Seusai shalat subuh, Zara memutuskan untuk membantu Bunda dan Kakak Iparnya untuk merapikan seluruh bagian rumah yang cukup kotor, setelah acara kemarin. Pukul 06.10, sarapan sudah tertata rapi di atas meja makan. Kebiasaan di rumahnya, mereka wajib sarapan bersama pada pukul 06.30. Kalau sewaktu sekolah dulu, agar tak kesiangan pergi ke sekolah jam 06.00 sudah harus berkumpul untuk menyantap makanan, sekarang berbeda. Anak-anaknya sudah besar, sudah menikah semua.
"Zara, panggil Ayah, Abang dan suamimu ke sini. Sebentar lagi sarapan dimulai." Ucap Bunda layaknya perintah yang tak dapat dibantah.
Gadis yang dituju hanya mengangguk, mulai meninggalkan dapur menuju kamarnya. Ia mencari seseorang yang sudah SAH memiliki hubungan dengannya. Laki-laki tegap dengan wajah yang cukup tampan. Dia mengedarkan matanya ke segala arah, namun ia tidak menemukan satu orang pun di sana.
Tak lama menunggu, terdengar suara air dari dalam kamar mandi, ia melangkah mendekati pintu itu dan mengetuknya beberapa kali. "Iya?" Tanya seseorang dari dalam.
"Cepat mandinya, ditunggu yang lain untuk sarapan bersama." Ucapnya setengah teriak lalu pergi meninggalkan laki-laki itu untuk menyelesaikan aktivitasnya tanpa mendengar balasannya.
Ia melangkahkan kakinya lagi menuju ruangan yang ada di sampingnya, ia mengetuk pelan lalu keluarlah laki-laki yang sering ia panggil Abang. "Sarapan sudah siap, ayo makan bareng." Ajaknya.
"Semua sudah berkumpul? Suamimu sudah diajak?" Tanyanya sambil menutup pintu kamar.
"Sudah, ia masih mandi. Abang duluan saja, aku akan panggil Ayah dulu." Ucapnya dan berlalu begitu saja menuju pekarangan rumah. Ia melihat Ayahnya yang cukup terlihat gagah tengah bersenda gurau dengan para tetangga yang sebaya dengannya. 'Ah.. Ayah.. Aku tak dapat membayangkan jauh darimu.' pikirnya.
Pria paruh baya itu membalikan badannya setelah mendapat kode dari teman-temannya. "Apa?" Tanyanya. Setiap kata yang keluar dari mulut Ayahnya adalah ketegasan, meskipun ia dan Abangnya sewaktu muda seringkali membuat kesalahan. Bukannya Ayah tidak sayang dan bersikap kasar, tapi ia mengingkan anaknya mampu untuk berkembang sesuai didikannya. Ketegasan dan kemandirian yang Ayahnya berikan setiap saat.
'Ayah.. terima kasih. Kau telah mendidiku dengan sangat baik. Tak ada yang bisa aku lakukan untuk membahagiakanmu. Aku tau, kau tidak rela jika aku didik oleh orang lain. Terlebih orang yang baru yang masih belum kau percayai. Tetapi, ketika kau memilihnya semoga sesuai dengan harapan dan hatimu. Aku percaya, pernikahan yang engkau Ridhai ini adalah pernikahan yang terbaik yang kau persembahkan untuk putri kecilmu.' Batinnya.
"Mari sarapan, Yah.." Lirihnya, ia menahan air matanya untuk tidak menangis saat ini juga.
"Ah.. Okay." Jawab Ayahnya. "Mari masuk, kita makan bersama." Ajaknya pada lawan bicara.
"Ah tidak pak, silahkan. Istri saya juga sudah masak, lain kali saja ya pak. Mari.." Pamit tetangganya. Ayah Zara mengangguk mengerti dan masuk ke dalam diikuti Zara.
Pria yang rambutnya mulai memutih itu menghentikan langkahnya, "Bagaimana kabarmu?" Tanyanya lembut.
Zara mendongakan kepalanya, ia menatap manik mata yang sungguh berwibawa itu. "Ayah.. Aku baik-baik saja. Ayah kenapa?" Ucapnya terkekeh.
"Syukurlah, semoga semuanya berjalan dengan lancar. Taatilah suamimu mulai sekarang.. Dia bertanggung jawab atas dirimu dunia akhirat." Jelasnya, lalu melanjutkan lagi langkahnya.
"Iya Ayah.." Lirihnya. Sungguh hatinya teramat sakit, ia melihat perhatian yang begitu besar pada Ayahnya. Ia paham benar Ayahnya sedang berjuang keras untuk merelakannya pada tangan orang lain.
'Ayah aku baik-baik saja. Terima kasih, maafkan aku jika aku tak pernah sesuai dengan harapanmu. Aku sangat sangat sayang Ayah.' Jerit batinnya.