webnovel

Malaikat

Zara ikut terduduk disamping Zia, sambil tersenyum pada dua perempuan yang ada dihadapannya. Tepat ketika bokongnya menyentuh bibir kursi seseorang menyapanya, "Inikah Zara? Cantiknya." Ucapnya sambil tersenyum. Zara mengangguk dan mengulurkan tangannya sebagai penyambutan sederhana dan mencoba untuk menghormatinya.

Namun, tak ada sambutan hingga beberapa saat kemudian. Zara tesenyum kaku, "Maaf Mba, aku belum kenal Mba. Boleh tau nama Mba?" Tanyanya berusaha untuk sopan.

"Raya Ananda." Ucapnya menjawab pertanyaan dari gadis yang mengenakan gamis berwarna biru muda itu. "Oh iya, Zi.. Maaf tidak bisa hadir waktu itu. Ada beberapa urusan yang memang tidak bisa ditinggalkan." Tambahnya dengan tatapan yang sungguh hangat.

Zia, laki-laki yang terpanggil itu hanya tersenyum dan mengangguk. "Wah.. Raya semakin sibuk yaa akhir-akhir ini." Mei berusaha terus untuk menghidupkan suasana. "Jangan lupa untuk mencari pasangan, di luar sana pasti banyak sekali yang menunggu kamu, nak."

"Iya tante.." Jawab Raya terlihat memaksakan dalam senyumnya.

" Gara-gara Mama sih.." Timpal gadis dengan jilbab merah marun itu.

Zara bisa menangkap maksud dari pembicaraan mereka di meja makan ini, namun yang jelas suasananya mulai berubah menuju titik beku. Dan ketika ia mengedarkan untuk melihat situasi pada saat itu, ia menangkap kilatan mata tak suka dari seseorang. Tentu saja hal itu membuatnya canggung, tak tertahankan.

"Sudahlah.." Ucap Mamanya. "Mari makan, sudah lama kita tidak makan bersama." Tambahnya lagi.

Mereka mulai membalikkan piring yang ada dihadapannya, "Perusak.." Desis seseorang yang entah siapa itu. Namun mampu hinggap pada telinga Zara dengan jelasnya. Setelah itu tak ada yang berani mengeluarkan suara sedikitpun. Jelas Zara tak tenang dengan situasi seperti ini, ia menerka-nerka maksud dari seseorang itu. Dan ia berusaha keras untuk menyingkirkan semua itu dari pikirannya ketika melihat Mama dan laki-laki di sampingnya tidak bergeming sama sekali dari makanannya.

'Mungkin hanya halusinasi saja.' Pikirnya.

Mereka satu persatu bubar, didahului oleh Mama Mei. Hanya tersisa Zara sendiri, ia kemudian membereskan semua peralatan makan itu dan mencucinya.

Zara mendengar obrolan dari ruang tengah, ia sedikit mengintip berapa orang yang ada di sana. Hanya gadis yang bernama Raya dan Zia suaminya. Mereka duduk sangat berjauhan. Ia menuangkan air pada tiga gelas di atas nampan, dan menyimpan beberapa cemilan untuk di bawa ke ruang tamu.

Prangggggg

Ketika ia berbalik, ia tak memprediksi ada seseorang dibelakangnya. Hingga ia bertabrakan dengan seorang gadis yang mengenakan Jilbab hitam. Ya, isi di atas nampan itu semuanya tumpah dan pecah berceceran.

Zara dengan cepat turun ke bawah untuk mengecek apakah wanita tersebut terkena luka atau tidak. "Apa kamu baik-baik saja?" Tanyanya. Matanya masih melihat seluruh tubuhnya.

Seseorang berteriak dari arah pintu dapur, "Apa-apaan kamu?". Zara kaget dengan suara itu, ia menatap seseorang yang tengah berdiri di belakang seorang wanita paruh baya, Mama Mei. "Raya, apa kau baik-baik saja?" Tanya dengan suara yang sungguh panik.

Zara bergerak turun, mengambil satu persatu pecahan yang ada di lantai. Tangan dan kaki serta seluruh tubuhnya ikut gemetar. Ia dengan cepat menyingkirkan pecahan itu masuk ke dalam tempat sampah di belakangnya. Lalu, ia berdiri menunduk "Maafkan, ini kesalahanku."

"Tentu saja, lihat kakinya terluka." Tunjuknya. "Kalau masih ada lain kali, hati-hati lagi.." Ia kemudian keluar menuju ruang tamu sambil membantu perempuan bernama Raya itu.

Zara terdiam di tempat, ia masih kaget dengan kejadian barusan. Lalu, ia membasuh tangannya dari makanan yang berserakan tadi. Setelah semuanya selesai, ia memutuskan untuk kembali ke kamar. "Ma.. Maafkan Zara. Zara salah.." Ucapnya pada seseorang yang tengah memandangnya sedari tadi.

Perempuan itu melebarkan kedua tangannya, mendekat dan memeluk Zara dengan sayang. "Tidak apa-apa. Bukan salah kamu." Ucapnya menenangkan. "Sebaiknya kamu masuk ke kamar, istirahatlah. Kamu pasti lelah.. Ya?"

Zara hanya menuruti Mamanya itu, "Zara duluan. Mama juga istirahat ya, sedari tadi terus saja mengerjakan pekerjaan rumah. Itu pasti melelahkan." Ucap Zara, sambil tersenyum. Ia lalu memutuskan untuk menarik diri menuju kamarnya.

Ketika kaki itu melangkah, ia merasa seseorang tengah menatapnya dengan tajam hingga merobek punggungnya dengan sekali hentakan. Namun, ia berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan pikiran-pikiran itu. Mungkin benar apa kata Mama, aku terlalu kelelahan.

Sedari tadi, Zara tidak keluar kamar. Untuk shalat pun, ia bersyukur karena kamar Zia memiliki kamar mandi di dalam. Sebenarnya ia masih cukup canggung untuk pergi keluar, ia tak mau membuat orang lain terluka lebih dalam.

Ia menghabiskan waktunya untuk membaca Al-quran. Ia mengadukan apa yang dialaminya hari ini pada Sang Pencipta, Allah. Sungguh ia tak mungkin melakukan pengaduan kepada orang tuanya terkait hal sepele ini. Ini hanyalah masalah pembiasaan saja.

Jam tepat menunjukan pukul 8.40 malam. Namun, ia masih belum menemukan tansa-tanda Zia masuk ke kamarnya. Akhirnya ia memutuskan untuk melipat kain yang ia gunakan untuk Shalat lalu memasukannya pada lemari berwana cokelat tua itu.

Ia melangkahkan kaki menuju pintu. Tangannya dengan cekatan membuka pintu itu, "Apa yang kamu lakukan itu salah Nak. Ia juga kakakmu, meskipun dia baru saja bergabung dengan keluarga ini. Maka hormatilah dia juga." Ucap Mamanya lembut pada seorang gadis yang tengah terduduk di atas sofa, di ruang keluarga.

Tujuan Zara keluar dari kamarnya adalah untuk menanyakan perihal kepulangan Zia, ia tahu tadi Zia mengantarkan Raya sekalin pergi ke Masjid dekat rumahnya. Karena memang maghrib sudah dekat. Tapi ini sudah cukup malam, biasanya sekitar jam delapan malam Zia sudah bertengger di atas kasur bersamanya.

"Dia bukan kakakku, Ma. Terserah Mama, mau menganggapnya anak atau apa. Tapi tidak denganku, karena ia telah merebut posisi yang tidak seharusnya." Ucapnya ketus lalu, ia pergi begitu saja.

Zara yang memperhatikan itu masih terdiam, sebenarnya apa yang sedang dibicarakan oleh Ibu Mertua dan Adiknya itu? Apakah gadis manis itu tidak menerima kehadirannya?

Terdengar suara bel berbunyi, dengan tergopoh-gopoh Mei menuju pintu dan membukakan pintu untuk seseorang di baliknya. "Bagaimana pa, kantornya beres? Apa kamu capek? Aku buatkan susu hangat ya, biar kamu dapat tidur lebih nyenyak." Sapa Mei pada suaminya itu.

Zara yang melihat itu sungguh kagum, dalam hitungan detik Mamanya yang tegas tadi menghilang tergantikan oleh seorang malaikat lembut tanpa sayap. Ia juga melihat bagaimana Mama dan Papanya bercengkrama sesaat di ruang tamu menuju kamarnya. Tak ada satupun topik yang dibahasnya menyinggung kejadian barusan. Sungguh istri sholehah penghuni surga, ia tak mau membuat hati sang suami tak nyaman dengan masalah rumahnya.