Pagi tiba. Zara dan Mei sedang mempersiapkan sarapan untuk mereka sekeluarga. "Zara bagaimana betah gak di sini?" Tanya Mei, berusaha untuk menjadi lebih dekat.
"Alhamdulillah, Ma. Zara malah takut merepotkan.." Ucapnya sambil menata piring-piring di atas meja makan.
"Jangan sungkan seperti itu. Kamu kan anak Mama.. Kalau Zia macam-macam sama kamu, laporkan saja ya ke Mama, atau Papa. Biar nanti kita bantu, ngelawan anak itu." Ucapnya sambil tertawa setengah serius.
"Ah, Mama.. Macam-macam gimana? Zia baik kok sama Zara. Hanya saja sedikit terasa membebankan Zia, dengan ketidak dewasaanku, Ma." Jujurnya. Ya, selama ini dengan tingkah lakunya yang seperti terlalu kekanak-kanakan, terlalu mementingkan keinginan sendiri tanpa mempertimbangkan keinginan Zia sebagai suami.
Mei mengangguk-anggukan kepalanya, ia mencuci tangannya yang tidak cukup kotor itu dari bau bahan masakan yang kurang sedap "Normal, Ra. Itu karena kamu belum terbiasa saja." Ucapnya mencoba untuk menenangkan.
"Panggil suamimu, kita makan siang sekarang. Sebentar lagi juga Raya akan datang." Tambahnya.
"Raya? Siapa, Ma?" Tanyanya.
"Kau tak tau Raya? Apa Zia tak pernah bercerita sesuatu?" Telisiknya yang hanya dijawab dengan gelengan kepala. Mei menghembuskan nafasnya perlahan, "Yasudah, panggil dulu suamimu."
Zara hanya mampu menuruti perintah dari Mamanya itu. Ia melangkahkan kaki menuju ruang perpustakaan pribadi di rumah itu. Ya, ketika ia mendorong pintu untuk dapat mengakses ruangannya ia melihat begitu banyak jajaran buku di dalamnya. Entah koleksi apa saja yang keluarga ini kelola, ia masih belum tahu pasti.
Ia menghampiri sebuah meja yang dirancang untuk dua orang membaca secara berhadapan. Ruang baca itu dibubuhi furnitur yang modern sehingga memberikan kesan elegan dan menenangkan. Ia menatap seseorang yang tengah fokus pada laptopnya.
Serasa diamati, "Ada apa?" Tanya laki-laki itu. Ia menghentikan tarian indah jarinya di atas not huruf itu. Laki-laki itu menghadap Zara yang masih berada di posisi yang sama, tangannya dengan perlahan melepaskan benda yang bertengger di atas hidungnya.
"Kau terlihat jenius dengan kacamata itu." Ucapnya, lalu ia melangkahkan kaki memperpendek jarak antara dia dengan sang kekasih. Sungguh laki-laki itu tampan dengan pose tangan bersedekap dada dan wajah yang dibanjiri cahaya matahari melalui jendela di sebelah kirinya.
"Apakah aku bisa menganggapnya sebagai pujian?" Tanyanya.
"Aku jujur, tak berbohong sama sekali." Bela Zara.
"Kenapa kau tidak menyebutku tampan saja?" Tanya Zia. Ia menon-aktifkan layar laptopnya hingga hanya menampilkan layar hitam. Lalu ia menopang dagunya sambil tersenyum.
"Gak tampan," Elaknya. "Ayo makan. Udah dipanggil Mama." Ajaknya, yang hanya disambut dengan anggukan Zia.
Zara berdiri dan melangkahkan kaki menuju pintu yang terletak di ujung ruangan. Tiba-tiba terasa kedua tangan memeluk tubuhnya sempurna. Zara terdiam, ia menolehkan kepalanya ke arah kanan mencoba untuk menatap seseorang itu. "Aku menyayangimu." Ucap Zia tepat di telinga Zara.
Gadis itu merasaka getaran kecil di tubuhnya, ia mencoba untuk melepaskan diri dari cengkraman laki-laki itu. Namun, hasilnya nihil. Ia terlalu lemah untuk beradu dengannya. Sebagai gantinya ia membalikan diri, "Kenapa hmm?" tanyanya. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi seseorang yang pengertian.
Tak ada jawaban sama sekali, hanya terdapat tatapan tanpa lelah. "Ada apa?" Tanyanya lagi. Ia mengelus lembut rambut hitam yang sedang menelusupkan wajahnya itu pada bahunya.
Selang beberapa menit dalam diamnya mereka, akhirnya Zia mengangkat kepalanya. "Aku hanya, merindukan aromamu." Ucapnya dengan kerlingan di matanya, lalu mengecup sekilas bibir merah tanpa polesan apapun itu. Zara masih belum sadar akan perlakuan tersebut, "Terima kasih makanan pembukanya, its so sweet. I like it.." Ucapnya lagi sambil berlalu.
Tentu pipi Zara memerah, namun ia sudah bisa mengendalikan diri. Ia memutuskan untuk mengikuti Zia dari belakang menuju ruang makan. Langkah kaki Zia terhenti ketika melihat tiga wanita bercengkrama dengan kebahagiaan menyelimuti mereka, tawa dan air mata kebahagiaan menghangatkan suasana.
Zara tidak tahu apa yang menghentikan langkah suaminya itu, ia mencoba untuk mengintip dari balik punggung laki-laki berbadan tegap itu, namun hasilnya nihil. Zia melanjutkan langkahnya, "Siapa yang berkunjung ini?" Tanyanya lalu mengacak-acak jilbab yang dikenakan oleh salah satu wanita itu.
Wanita yang mengenakan Jilbab merah marun itu mendengus kesal, "Paan sih Kak, baru juga nyampe udah kegatelan aja. Gak malu apa diliatin kak Raya?" Ketusnya. Wanita yang mengenakan jilbab hitam itulah yang diduga bernama Raya.
Zia mengedarkan pandangannya ke kursi yang lain, dan tersenyum. "Apa kabar?"
"Alhamdulillah, baik." Jawabnya lembut.
Ya Zara baru tahu ketika Zia menuju kursi disamping Mamanya. Di sana, tepat di meja makan yang berbentuk oval itu telah terduduk tiga wanita, satu Mama Mei, dan dua laginya ia tak tau siapa.