webnovel

Musim Panas dan Liburan dan Masalah Clarissa

Laftu, 29 Slevatyan.

Aku menatap mata kakak dengan seksama juga kakak melihat ke arahku, lalu dia hanya tersenyum-senyum saja.

Katanya, "kamu kenapa menatap aku dengan tatapan seorang yang mesum?"

"Me-mesum!? Tentu tidak...!!" Jawabku dengan tegas. "Tadi aku dengar kakak menyebut nama Miyazaki? Perempuan yang waktu itu datang ke sini?"

Lalu dia memalingkan wajahnya dan bersuara dengan suara yang kecil.

Kakak berkata, "aku tidak begitu ingat sih, antara Miyazaki atau Miyamoto namanya. Saat itu dia ngomongnya saat mandi sih, jadi suaranya ketutup dengan suara air."

Kemudian dia menatap lagi ke arahku, "memangnya ada apa kalau namanya Miyazaki? Kenapa kamu begitu kaget setelah aku sebut Miyazaki?"

"Yah.... Bukan apa-apa sih, hanya pernah dengar sekilas saja nama itu di sekolah." Aku tidak bisa memberitahunya kalau aku tahu nama itu dari Rio.

Yah memang belum bisa dibuktikan nama perempuan itu dengan pasti, karena kakak pun juga keliru dengan ingatannya, seperti yang dia ceritakan, kalau perbincangan itu terjadi ketika perempuan itu sedang mandi dan kakak membantunya.

Aku pun berdiri dan berjalan melewati kakak.

"Tunggu dulu...!" Kakak menghentikan langkahku, dia mencegat aku dengan membentangkan tangan kakaknya itu di depan perutku.

Aku menoleh, "apa lagi?"

Dia melirik ke arahku, dengan nada bicara yang penuh penekanan dan wajah yang terlihat kesal, dia berkata, "kamu yah! Sudah aku bilang kalau buka sepatu, langsung dimasukkan ke tempatnya! Jangan kamu berserakan seperti itu!!"

"Iya-iya." Aku menghela nafas.

Aku kembali lagi dan melakukan apa yang dikatakan oleh kakak.

"Kalau sudah, cepat ganti bajunya lalu pijat pinggang kakakmu ini yah!" Ucapnya disaat aku sedang merapihkan sepatu. "Rasanya mau patah pinggangku ini..."

"Iya-iya."

Meskipun aku sudah lelah dan sudah malam pula, aku tetaplah menuruti kemauan kakak.

Selagi aku ganti baju, kakak sedang mengunci pintu depan lalu mematikan lampu-lampu. Hanya lampu tempat mesin cuci yang menyala dan dibiarkan pintunya terbuka. Lampu dapur dan lampu di ruang keluarga juga kakak matikan, namun pintu tengah dibiarkan terbuka agar cahaya yang dari ruang cuci, itu sudah cukup.

Kemudian kakak masuk ke kamar tidur lalu dia berbaring tengkurap di atas kasur.

Dia berkata, "silahkan, kamu boleh memijat kakakmu."

Aku pegang pinggangnya dengan kedua tangan yang terasa otot-ototnya pada tegang dan kaku. Walaupun aku memijat kakak dengan tenaga, tetapi kakak malah tidak merasa apa-apa karena ototnya itu.

Kataku, "apa yang kakak lakukan disana? Semua otot kakak pada kaku."

"Hanya bantu bersih-bersih saja. Awalnya sih aku mau bantu angkat barang-barang tapi temanku itu malah meminta aku untuk bantu bersih-bersih."

"Yah karena aku pikir juga barangnya banyak, jadinya sepakat untuk bersih-bersih doang." Ujarnya.

Aku terus memijat kakak sampai ke bagian punggung atas sampai dekat pinggulnya.

"Hah? Kan kakak juga biasanya bersih-bersih di tempat ini. Tapi tidak pernah tuh sampai minta dipijat bahkan ototnya pun tidak kaku begini."

Jawab dia dengan suara pelan, "seandainya kamu tahu...."

"Hei!! Yang benar dong pijatnya!" Dia mencolek kaki aku, sebab dia yang berbaring di kasur sedangkan aku memijatnya sambil berdiri.

"Yah tunggu dong!" Lalu aku menekan-nekan badannya dengan telapak bagian dalam.

"Ya ampun.... ini enak sekali..." Wajah Ruri tampak kemerahan.

"Sekarang kamu urut sedikit juga, tekan dari atas sampai bawah tanpa putus."

Jawabku, "yakin?"

"Iya. Di laci sana ada minyaknya." Tunjuk kakak pada sebuah laci kecil yang ada di samping meja, yang berfungsi menaruh barang-barang ketika hendak tidur.

Aku membuka lacinya lalu aku menemuka sebotol kecil minyak zaitun.

"Minyak zaitun? Pakai ini, kak?"

"Iya." Jawab dia dengan datar.

"Aku angkat yah baju kakak." Jawabku dengan nada gemetar, tanganku juga gemetar ketika memegang ujung bawah bajunya yang sudah aku angkat sedikit sehingga kelihatan pinggangnya.

Jawabnya, "angkat saja."

Dengan perlahan aku angkat bajunya sampai ke atas namun hanya bagian belakangnya saja yang terangkat, sedangkan bagian depannya tidak semuanya.

Dugaan aku benar, bahwa kakak tidak memakai pakaian dalam, yah memang kebiasaan kakak.

"Kak, kenapa kakak tidak pakai dalaman" Tanyaku.

"Ya ampun, ya ampun. Ini sudah malam juga, aku mau tidur. Kalau tidur, seorang perempuan lebih suka tidak memakai apapun, selain tidak nyaman, memakainya juga membuat dada tertekan dan kulitnya bisa rusak."

"Tapi sebelum tidur, kamu harus memijat aku dulu."

Aku menghela nafas.

"Iya-iya."

Sedikit minyak aku tuangkan di atas punggungnya lalu ku oles ke seluruh bagian belakang badannya, dari dekat leher, dekat pundak, samping badan hingga sampai ke bawah, aku balur secara merata.

Lalu dengan sedikit tenaga lagi, aku mengurut kakak dari atas sampai bawah secara perlahan.

Terdengar suara dari kakak yang menunjukkan kalau dia sangat menikmatinya, hingga sepuluh menit berlalu, kakak tidak bersuara lagi.

"Kak?" Panggilku.

"Apa?"

Aku menelan ludah.

"Musim panas kali ini, aku libur sampai sebulan."

"Tumben bisa sampai sebulan gitu, biasanya juga cuma dua minggu paling lama."

Namun ucapan kakak semakin lama semakin kecil.

"Yah... setidaknya kamu bisa dong bantu-bantu aku di sini....."

Belum ada lima menit, Ruri sudah tertidur. Mengetahuinya sudah tidur, aku pun menurunkan kembali pakaiannya lalu menyelimutinya.

"Selamat malam, kak."

"Maaf yah, aku masih belum bisa cerita mengenai masalahku dengan guru matematika, aku tidak mau merusak liburan kali ini."

Karena pada siang sebelumnya, ketika di sekolah dan kepala sekolah memberikan pengumuman di ruang serbaguna, aku bertemu dengan guru matematika itu.

Beliau memperingati aku kalau masalahku dengannya akan terus dilanjutkan setelah liburan berakhir. Dia sudah melaporkannya kepada wali kelas dan dia juga meminta agar kakakku datang ke sekolah.

Memang ini bukan yang pertama maupun yang kedua, sudah kesekian kalinya aku bermasalah dengan guru itu.

Kemudian aku pun mematikan lampu dan membiarkan kakak tidur sendiri.

Setelah keluar, aku menyalakan lampu ruang keluarga.

"Huh... sudah jam setengah dua belas. Minimarket sudah tutuplah sekarang ini."

"Kok tiba-tiba lapar yah? Padahal tadi sudah makan banyak, gratis pula."

Kemudian aku pun memeriksa isi kulkas dan tidak aku dapati bahan makanan yang bisa aku olah.

"Ya sudahlah, mending tidur saja."

Lekas dari itu, aku berbaring di ruang keluarga lalu tidur disitu.

"Hei.... hei.... bangun!!" Suara itu perlahan-lahan membangunkan aku.

Aku buka mataku dan aku lihat kakak yang hanya memakai handuk, rambutnya masih basah dan ada beberapa tetes air yang jatuh di wajahku.

Katanya, "bangun.... ini sudah siang!!"

Aku pun terbangun dan langsung melihat jam. Awalnya mataku masih tidak fokus, semua yang aku lihat masih berbayang. Aku pun berdiri lalu beranjak untuk mencuci wajahku di tempat cuci piring.

Kakak berkata, "ya ampun, kan sudah aku bilang kalau mau tidur, jangan di depan. Kamu bisa pakai kasur lipat di kamar atau kamu kan bisa tidur disebelah aku."

"Kalau kamu tidur diluar gitu, nanti kamu bisa sakit. Kalau sakit siapa yang repot? Aku juga!"

"Iya-iya, malam nanti aku tidur di kamar deh." Jawabku.

"ya ampun! Sudah sekali memberitahunya! Sudah aku bilang berkali-kali masih saja melawan." Lalu dia masuk ke kamar untuk memakai baju.

Aku lihat pada jam dinding, baru menunjuk pukul enam pagi.

"Apanya yang sudah siang!!"

"Masih jam segini sudah dibangunkan....?!"

Setelah memakai baju, dia memberikan handuknya yang basah itu padaku.

Katanya, "tolong jemur di depan yah." Yang dia maksud itu jemuran yang ada di halaman depan.

"Tidak..! Jemur sendiri. Kakak yang pakai, kakak yang jemur." Jawabku.

Kemudian aku mengambil remote TV lalu menyalakannya. Acara pada pagi hari, apalagi hari ini hari Laftu, biasanya banyak ditayangkan acara untuk anak-anak. Meskipun aku sudah berusia enam belas, tahun ini, aku juga masih menyukai tontonan anak-anak.

Sementara itu, kakak masih saja berdiri dengan wajahnya yang cemberut, namun dia masih menyodorkan handuknya yang basah itu padaku dengan sesekali dia menggerakkan tangannya.

"Tidak....!" Kataku. "Ayolah kak, masa iya jemur handuk juga harus aku?"

"Lagian juga itu bekas kakak, apa susahnya tinggal buka pintu, lalu keluar dan jemur handuknya? Kan mudah."

"Ya ampun, kamu bisa berkata itu mudah, kalau begitu coba kamu praktekkan untukku kalau memang mudah. Bagiku itu sangat-sangat menyulitkan." Jawabnya sembari tersenyum.

"Gawat, aku malah terpancing dengan omonganku sendiri...?" Ucapku dalam hati.

"Ayo tunjukkan, ajarkan aku cara menjemur handuk ini." Dia kembali tertawa kecil.

Aku lebih memilih mengalah saja, tidak baik kalau berdebat dengan seseorang pada pagi hari. Menurutku, biarkanlah hari ini diawali dengan hal yang baik tanpa adanya sesuatu pertengkaran, walau hanya masalah sangat sepele ini.

Kemudian aku berdiri dan mengambil handuk itu dengan cepat. Tanpa berkata-kata, aku langsung membuka pintu depan yang masih terkunci.

Sayangnya, posisi bangunan ini sangatlah tidak mendukung. Bangunan ini, tidaklah berhadap jalan, melainkan menghadap ke samping. Jadi ketika aku membuka pintu, bahkan penghuni lain membuka pintu, kami akan langsung melihat tembok belakang dari rumah tetangga.

Sedangkan jalanan ada di sebelah kanan bangunan ini yang dibatasi dengan tembok.

Lalu di sisi kiri bangunan ini, berbatasan dengan tembok juga dan bagian belakang dari rumah seseorang. Sedangkan bagian belakang bangunan ini, terdapat sebuah lahan kosong dibalik tembok.

Yah, secara jelasnya, bangunan ini menghadap ke sisi timur, namun karena terhalang oleh bangunan di depannya, cahaya matahari pagi tidaklah bisa sampai menyinari tempat ini.

Biasanya pukul setengah tujuh pagi cahaya itu sudah bersinar terang, namun pukul sembilan, barulah cahaya itu menyinari setiap kamar di lantai dua dan hampir pukul setengah sebelas, barulah halaman depan yang dijadikan tempat untuk menjemur pakaian, terkena sinar matahari.

Di halaman depan itu, terdapat tiga buah jemuran besi yang bisa digunakan oleh siapa saja. Selama ini, tidak ada pernah kasus seorang yang tertukar jemurannya antar setiap penghuni.

Kataku, "tinggal letakkan dan bentangkan."

"Ya ampun, ternyata semudah itu caranya. Kalau begitu rasanya aku juga bisa deh." Ruri tertawa-tawa.

"Ayo masuk, akan aku buatkan kamu sarapan."

Kebetulan, semalam aku merasa lapar namun tidak ada bahan makanan yang bisa aku olah di kulkas.

Tapi entahlah apa yang hendak dimasak kakak untuk sarapan pagi ini.

Ketika kami masuk dan aku menutup pintu, aku lihat kakak sedang membuka kulkas.

Dia berkata, "ya ampun, ternyata sudah pada habis."

Lalu dia mengeluarkan sekaleng kornet dan juga keju.

"Mungkin nanti aku akan ke pusat perbelanjaan deh, bisa gawat kalau sampai tidak dibeli."

"Kakak mau masak apa?" Tanyaku.

"Tolong kamu lihat, apa masih ada nasi?"

Di deretan kompor, dekat dengan tempat bumbu, disitu letak penanak nasi itu.

"Ada, tinggal dikit. Tidak sampai sepiring nih."

Jawabnya, "ambil dan letakkan di piring. Habis itu bantu aku untuk mencuci beras lalu memasak nasi."

"Iya... iya."

Aku pun menyendok nasi kering itu yang sisa sedikit, lalu aku taruh di piring lalu tempatnya aku cuci dahulu.

Sementara itu, kakak sedang mengambil kursi kecil, yang dia gunakan sebagai pijakan agar dia lebih tinggi dari tinggi dapur. Kalau kakak tidak memakai pijakan itu, maka tinggi dapur itu hampir sedada dia, sedangkan kalau dia gunakan pijakan itu maka hanya sepinggang saja.

"Seperti anak kecil." Ucapku dalam hati.

Setelah itu kami saling berbagi tugas, kakak memasak kornet sedangkan aku memasak nasi.

Karena pekerjaanku yang lebih mudah dan tinggal menunggu beras yang telah aku cuci itu matang dan menjadi nasi putih yang panas, aku pun membantu kakak.

"Biar aku saja. Kakak sudah mandi, nanti bajunya malah bau." Lalu aku mengambil sodet yang dipegang kakak.

Kemudian dia mengelus kepalaku, karena dia berdiri di atas kursi pijakan itu, dia dapat meraih kepalaku tanpa aku harus menunduk.

Aku yang berdiri di depan kompor sedangkan kakak berdiri di sebelah kiriku, dia yang betugas memasukkan bumbu-bumbu sedangkan aku yang mengaduknya sampai rata.

"Kejunya untuk apa?" Aku mengambil keju batangan itu.

Katanya, "Kalau dagingnya sudah matang, parut keju itu di atasnya lalu tutup wajahnya dengan penutupnya dan diamkan sejenak."

Lalu aku pun mengikuti perkataannya, aku mengambil parutan lalu memarut keju itu cukup banyak sampai menutupi kornet yang sedang masak itu, lalu wajan itu aku tutup.

"Airnya akan sedikit surut tapi jangan sampai kering." Ucapnya lalu dia meninggalkan aku.

Sekitar beberapa menit, tidak sampai tiga menit, aku matikan kompor itu lalu membuka penutupnya.

Uap panas yang disertai wangi yang sedap pun mengebul keluar.

Keju itu meleleh sempurna di atas daging kornet itu. Dengan perlahan aku pindahkan masakan itu pada wadah piring dengan hati-hati agar bagian keju itu tetap di bagian atas daging.

Itu sangat sulit, karena ada yang terlanjur berantakan, jadi secara brutal, aku tuang saja semua masakan itu ke piring tanpa memikirkan keju diatas.

"Yang penting kan nanti juga dimakan semua...!"

Aku membawa piring itu.

"Sarapannya sudah siap, tinggal tunggu nasi."

Kata kakak, "tadi kamu masak nasi, langsung pakai air panas?"

Aku letakkan piring itu di meja kayu kecil.

"tidak, pakai air biasa."

"Ya ampun.... Bakal lama banget kalau tidak pakai air panas. Nih yah, aku ajarin, tadi kamus udah mengajari aku cara menjemur handuk, gantian, aku yang ajari kamu masak nasi." Dia tertawa kecil.

Memang tidak penting banget ucapannya, tapi memasak nasi aku memang jarang.

Sambungnya, "Kalau kamu masak nasi pakai air biasa, akan membutuhkan waktu empat puluh lima menit. Sedangkan kalau kamu masak nasi pakai air panas, akan membutuhkan waktu dua puluh menit saja."

"Tapi ada kurang lebihnya. Kalau pakai air biasa bahkan air dingin, nasi yang dihasilkannya akan lebih lembut dan terasa lebih manis. Aku kurang tahu juga kenapa bisa begitu. Tapi kalau pakai air panas, rasanya sedikit hambar, itu saja."

Akhirnya kami menunggu hingga nasi itu masak sampai membuat lauk yang sudah dimasak terlebih dahulu itu menjadi sedikit dingin. Kemudian ketika sudah matang, barulah kami mengambil peralatan makan lalu menyantap hidangan tersebut.

"Pedas...!!" Kataku pada suapan pertama. "Tapi enak."

Kata kakak, "pedas? Ya ampun, mungkin aku terlalu banyak menuangkan bubuk cabai bubuk tadi."

Kira-kira pukul sepuluh, ketika aku sedang duduk-duduk santai sambil menonton TV, kakak pun sedang memisahkan pakaian yang hendak dia cuci.

Untuk pakaian dan celana yang berwarna selain putih, akan dicuci sekaligus. Sedangkan untuk pakaian yang berwarna putih akan dicuci secara terpisah.

Katanya kalau pakaian yang putih, dia memakai pemutih.

Juga dia memisahkan antara pakaian dalam dengan pakaian biasa. Katanya kalau pakaian dalam dicuci dengan mesin cuci bisa rusak. Karena itu dia memisahkannya agar bisa dicuci dengan cara manual.

Ponselku bergetar, juga nada deringnya terdengar. Disaat aku lihat, bahwa Rio meneleponku.

Aku pun beranjak keluar dari kamar kos-kosan itu, barulah aku mengangkat panggilan itu.

Rio berkata dari balik telepon, "Hei..."

Jawabku, "Ada apa? Pagi-pagi sudah menelepon?"

"Kamu ingat Clarissa, kan temanku yang kemarin kita ke rumahnya?"

"Iya tentu."

"Ahh?!! Ini menyulitkan, nanti aku ke kosan kamu agar bisa langsung bicara denganmu agar tidak salah paham."

"Mungkin sekitar jam dua nanti aku datang, siapkan aku jus jeruk buatan kakakmu yah!!"

Setelah itu dia langsung menutup teleponnya tanpa bisa aku membalasnya. Bukannya aku tidak mau menerima dia hari ini, tapi aku sedikit malas menerima seorang tamu pada hari ini, rasanya berbaring di tempat tidur itu rasanya nyaman, karena jarang-jarang aku tidur disitu, melainkan aku berikan pada kakak.

"Kamu ngapain?" Tanya kakak, dia keluar dari kamar.

"Rio telepon, katanya nanti jam dua dia mau datang." Ucapku yang sambil berjalan masuk.

Katanya, "Rio? Jam dua? Ya ampun, kalau begitu kan aku harus menyiapkan jamuan untuknya."

"Tidak perlu, tidak perlu, berikan dia jus jeruk saja, dia suka itu."

"Kalau begitu, setelah mencuci, aku akan ke minimarket atau kamu yang beli jus jeruknya sedangkan aku lanjut mencuci?"

Dengan begitu, aku pun mengambil jaket dan mengambil sejumlah uang. Setelah memakai jaket lalu juga memakai topi punya kakak, aku berjalan keluar kamar.

Ketika sudah di luar, hari ini cukup terik, mulai terasa suasana musim panas yang sesungguhnya, rasanya matahari hanya beberapa jaraknya di langit.

Aku bertemu dengan penghuni kamar atas, entah kamar nomor berapa yang terlihat dia turun dengan membawa beberapa barang. Aku hanya tersenyum padanya.

Tetapi dia memanggil aku, "kakakmu ada?"

"Ada, dia sedang mencuci di dalam."

"Oh begitu, oke."

Lekas dari itu, aku pun berjalan menyusuri jalan menuju minimarket yang ada di pinggir jalan itu. Hari Laftu, meski menjadi hari libur nasional tetapi jalanan masih saja ramai penggunanya. Tetapi masih terasa perbedaanya antara hari-hari yang lain, yang biasanya di setiap lampu merah bisa menumpuk kendaraan-kendaraan namun jikalau hari ini, hanya sedikit.

Ada dua kemungkinan yang sebenarnya, pertama memang ketika hari libur banyak pengguna jalan yang ada di rumahnya, sebab hari ini banyak yang tidak bekerja. Yang kedua juga karena hari ini bertepatan dengan liburan musim panas setiap sekolah, jadi banyak keluarga yang sudah pergi berlibur keluar kota.

Sesampainya di minimarket itu, aku mengambil sebotol jus jeruk. Meskipun permintaan Rio itu meminta jus jeruk buatan kakak, namun itu merepotkan sekali. Buah jeruknya harus dibeli di tempat yang berbeda, yang lebih jauh. Terdapat sebuah pusat perbelanjaan yang berisi kios-kios yang menjual banyak sekali kebutuhan, yang lebih lengkap daripada minimarket ini.

Ketika aku hendak membayar, kasirnya berkata padaku, "tumben beli ini saja, tidak beli minuman yang biasa?" Maksudnya adalah minuman kaleng beralkohol yang diminum kakak.

"Tidak, kami masih ada stoknya kok. Kalau habis nanti juga beli lagi."

Setelah membayar aku pun kembali.

"Aku pulang."

"Selamat kembali."

Aku menaruh jus jeruk itu di kulkas, membuatnya tetap dingin ketika mau diminum nanti.

Kakak berkata, "bisa tolong jemur pakaian ini?"

"Aku saja belum membuka jaket kak, tunggulah sebentar. Diluar sudah mulai sangat panas. Setidaknya biarkan dulu aku membaringkan diriku di kamar yang dingin."

"Iya, oke. Tidak masalah, tetapi berikutnya, ketika aku meminta tolong, kamu harus lakukan yah." Kemudian dia keluar dengan sekeranjang penuh pakaian bersih yang hendak dia jemur.

Waktu pun berlalu.

Aku membuka mataku, langsung aku lihat wajah kakak yang sangat dekat dengan wajahku itu.

Katanya, "temanmu sudah datang itu."

"Sekarang jam berapa?"

Jawabnya, "hampir jam dua." Lalu dia mundur beberapa langkah kebelakang.

"Itu Rio ada di depan. Kalian mau kemana lagi sih?"

"Astaga... aku malah ketiduran." Aku langsung bangun dan mengambil handuk.

"Tadi aku mau mandi, malah ketiduran. Tolong bilang ke Rio kalau aku mandi dulu, bilang padanya untuk tunggu, atau setidaknya biarkan dia masuk dan minum jus jeruknya."

"Mana mungkin aku membiarkannya masuk disaat kamu tidur? Yaudah aku panggil dia dulu."

Disaat aku sedang mandi, kakak membuka pintu agar Rio bisa masuk lalu dia duduk di ruang TV. Kakak pun menjamu Rio dengan segelas jus jeruk yang sebelumnya sudah aku beli.

Aku tahu kalau kakak khawatir jika ada seorang laki-laki lain yang berada di dekatnya selain diriku. Karena itu pula, aku secepat mungkin untuk membilas tubuh ini dari sabun dan sampo yang ada.

Untungnya aku langsung bawa pakaian ganti, jadi keluar dari kamar cuci, aku sudah memakai pakaian yang rapih.

"Yo..!" Sapa aku pada Rio.

Rio meletakkan gelas yang sudah tinggal setengah isinya.

Katanya, "Jangan bilang kalau kau ketiduran?"

"Maaf-maaf.."

"Memangnya ada apa? Sampai tiba-tiba ke sini dan apa hubungannya dengan Clarissa?"

Kakak langsung menoleh kepadaku, "ya ampun, Clarissa itu pacarmu...?"

"Bukan...! Itu teman Rio, kan sudah aku beritahu semalam."

Jawabnya, "ya ampun, Clarissa itu pacarnya Rio."

Rio langsung tertawa, "aku juga mau dia jadi pacarku..." Dia memalingkan wajahnya.

Dengan suara kecil dia berkata, "kalau dia mau juga...."

Lalu kakak mengambil handuk yang basah itu lalu dia keluar untuk menjemur handukku itu.

"Kamu bicara saja dengan temanmu, aku masih ada banyak kerjaan hari ini..."

"Terimakasih."

Lalu aku duduk di hadapan Rio.

Rio berkata, "Mungkin ini salahku juga, kamu jadi terseret masalah ini. Jadi pada intinya, kedua orangtuanya Clarissa marah-marah karena Clarissa pergi kemarin dan pulang malam. Clarissa meminta aku dan kamu untuk datang ke rumahnya, agar bisa berbicara dengan orangtuanya itu."

"Lagian kenapa bisa Clarissa ikut?"

"Aku memaksanya." Ucap Rio. "Aku memohon-mohon padanya untuk ikut padahal dia sudah menolak aku terus. Aku juga memakai segala cara agar dia tetap, ikut dengan kumpulnya di rumahnya, meminta bantuan Jesika untuk meyakininya agar ikut. Yah akhirnya dia mau ikut juga tapi saat pulangnya, orangtuanya murka terhadapnya."

"Pantas saja, saat kemarin wajahnya terlihat khawatir dan gelisah."

"Aku mau berbicara dengannya tapi aku tidak mengenalinya, lagipula aku pun juga tidak bisa berbicara dengan perempuan lain."

Rio pun memohon padaku agar bisa membantunya, sebab dia merasa kalau rusaknya hubungan antara orangtua Clarissa dengan Clarissa karena salah dirinya. Dia meminta aku untuk membantunya sedangkan Clarissa memanggil Rio dan aku untuk membantunya.

"Haduuuhhh... Aku tidak mengerti lagi... Kalau gitu, kita temui Clarissa langsung aja." Kataku.

"Tujuan kita memang akan ke sana."

"Tapi aku malah takut bertemu orangtuanya."

"Tenang saja, aku pasti membantumu."

Kemudian, setelah Rio menghabiskan jus jeruk itu aku pun mengambil ponsel dan sejumlah uang

"Aku pergi dulu." Ucapku pada kakak yang berbicara dengan penghuni kamar lainnya di depan kamar.

"Ya hati-hati."

Kami pun kembali ke rumah Clarissa yang tidak terlalu jauh itu jika ditempuh dengan sepeda motor. Rio pun dengan santai, dengan kecepatan kisaran empat puluh sampai lima puluh kilometer perjam, karena memang ketika hari Laftu,. jalanan lebih kosong.

Di perjalanan, Rio berkata, "kakakmu makin cantik aja yah."

"Seandainya kamu jadi adik tiri aku, pasti akan menyenangkan."

"Tidak akan! Sampai kapanpun, aku tidak akan memberikan kakak pada orang sepertimu...!" Aku tersenyum, karena kami tahu kalau semuanya dalam konteks bercanda.

"Buset..! Bagi-bagi dong...! Sampai sekarang, kamu masih tidur dengan kakakmu?"

"Hah....?" Aku tidak mendengarnya karena hembusan angin yang cukup kencang.

"Kau... masih... tidur... dengan... kakakmu?" Rio membesarkan suaranya.

Aku pun baru dengan jelas mendengar perkataannya.

"Sudah tidak... tapi sesekali iya."

"Ah... Sial...!!" Dia langsung kesal.

Sesampainya di rumah Clarissa, di depan rumahnya itu, terparkir sebuah mobil yang sebelumnya tidak ada, ketika aku datang sore hari kemarin dan malamnya.

Rio berkata, "itu mobil orangutannya, mereka ada di rumah."

Gemetaran langsung kaki kami berdua ketika turun dari motor itu, Rio memarkirkannya di depan mobil itu, dekat dengan pagar, karena kalau di belakang mobil,.tidak terlihat.

Rio berkata, "Aku akan menghubungi Clarissa dulu untuk membuka pintunya, kalau kita tekan bel rumah ini, yang keluar langsung raja terakhir."

Yang dibayangkan Rio itu ayah Clarissa dengan tongkat kayu ditangannya.

Beberapa menit kemudian, seseorang keluar dan membukakan pintu gerbang itu.

Tetapi bukanlah Clarissa melainkan Jesika.

"Loh...?!" Aku kebingungan.

"Kan sudah aku bilang, kita akan bertemu lagi, tapi tidak terduga yah, kalau akan secepat ini." Jesika malah tersenyum.

"Ayo masuk ..."

Rio berkata, "sejak kapan kamu ada disini?"

"Aku menginap disini."

Rio berjalan lebih cepat hingga dia berjalan di kiri Jesika. Katanya, "hah!?"

Jesika membuka pintu, "yah, semalam pas mau pulang, terjadi peperangan besar dan Clarissa meminta aku tidak pulang, jadilah aku tidur dengannya."

Aku menyela mereka, "kita tidak menyapa orangtua Clarissa dulu? Katanya mereka sedang ada di rumah."

"Yah, kalau kamu mau, silahkan ketuk pintu kamar mereka dan membangunkan mereka." Jawab Jesika. "Mereka sedang di kamar, jadi kita langsung aja ke kamar Clarissa."

Seketika langkah kakiku terhenti setelah mendengar itu, membuat Rio langsung menoleh kebelakang.

Katanya, "kenapa kau berhenti gitu? Ayo .!"

"Ki-kita ke-kamarnya?"

Jesika berkata, "Iya, dia ada di kamarnya. Kamu kenapa?"

Hanya Rio yang tahu kondisiku. Keringat dingin mulailah bercucuran membasahi leherku, seketika ruangan yang sejuk itu, mendadak terasa begitu panas.

Sesekali aku menyeka keringat yang ada di dahi dan sekitar leher.

Rio langsung menghampiri dan merangkul aku dan berkata, "kau tenang saja, ada aku. Kamu tidak akan menjadi laki-laki sendirian di kamarnya nanti."

Jesika langsung tertawa, "aneh banget temanmu itu. Sudahlah, ayo cepat."

Rumah Clarissa berada di dalam komplek perumahan yang cukup bisa dikatakan mahal. Karena kebanyakan rumah-rumah yang ada di sini, hampir semuanya minimal mempunyai dua lantai.

Sedangkan, rumah Clarissa, teman Rio sendiri, tinggal di sebuah rumah yang memiliki tiga lantai.

Ketika kami menaiki tangga dan Jesika memimpin di depan, sedangkan aku di belakangnya, tiba-tiba saja Dia berhenti di tengah jalan.

Rio bertanya, "ada apa?"

Jesika menoleh kebelakang, "Clarissa minta dibawakan minum, hampir saja aku lupa."

Lalu dia turun kembali melalui aku dan menarik Rio dan berkata, "Sekalian kamu bantu aku untuk menyiapkan minuman untuk kalian berdua. Biar aku tidak turun-turun lagi hanya untuk mengambil minuman."

Kata Rio, "kamu mau minum apa?"

"Eng—" Aku terdiam. Karena Jesika menyela, "halah, kayak kamu tuan rumahnya saja. Air putih sudah cukup, kan?"

"Iya."

Aku tidak bisa meminta apapun selain yang sudah di tetapkan. Meskipun Jesika bukan tuan rumah, tetapi Clarissa memberikan kepercayaan kepadanya.

"Kamu naik saja duluan, kamarnya itu pintu kedua. Kalau kamu buka yang pertama nanti kamu menyesal." Ucap Jesika yang kemudian menarik tangan Rio.

"Aku ikut bantu saja." Kataku yang juga menuruni tangga.

Tetapi Rio menahan aku.

"Tidak lama, kamu tunggu aja di kamarnya. Lagipula kalian sudah saling kenalan kemarin, jadi tidak perlu canggung."

Yah memang, untuk pertama kalinya aku berkenalan dengan seorang perempuan yang bukan dari teman sekelas secara formal. Kemarin, setelah aku berkenalan dengan Jesika, ketika sedang makan bersama itu, aku sempat mengobrol dengan Clarissa beberapa saat, itu pun mengenai masakan yang rasanya cukup lezat.

Ketika sudah di lantai dua, di kananku, ada sebuah pintu yang aku yakini, itu merupakan pintu yang pertama, jadi aku melaluinya.

"Pasti ini." Di sebuah pintu kamar yang terdapat sebuah papan nama yang ditempelkan, yang bertuliskan nama Clarissa tentu saja itu menunjukkan bahwa itu kamarnya.

Aku menarik nafas berkali-kali dan berusaha menenangkan diri. Perlahan, keringatku yang semakin banyak ketika menaiki tangga itu perlahan juga mulai berkurang.

Aku mencoba meyakinkan diriku kalau saja Rio dan Jesika segera kembali.

Kemudian aku mengetuk pintu sebanyak tiga kali lalu membuka pintunya.

"Permi....si....." Aku terdiam.

Ketika aku sudah sedikit membuka pintunya dan melihat isi dalam kamarnya.

Yang aku lihat, baju Clarissa sedang terangkat sepenuhnya, sehingga aku bisa melihat perut dan pakaian dalamnya itu, Clarissa pun juga langsung terdiam melihatku.

Seketika aku menutup pintu itu dan berdiri layaknya patung di depan kamar Clarissa. Ingatan mengenai lekuk tubuh Clarissa teruslah terbayang di benakku saat itu, walau dia memakai celana tetapi pose dia yang bajunya terangkat itu, mengacaukan pikiranku.

Heran memang, karena aku terbiasa melihat kakak tetapi ketika melihat orang lain, aku merasa sesuatu yang aneh di tubuhku.

Aku terus menunggu hingga Jesika dan Rio naik dengan membawa beberapa minuman dan juga toples makanan ringan.

Rio berkata, "loh... kamu tidak masuk? Sebegitu takutnya kamu dengan perempuan?"

Jesika melirik, "takut sama perempuan?"

Rio berkata, "iya, dia takut berbicara dengan perempuan, apalagi hanya berduaan di kamar. Tapi... dia punya seorang kakak yang cantik."

"Tapi dia... kemarin tampak biasa saja."

"Ya sudahlah, nanti saja kita bicara di dalam kamar." Kemudian Jesika memberikanku dua toples makanan ringan yang dia bawa, sehingga dia yang membuka pintu kamar Clarissa.

Lalu masuklah kami bertiga dan mendapati Clarissa hanya duduk di pinggir ranjangnya itu sembari menonton TV.

"Clarissa...!!! Kau makin cantik aja, setiap harinya....!"

Clarissa menjawab dengan suara kecil, "diam kau, Rio. Jangan menggodaku terus."

Sesekali Clarissa melirik ke arahku. Tentunya karena kejadian yang baru saja terjadi sepuluh menit yang lalu.

Kamar Clarissa tidaklah terlalu besar. Ketika masuk, disebelah kiri langsung tempat tidurnya yang di depannya ada TV yang menempel di dinding.

Sedangkan lemari pakaiannya, berada di sebelah kiri kamarnya, jadi ketika aku tadi membuka pintunya sedikit dan lihat ke dalam, aku langsung melihat ke arah lemari pakaian Clarissa yang juga, ketika dia sedang mengganti bajunya, aku juga melihatnya langsung karena dia berdiri di depan lemari pakaian itu.

Setelah itu, Jesika langsung melompat dan berbaring di tempat tidur Clarissa yang selimutnya berantakan sejak tadi.

"Ini..." Kemudian Rio memberikan botol minum untuk Clarissa. "tadi aku minum juga dari situ."

Clarissa langsung tersenyum, "kalau begitu, biar aku buang dan membelinya yang baru."

"Tidak dicuci dulu?!!" Tegas Rio.

Clarissa kemudian membuka tutup botolnya dan berkata, "tidaklah! Sudah terkontaminasi oleh racun." Lalu dia meminum dari botol itu.

Ketika dia minum, sesekali dia melirik ke arahku, yang masih berdiri di dekat pintu yang terbuka itu.

"Ohok... ohok...." Lalu dia tersedak ketika minum. Dengan sigapnya Jesika menepuk-nepuk pelan badan belakang Clarissa.

Kemudian aku pun menutup pintu lalu berdiri sedikit ke arah jendela, yang letaknya sejajar dengan pintu. Sedangkan Rio pun duduk di tepi kasur, menghalangi TV. Aku tidak berani mendekat ke tempat tidur itu.

Rio pun berkata di tengah kecanggungan itu, begitu yang aku rasa.

Katanya, "jadi, apa halnya memanggil aku bahkan sampai temanku juga dipanggil."

Clarissa pun mulai bercerita panjang lebar, yang mulanya dirinya diajak oleh Rio lewat telepon, yang terjadi beberapa hari yang lalu sebelum hari makan malam itu.

Meskipun begitu, Clarissa terus menolak ajakan Rio tetapi Rio tetaplah mencoba meyakinkan Clarissa.

Di kala itu, Clarissa mencoba berbicara dengan ibunya mengenai rencananya makan malam bersama itu.

Namun, ibunya menjawab, "kamu sudah tahu tempatnya dimana?"

Jawab Clarissa, "kata Rio, di Saleya."

Kembali ibunya bertanya, "siapa aja yang akan pergi selain Rio?"

"Selain Rio, lalu ada Jesika dan Kazuya."

Ibunya saat itu sedang mengetik sesuatu di laptopnya.

"Oh begitu, jadi mereka bertiga."

Clarissa mendekati ibunya dengan penuh harapan serta senyuman. Dia berkata, "jadi bolehkah aku—"

"Tidak!" Jawabnya dengan langsung nada yang tinggi dan tegas.

Dengan begitu, hilanglah senyuman dari wajah Clarissa dan tidak bergeming.

Dia tahu bahwa kalau ibunya sudah berkata 'tidak' dengan nada yang atau suara yang tinggi, maka perkataannya itu pasti dan tidak bisa dicabutnya.

Dia juga tahu, bahwa percuma saja dia meminta izin kepada ayahnya, sebab beliau sangatlah sibuk dalam bekerja. Hampir delapan belas jam, ayahnya hanya berurusan dengan pekerjaannya, pergi pagi hari dan pulang malam hari, itu pun ketika sudah lewat tengah malam.

Ibunya pun langsung menutup laptopnya dan juga menurunkan kacamatanya dan menatap Clarissa seraya berkata, "kamu tentu akan bertanya mengenai alasannya kan?"

Clarissa pun menggeleng pelan, "tidak bu."

Dia pun bangun dan beranjak dari tempat dia duduk lalu naik dan masuk ke kamarnya.

"Rasanya percuma menanyakan alasannya, apapun jawabannya, pasti tidak akan mengubah jawabannya."

Air mata Clarissa pun keluar perlahan-lahan.

Setelah beberapa hari, Rio pun mengkonfirmasi ulang kepada Clarissa juga lewat telepon.

Clarissa menjawab, "iya aku ikut. Tapi jangan pulang sebelum jam sebelas malam."

Karena ibunya biasanya pulang sekitar jam dua belas malam, sedangkan ayahnya biasanya pulang sekitar jam dua subuh barulah sampai di rumah.

Rio pun berkata di tengah-tengah cerita Clarissa, "jadi, alasan kami dipanggil itu apa?"

Clarissa menatapku dengan suara pelan dia berkata, "jadi...."

Clarissa bercerita lagi, kalau ketika hari itu, pada malam itu, setelah aku dan Rio pulang, tersisa Kazuya dan Jesika yang masih ada di rumahnya.

Kazuya berkata, "kamu kenapa memaksakan dirimu untuk ikut, padahal ibumu sudah melarangnya?"

Clarissa menjawab, "ada alasannya tersendiri, aku tidak bisa memberitahunya."

Setelah itu Kazuya pun pulang dan dia tidak mau memperpanjangnya lagi.

Ketika Clarissa membuka pintu rumahnya yang terkunci itu, disaat dia masuk, dilihat olehnya, ibu Clarissa yang sedang main laptop di meja makan, tempat biasa dia duduk dengan laptopnya.

Suara pintu yang terbuka itu, membuat ibunya menoleh ke arah pintu depan.

Betapa terkejutnya, baik ibunya maupun Clarissa sendiri.

Ibunya menurunkan kacamatanya dan berkata, "Clarissa..? Kamu beneran pergi ke tempat makan itu?"

Clarissa hanya diam saja sedangkan ibunya beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati Clarissa yang masih berdiri di balik pintu.

Ibunya pun bertemu dengan Jesika yang masih diluar. Jesika hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan.

Lalu menghela nafas lah ibunya itu.

"Masuk." Lalu dia kembali ke meja makan itu.

Jesika sempat berkata pada Clarissa, "sebaiknya aku pulang saja yah."

"Jangan...." Clarissa memegang tangan Jesika.

"Temani aku."

Setelah mereka masuk, Clarissa meminta agar Jesika naik dan menunggu di kamarnya selagi dia berhadapan dengan ibunya, tetapi Jesika tidak benar-benar masuk ke kamarnya, melainkan dia menunggu di depan kamar Clarissa.

Ibu Clarissa berkata, "kamu sudah berani melawan perkataan aku. Kamu mau menjadi seorang pembangkang yang melawan orangtuanya?"

Clarissa terdiam.

"Rasanya sudah sangat jelas saat itu, kalau aku sudah berkata 'tidak' tetapi sekarang kamu menyelinap keluar dan pergi dengan temanmu."

Kembali, Clarissa hanya terdiam.

Perasaan amarah ibunya mulailah mencuat.

"Aku sedang berbicara dengan anakku sendiri bukan dengan batu. Setidaknya beritahukanlah padaku, apa alasanmu melawan ibu?"

Dengan suara yang sedikit gemetaran, Clarissa berkata, "aku tidak melawan ibu."

"Kalau tidak melawan, mengapa kamu tidak mengindahkan perkataan aku?" Ibunya kembali membuka dan menyalakan laptopnya.

Sampai akhirnya, cekcok antara Clarissa dan ibunya pun tidak bisa terhindarkan, semua itu didengar oleh Jesika.

Dengan suara kencang dengan berlinang air mata, Clarissa berkata, "Aku sudah besar! Aku sudah kelas dua SMA! Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur oleh ibu terus-menerus, aku juga punya kehidupan yang ingin aku jalani dengan normal, layaknya orang lain yang tidak dikekang oleh orangtuanya!"

Ibunya yang sudah mengambil gelas berisi air itu, kemudian membantingnya ke lantai sehingga gelas kaca itu hancur berkeping-keping. Untungnya, tidak ada yang terluka dari kejadian itu. Tetapi pecahan gelas itu mengejutkan Clarissa maupun Jesika.

Dengan suara yang juga keras, ibunya berseru, "sudah besar?! Kalau begitu kamu sudah bisa cari uang sendiri?! Kalau sudah kamu boleh keluar dari rumah ini dan memulai kehidupanmu sendiri dengan aturan yang kamu buat sendiri! Ini rumahku, bukan rumahmu, begitupun juga aturan yang berlaku di rumah ini, aturan yang aku buat bukan yang kamu buat!"

"Kamu memang bukan anak kecil, tapi apa kamu sudah bisa mengurus dirimu sendiri? Segala kebutuhanmu itu sudah bisa kamu sediakan seorang diri tanpa perlu aku atau ayahmu yang bantu?!"

"Aku tidak mengekang kamu, melainkan menerapkan kedisiplinan! Kalau Aku bilang tidak ya tidak! Kalau aku bilang iya ya iya! Sulitkah mengerti bahasa yang aku gunakan itu sehingga kamu melanggarnya?"

"Besok, panggil semua temanmu yang ikut, khususnya Rio yang mengajak kamu!"

"Alasannya apa!?" Sentak Clarissa. Lalu dengan tangisan itu, dia meninggalkan ibunya seorang diri.

Clarissa menemui Jesika yang sedang duduk di depan pintu kamarnya.

Clarissa berkata, "kamu selama ini diluar? Kamu mendengar semuanya?"

Jesika hanya bisa berkata, "maaf."

Clarissa langsung memeluknya dan menangis. Jesika lalu membuka pintu dan membawanya masuk. Di dalam kamarnya, Clarissa menangis dipeluknya Jesika tanpa henti-hentinya.

Setelah mendengar semuanya itu, meskipun tidak sepenuhnya cerita dari Clarissa yang aku dengar, namun aku tahu permasalahannya.

Jesika berkata, "ini salahmu, Rio."

Clarissa tersenyum dan dia menyeka air matanya, "iya semua salah Rio."

Rio langsung menjauh, ke arahku, "kok jadi aku??"

Jawabku, "iya mungkin salahmu rasanya, kamu yang memaksa Clarissa ikut. Akhirnya jadi kacau begini."

Tetapi semuanya itu hanya sekedar bercanda, tidak sepenuhnya menyalahkan Rio meskipun dia memang menjadi penyebabnya. Kalaupun Rio tidak memaksa Clarissa, pastilah tidak akan berakhir begini.

Clarissa berkata, "tapi ya sudahlah. tinggal menunggu ibu bangun, mungkin nama Rio akan menjadi tulisan kenangan saja."

Tanyaku, "kalau ayahmu?"

Clarissa menjawab, "Yah begitulah, dia juga memarahi aku namun tidak seperti ibu yang sampai membanting gelas dan mengusir aku."

"Ayah marah bukan karena aku pergi, melainkan karena aku tidak menuruti perkataan ibu."

Tiba-tiba saja suara notifikasi dari ponsel Rio berbunyi, dia langsung mengambil ponselnya.

Jesika berkata, "wih, tumben bunyi, biasanya kalau begitu sih notifikasi dari perempuan. Clarissa mau kamu kemana-kan?"

Clarissa memukul pelan Jesika dengan bantal guling.

"Kasih tahu dong, perempuan mana lagi yang kamu dekati?" Tanya Jesika.

"Ada... kenalan sekolahku." Rio membaca pesannya dan membalasnya, tetapi aku yang tidan jauh dari Rio, tidak tahu isi pesannya itu.

"Dia lagi sakit, beberapa hari yang lalu, dia kehujanan."

Aku langsung terpikirkan perempuan yang itu.

"Uhh dasar buaya darat." Ujar Jesika. Lalu dia menyenggol bahu Clarissa, "yah, kamu kalah langkah dari..... Dari siapa nama perempuannya?"

"Miyazaki." Jawab Rio.

"Kamu kalah langkah dari Miyabi... Eh maksudnya Miyazaki."

Clarissa hanya tersenyum malu-malu dan sesekali dia melihat ke arahku sedangkan aku terus mengingat perempuan yang pernah datang ke tempatku saat aku kehujanan juga.

Ketika Rio menyebut bahwa perempuan itu sedang sakit, aku juga mengingat kalau perempuan itu juga pilek saat makan malam bersama itu, tapi tidak tahu selebihnya.