webnovel

My Ètoile : Secret Love

Sebuah rahasia yang selama ini ku simpan. Tentang bagaimana aku mencintai seseorang diam-diam. Aku sadar betul tentang kami yang tidak bisa bersama. Bukan karena adanya perbedaan, tetapi mengenai suatu persamaan. Aku dan dia diciptakan dengan jenis kelamin yang sama.

JieRamaDhan · LGBT+
レビュー数が足りません
164 Chs

Play With My 'Friend'

"Whoaa~ Man.. Kau menyiapkan semua ini?"

Aku tidak bisa tidak terpukau melihat pemandangan di depanku. Yeah, kamar Lucas tidak banyak berubah dari segi dekorasi sebenarnya, tetapi berbagai makanan tersedia di atas meja kayu yang tingginya tak sampai lutut. Camilan ringan, sampai makanan berat seperti ayam terhidang dengan rapi. Ini terbilang berlebihan untuk teman bermain game. Seseorang pasti akan lebih fokus menggerakan joystick ketimbang memotong ayam dan melahapnya. Jika itu terjadi, bisa dipastikan karakter yang sedang dimainkan akan mati dengan mudah. Game berakhir lebih cepat dari yang dibayangkan.

"Kau harusnya tidak perlu melakukan semua ini," kataku mencoba terlihat bersalah meski tanganku sudah mengambil buah apel yang tampak menggiurkan dengan warna merah menyala.

Ada satu sofa di dalam kamar Lucas. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk dua orang dewasa duduk di sana. Aku menggigit daging apel merah agak lebih besar saat mendudukkan pantatku di atas sofa berwarna abu tua. Sofa itu menghadap langsung ke arah layar persegi yang masih gelap, tetapi dari lampu merah kecil di bawahnya bisa dibilang layar itu siap untuk menyala.

"Anggap saja perbaikan mood~" Lucas mengikutiku ke sofa, duduk di sebelahku setelah dia menyalakan layar di depan juga kotak Playstation. "Kau sangat suka Apel?"

"Hm?" Aku menoleh ke arahnya dan cukup terkejut ketika mendapati jarak kami agak berdekatan. Baiklah, sofa ini agak kecil untuk menahan dua pria dewasa. Aku lupa kalau tubuh kami sama-sama besar. "Tidak terlalu," kataku sambil meluncur turun. Duduk beralaskan lantai bermotif kayu cokelat —hanya stiker— dan bersandar pada kaki sofa di belakang.

"Kemarin kau juga beli Permen Apel kan?"

Aku bisa mendengar bunyi gesekan antara kain di belakang. Ku duga, Lucas tengah merubah posisinya dari duduk menjadi berbaring miring. Karena, aku dapat merasakan hembusan nafas tepat di belakang tengkukku. Hangat dan berbau mint. Mungkin itu berasal dari rokok yang telah dia isap sewaktu di perjalanan, atau parfum. Entah. Yang pasti ini sedikit membuatku geli.

"Hanya ingin makan saja.." Aku berpindah ke sisi lain setelah menyambar joystick berwarna hitam. Player satu, sementara Lucas Player dua.

"Kau yakin dengan ini?" Suara Lucas terdengar meragu.

"Seratus persen. Kalau kau tidak mau bermain biar aku main sendiri saja." Aku reflek membalikkan badan, ingin melihat bagaimana raut wajah pemuda beralis tebal di belakang. Apakah dia takut? Apakah wajahnya memucat karena memikirkan seberapa banyak zombie yang akan kami lawan? Tetapi bukan itu yang terjadi. Raut wajah Lucas memang menunjukan kecemasan. Kami saling bertatapan.

"Bukan itu, kau yakin ingin menginap?"

"Memang kenapa?" Aku kembali mengalihkan wajah ke depan. Ekspresi Lucas membuatku merasa.. tidak nyaman. "Kau bahkan mempersiapkan semua ini, berarti kau tidak masalah bukan?"

"Yeah.. Aku tak masalah.."

Suara Lucas terlalu lirih, nyaris terendam oleh musik latar belakang Resident Evil yang lumayan menggema. Kesan horor dan menantang membuatku semakin bersemangat untuk memainkan, entah apakah Lucas merasakan hal sama. Pada bagian awal tidak bisa dilewatkan begitu saja. Beberapa orang mungkin merasa ini bukanlah hal yang penting. Tetapi mengatur kecerahan layar, suara musik, bagaimana reflek kamera dan level merupakan bagian terpenting dan tak bisa diabaikan begitu saja.

Aku mengabaikan suara Lucas yang berbisik di belakang. 'Jangan hard.. jangan hard.'

"Baiklah, kita mainkan yang HARD!"

Memilih level hard bukanlah hal yang sulit sebenarnya. Sebagian besar pemain memang lebih nyaman dengan level normal, atau mungkin mudah. Tetapi bila kau telah menamatkan permainan beberapa kali, yang kau butuhkan hanyalah mendapatkan tantangan lebih besar. Sebuah game tidak akan terasa menantang jika kita selalu bermain dalam zona nyaman. Jujur saja, Resident Evil hanyalah tentang membunuh monster ataupun zombie. Perbedaannya adalah jumlah item tersebar dalam game yang bisa kau dapatkan dan tentu saja lawan akan semakin susah untuk dikalahkan. Mengenai puzzle atau jalan cerita sama sekali tidak berubah. Maka, game ini adalah pilihan terbaik jika ingin melampiaskan hasrat terpendam.

"Hey! Hey! Jangan tinggalkan aku!" Lucas berseru tepat di belakang telingaku. Astaga, suaranya bahkan lebih besar ketimbang raungan monster di dalam game.

"Berisik! Kau yang harus mengikutiku!" Aku tidak peduli pada karakter Lucas yang tertinggal, tetapi fakta bahwa aku harus selalu membantu saat monster menyerangnya cukup membuatku kerepotan.

Dengan terpaksa aku harus melambatkan langkah daripada kalah dalam permainan hanya karena Lucas lebih mirip mangsa empuk untuk diumpankan pada sekawanan zombie kelaparan. Kalau saja bisa begitu, aku lah orang pertama yang akan mengikat karakter Lucas untuk diserahkan kepada para zombie maupun monster. Sialnya, permainan ini mengharuskan para pemainnya untuk saling bahu membahu, saling membantu ketika karakter lain sedang kesusahan. Dan, si alis tebal selalu berada dalam bahaya, selalu merepotkan ku.

Ternyata level hard cukup menyusahkan. Tetapi jangan anggap semua ini salahku yang terlalu termakan ego. Seperti kataku sebelumnya, level ini hanya sekedar memperlama jalannya permainan. Menambah tantangan. Kalau saja tidak ada karakter beban yang membuat karaktermu sendiri lebih kesusahan. Oh ayolah.. Aku seperti sedang mengasuh bayi di tengah-tengah sekumpulan zombie yang kelaparan. Belum lagi jika Lucas berteriak tiba-tiba, mencengkram bagian belakang bajuku, atau menjambak rambutku saat dia sedang ketakutan. Antara karakter dalam game dan diriku di dunia nyata tidak memiliki perbedaan, tersiksa oleh Lucas.

"Oh ayolah.." Suaraku tertahan. "Kau bisa berhenti bermain sekarang, sebelum kau membuat kepalaku botak."

"Maaf," cicitnya.

Ini membuatku merasa bersalah. Karena kalau di tarik garis lurus, aku lah penyebab dari segala kekacauan ini. Aku satu-satunya orang yang menarik Lucas dalam histeria ini. Tetapi aku menjadikan ketakutan Lucas sebagai kambing hitam. "Sebaiknya kita sudahi saja.." ujarku. Dan tanpa menoleh ke arah Lucas, aku mematikan Playstation juga layar persegi di atas meja.

"Hey, aku bisa melakukannya—"

"Tidak kau tidak bisa," selaku. 'Dan jangan memaksakan diri untukku,' yang terakhir hanya disimpan dalam kepala. "Jadi, apa saranmu untuk kegiatan selanjutnya?"

Sorot mata Lucas menyiratkan rasa bersalah. Dia pasti berpikir untuk selalu melakukan apa yang ku suruh, jarang sekali mendengar kata tidak keluar dari mulutnya. Terlebih jika aku meminta secara langsung. Sejujurnya, ini cukup mengganggu. Aku tak mengerti apa yang membuatnya terus menerus bersikap begini. Kami sudah dewasa, dan dia tak harus menepati janjinya untuk terus melindungiku. Lenganku bahkan cukup kuat untuk memecahkan pintu lemari.

"Jangan menatapku seperti itu!" Aku meraih bungkus berwarna ungu, isinya adalah cokelat batangan yang akan cepat meleleh jika suhu udara naik sedikit lebih tinggi. Air Conditioner di dalam kamar Lucas telah menyelamatkan makanan ini.

"Bagaimana dengan kejujuran atau tantangan?"

"Oh, kau pasti bercanda.." Permainan konyol untuk saling mempermalukan satu sama lain. Sedari dulu Lucas tak terlalu menyukai permainan ini. Aku sering melihatnya menenggak minuman keras untuk menghindar setiap pertanyaan yang ditujukan padanya, atau tantangan tak masuk akal. Barangkali itulah yang membuatnya lebih mahir minum alkohol ketimbang diriku.