webnovel

Aku tak menyesal menikahi seorang gadis yang rabun

Lelaki gagah itu mendudukan orang yang dicintainya itu di pinggiran tempat tidur. Ia menatapnya dengan lekat dengan tangan yang menguncinya di samping kanan kiri.

"Kau tahu.. Aku pencemburu, lebih dari dirimu." Ungkapnya, gadis itu hanya membelai wajah sang kekasih dengan lembut. Merasakan rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sekitar dagu dan jambangnya.

"Benarkah?" Tanyanya dengan tatapan yang masih fokus.

"Apa aku perlu membuktikannya?" Tanyanya dengan sesekali mengecup bibir manis itu.

"Emm.." Zara tampak berpikir. "Begitukah?"

"Tapi, ada konsekuensi yang harus kau tanggung." Ucapnya menimbulkan teka-teki dalam pikiran Zara.

"Apa itu?" Tanyanya, ia menundukan diri menyimpan tasnya di sudut kanan.

"Kau mungkin tak akan bisa berjalan seperti kemarin." Bisiknya tepat di telinga. Tangannya melepaskan jarum yang menempel rapi dalam hijabnya, menjaga kulit leher dan rambut sang kekasih dari tatapan para buaya.

Tangannya dengan lembut membuka penutup kepala itu, dan melipatnya dengan rapi. "Aku suka rambutmu itu, tidak terlalu panjang juga tidak pendek." Katanya.

"Aku tak menyesal menikahi seorang gadis yang rabun, karena pandangannya hanya tertuju padaku." Ungkapnya lagi.

Ia mengecup kedua mata itu dengan cukup lama. Lalu kecupan itu turun pada pipi yang memancarkan semburat merah apelnya. Kecupan itu semakin menjalar menuju bibir merah yang begitu menggairahkan. Kecupan itu berubah menuntut, hingga pasangan yang sedang mabuk itu pun merasakan udara yang semakin panas menggelora.

Mereka saling berpelukan satu sama lain setelah menuntaskan hak dan kewajibannya. Tangan kekar itu terulur menjadi alas kepala mungil di hadapannya. Dengan sesekali menyusuri rambut hitam yang terlihat kusut itu.

"Bangunlah, kita makan. Perutmu kosong." Ingatnya.

"Tidak apa-apa, aku masih kenyang. Kita nikmati dulu kebersamaan ini." Balasnya. Tangan itu menarik dan memeluk semakin erat.

Kepala wanita itu semakin mendekat pada dada bidangnya, lalu ia menganggukkan kepalanya tampak setuju.

Ya, ia lelah telah menghabiskan tenaganya sore ini di atas tempat tidur bersama Zia. Dan kantuk pun tak luput menyerang matanya. "Aku mengantuk.."

"Tak boleh.. Kau tak boleh tidur." Gertak Zia, ia menjauhkan wajah yang mungil itu dari dekapannya. Lalu sedikit demi sedikit menggoyangkan bahu, untuk mengusir kantuk itu.

"Tak boleh tidur di sore hari. Kau tahu kan bahwa tidur sore itu akan mengundang kegialaan? Semangat tahan kantuknya sayang.." Bujuknya terus.

Wanita itu hanya mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha membuka matanya secara paksa. Akan tetapi hasilnya nihil.

"Tapi aku lelah.." Rengeknya, mata itu sudah tidak bisa diajak lagi berkompromi.

"Apa yang harus aku lakukan..." Ucapnya panik, tetap dengan tangan yang mengguncangkan tubuh mungil itu. Ia tahu, tidur di saat lelah itu sungguh godaan iman, akan tetapi hasil dari kenyamanan itu hanya akan mengundang kemadharatan. Pasti itu sebuah kepastian, ketika bangun kepalanya akan pusing.