bisa habis hanya untuk pajak saja. Akhir bulan mengunyah udara."

Ayah Hessa tertawa mendengar ucapan Afnan.

Hessa menunduk lagi ketika merasa Afnan melihat ke arahnya, mengamatinya. Kenapa Hessa merasa seperti kuda yang sedang diteliti oleh pembelinya?

Melihat Afnan dengan matanya sendiri di sini, di depannya, bukan di foto, membuat Hessa tidak bisa menyuruh dirinya untuk berhenti memperhatikan wajah Afnan. Tampan. Tegas. Cerdas.

Gimana mungkin orang seperti ini nggak bisa cari istri? Hessa menggumam dalam hati.

Mereka masih duduk di sana sampai setengah jam kemudian. Isi percakapan didominasi oleh ibu Hessa dan Tante Kana, membicarakan masa kecil mereka. Sesekali papa Hessa ikut tertawa. Tapi Afnan tidak. Afnan tidak pernah tertawa. Tersenyum saja tidak sejak tadi.

Mungkin ada yang salah dengan otot senyumnya, Hessa membatin.

Hessa dan orangtuanya mengantar tamu mereka keluar setelah mereka pamit.

Hessa melangkah pelan bersama Lily, sambil memperhatikan punggung Afnan dari belakang. Tough and stern. Pasti aman sekali berlindung di balik punggung itu. Hessa menggelengkan kepalanya. Astaga!

"Makasih banyak, Kak. Nanti kita chatting, ya?" Lily mencium kedua pipi Hessa.

Hessa mengangguk dan tersenyum.

Kana memeluk Hessa sebelum masuk ke mobil.

Lalu tiba-tiba Afnan berdiri di depan Hessa. Hessa merasa dirinya kecil sekali berdiri dekat dengan Afnan begini.

Hessa mencengkeram pinggiran roknya. Afnan mengulurkan tangan dan Hessa ragu-ragu menyambutnya. Hessa memberanikan diri menatap ke atas. Jantungnya hampir lepas karena Afnan tersenyum kepadanya. Hanya kepadanya.

Afnan melepaskan tangan dan langsung berbalik, meninggalkan Hessa yang masih berdiri dengan kepala kosong di teras rumahnya. Afnan tidak mengatakan apa pun kepadanya tapi Hessa yakin sekali dia tidak akan bisa tidur malam ini.

***

"Apa-apaan sih, dia itu?" Hessa menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur.

Menurut cerita ibu Hessa, Afnan yang ingin kenalan dengan Hessa. Tapi Afnan hanya diam, tidak mengatakan apa-apa, dan membiarkan Hessa berdiri seperti orang bodoh di sana tadi.

Hessa memegang dadanya yang masih berdebar-debar. She doesn't believe in love at first sight. Dia hanya terpukau pada penampilan Afnan atau senyuman Afnan. Hanya sesaat. Orang tidak akan jatuh cinta hanya karena hal-hal seperti itu, kan? Jatuh cinta itu perlu waktu, pelan-pelan dan lama. Baginya cinta pada pada pandangan pertama hanya akan terjadi kalau dia melihat baju atau sepatu bagus. Not men. Biasanya, waktu dia membeli baju dengan menurutkan 'suka atau cinta pandangan pertama', hanya sebentar saja dia menyukai baju itu, setelah itu ya sudah, terlupakan bersama baju-bajunya yang lain. That is just instantaneous infatuation. Bukankah begitu juga yang berlaku untuk perasaan? Easy to get, easy to forget.

"Kenapa dia seperti itu?" Hessa memejamkan matanya, memutar lagi rekaman di otaknya. Adegan Afnan memegang tangannya, oke, itu cuma salaman, genggaman tangannya ... firm and strong, but made her body tingling, dan Afnan tersenyum. Senyum itu rasanya bisa membuat kegelapan di sekitar mereka, teras rumah Hessa yang tidak terlalu terang dan halaman rumahnya gelap, terlupakan. Karena Hessa sempurna terpaku pada wajah Afnan yang tersenyum kepadanya, lupa pada sekitarnya.

"Shit!" Hessa mengumpat lalu mencoba tidur daripada memikirkan ini.

Hanya melihat senyum Afnan tidak akan ada pengaruh apa-apa terhadap hatinya. Hessa meyakinkan dirinya. Afnan tak ada bedanya dengan orang yang ditemuinya saat makan di warung pojok dan berbagi meja dengannya.

***

Hessa berbaring telungkup di tempat tidur sambil membaca. Tangan kanannya sibuk mengambil keripik kentang dari mangkuk di dekatnya. Tidak ada hal lain yang dikerjakan Hessa di hari Minggu selain bermalas-malasan, sebelum kenyataan pahit menunggunya esok hari. Kenyataan bernama hari Senin. Kalau saja dia sudah bisa menemukan namanya ada di majalah Forbes, dia tidak akan repot-repot menyeret dirinya ke kantor setiap pagi.

"Ya ampun, siapa sih ini." Hessa mengeluh saat HP-nya berbunyi.

Hessa berusaha mengingat paragraf mana yang terakhir dibacanya sambil menepuk-nepukkan tangannya untuk menghilangkan bumbu keripik kentang yang menempel di jarinya.

"Halo?" Hessa menjawab tanpa memeriksa siapa yang menelepon.

"Hessa?" Suara di seberang sana terdengar ragu-ragu.

"Ya. Ini siapa?" Hessa urung mengambil keripik lagi. Mulut Hessa tidak bisa berhenti mengunyah keripik kentang asin yang dibeli mamanya tadi pagi.

"Afnan."

Hessa serta-merta melotot lalu meloncat duduk, menyenggol mangkuk keripik kentang dan membuat seprainya kotor. Afnan? Menelepon? Hessa tidak sempat memikirkan risiko dimarahi mamanya nanti.

"Eh...." Hessa tidak tahu harus mengatakan apa. Seminggu ini Hessa sudah lupa dengan orang bernama Afnan ini. Lega karena tidak ada kelanjutan dari pertemuan tanpa kata mereka minggu lalu.

"Apa kamu sibuk?"

"Eng ... nggak." Hessa menjawab, lalu menyadari kebodohannya yang terlalu jujur.

"Bisa temani aku sebentar?"

"Ke mana?" Hessa hampir menyatakan kesediaan. Suara Afnan terdengar seperti memerintah Hessa untuk bilang, iya', untuk menuruti permintaannya.

"Beli sesuatu." Hanya itu jawaban Afnan.

"Sekarang?" Hessa memastikan.

"Ya." Afnan menjawab singkat sekali.

"Eh ... aku...." Hessa memeriksa penampilannya. Dia belum mandi padahal sudah hampir jam makan siang.

"Kenapa?"

"Aku harus siap-siap dulu. Mungkin satu jam." Hessa menghitung cepat waktu yang diperlukannya.

"Oke."

Hessa menatap kosong ke layar HP-nya. Sudah selesai pembicaraannya dengan Afnan. Hanya begitu saja. Percakapan pertamanya dengan Afnan setelah mereka hanya saling menatap minggu lalu.

Hessa menarik napas, sudah telanjur bilang iya.

Hessa berdiri dan membereskan sisa keripik kentangnya, menaruh mangkuknya di meja dan menepuk-nepuk seprainya.

Ya sudahlah, ada baiknya juga Afnan mengajaknya pergi. Paling tidak dia akhirnya mandi.