Wanita bersurai cokelat terang yang tengah duduk disudut café bernuansa klasik itu terus saja menatap arloji yang bertengger manis dipergelangan tangan kirinya. Sang klien berjanji akan datang pukul 11.00 pagi ini, telah 45 menit berlalu namun si pembuat janji belum menampakkan tanda-tanda kehadiran. Xena sudah berusaha menghubungi dan mengirimi pesan, namun tak ada jawaban.
Baiklah, jika dalam 15 menit kedepan si klien tak datang maka Xena memilih untuk meninggalkan tempat itu. Dirinya terlalu sibuk hanya untuk menunggu si klien yang ingkar janji.
14 menit berlalu, Xena sudah membereskan beberapa berkas yang dibawanya, ia sudah mengangkat bokongnya dari kursi, namun seorang wanita bersepatu stiletto merah menghampirinya "Bisakah kau kembali duduk, nona Roxena? Aku hanya ingin bicara sebentar."
What the- mengagetkan saja, umpat Xena. Rasanya Xena ingin menyiram wanita itu dengan sisa minuman miliknya, jika saja si cantik nan angkuh tersebut bukan kliennya. Sudah telat namun tidak tau diri. Orang kaya memang begitu, suka semaunya sendiri, terlalu angkuh, merasa paling berkuasa.
Xena terus-terusan mengumpat dalam hati. Sabar Xena, sabar. Perlakukanlah klien pentingmu dengan baik, karirmu bisa terancam jika mencari masalah dengan wanita sepertinya.
Kedua wanita cantik itu sudah duduk manis siap membicarakan kerja sama yang akan mereka lakukan. "Baiklah nona Louisa, mari kita lanjutkan pembicaraan mengenai pemba-" kalimat Xena dipotong oleh si klien.
"Keputusanku telah bulat untuk membatalkan kerja sama ini."
Apa? Apakah Xena tak salah dengar? Tunggu, tunggu, ini semacam prank atau apa?
"Apa maksud anda, nona Louisa?"
"Ck. Selain lamban ternyata kau juga cukup bodoh, nona Roxena" Louisa tersenyum sinis mengejek.
Xena tertawa renyah tak menyangka kalimat itu akan keluar dari bibir merah wanita yang mengaku berpendidikan tinggi itu. "Aku tau maksudmu, namun kau tak memiliki alasan untuk membatalkannya, kau tidak bi-"
"Be-High Architect Office bisa bangkrut jika semua karyawannya sepertimu. Be-High Architect Office, sesuai dengan namanya, menjadi salah satu perusahaan ternama di negara ini dalam bidang arsitektur."
"Salah satu impian besarku adalah bisa bekerja sama dengan perusahaan kalian, namun sepertinya kesialan menimpaku. Aku tidak tau jika mereka memiliki karyawan sepertimu, dan lebih sialnya mereka mengirimkanmu sebagai perwakilan mereka dalam kerjasama ini." Louisa masih mengoceh panjang lebar dan Xena yang sudah jengah mendengarkan.
"Oh my gosh sungguh aku tidak percaya ini, mereka sedang menganggap aku remeh atau apa, bagaimana bisa orang sepertimu menja-"
"Baiklah nona Louisa yang terhormat, aku rasa kau bukan orang bodoh yang tak paham tentang kontrak kerjasama yang tak bisa dibatalkan begitu saja tanpa alasan yang jelas, jad-"
"Kau benar-benar bodoh ternyata. Aku membatalkan kontrak kerja sama ini karena kerjamu sangat lamban, tidak cekatan. Rancanganmu juga biasa saja, uang-uangku terasa sia-sia jika harus dikeluarkan untuk rancangan murahanmu. Sungguh tidak berkelas." Mengapa mulut wanita ini sangat jauh dari parasnya yang cantik. Xena mencoba sekuat tenaga menahan emosinya, namun sepertinya Louisa dengan sengaja memancing amarahnya.
"Selain kinerjamu yang buruk, kepribadianmu ternyata lebih buruk" Lousia bangkit dari duduknya sebelum melanjutkan ucapannya, mengambil orange juice miliknya dan menumpahkannya ke wajah Xena sambil berkata lantang
"Dasar wanita perebut suami orang! Wanita tidak tau malu! Dimana harga dirimu?! Dasar jalang!"
Tentu saja teriakan itu mengundang seluruh mata yang ada di café tersebut, menatap bingung pada mereka.
Plakk! Tangan mulus Xena tak tahan lagi untuk tidak menampar pipi tirus wanita sialan ini. Dia pikir dia siapa, sudah menghina orang sekarang memfitnah, apa maunya.
Xena mencoba tersenyum tenang kepada para pengunjung "Maaf temanku ini gila karena trauma sejak ditinggalkan oleh suaminya. Maaf atas keributan yang terjadi." Sebelum ada protes atau hal gila lainnya yang akan dilakukan oleh Louisa, Xena segera menyeretnya keluar café tersebut.
"Pergilah! Urusan kita sudah selesai. Jangan pernah muncul lagi dihadapanku!"
Tersenyum manis nan sinis, Louisa memang ingin mencari keributan "Aku tidak dapat berjanji." Lalu wanita sinting itu berjalan angkuh meninggalkan Xena.
Apa-apaan ini.
Xena tak tinggal diam, persetan dengan orang-orang yang akan melihatnya, ia sudah tak tahan lagi.
Menggumamkan mantra yang entah apa bunyinya, bermaksud ingin menyiramkan air genangan parit itu kewajah Louisa, namun entah bagaimana ceritanya air kotor itu malah membasahi tubuhnya sendiri.
Sialan! Sial! Sial! Sial!
Louisa sedikit memutar badan menghadap Xena, memberikan senyum miring penuh kemenangannya untuk wanita malang itu.
Ya, Louisa menangkis sihir Xena dan mengembalikannya pada Xena sendiri, sehingga Xenalah yang terkena air parit itu.
Xena mengerti sekarang, Louisa bukanlah manusia. Wanita sinting itu sejenis dengan dirinya. Ada apa ini, bagaimana ia bisa kecolongan. Bagaimana bisa ia tidak mengenali bahwa Louisa adalah penyihir juga. Apakah kekuatannya semakin memudar?
Tunggu, tapi siapa Louisa? Apa yang diinginkan wanita gila itu darinya? Seingat Xena ia tak pernah mencari masalah dengan penyihir gila dan sejenisnya.
Drrt..drrtt..
Ponsel pintar Xena bergetar, menunjukkan satu panggilan masuk dari Harnell. "Hallo.." Entah mengapa suara Xena bergetar begitu saja saat menerima telepon dari Harnell, namun sepertinya Harnell belum menyadari itu.
"Xen, kau dimana? Kau masih di café itu?"
"Iyaa.."
"Sudah selesai? Aku sedang berada disekitaran café tersebut, jika kau sudah selesai kita bisa kembali ke kantor bersama, ka-" ucapan pria itu terpotong saat mendengar tangisan dari seberang.
"Xena? Ada apa?" Pertanyaan itu membuat tangis Xena semakin pecah.
"Kau baik-baik saja?" Yang diterima lelaki itu hanyalah suara tangis milik Xena.
"Aku akan segera kesana, tunggu aku. Jangan kemana-mana." Dari nada suaranya Harnell terdengar cukup panik dan bingung.
Sebenarnya Xena bisa saja langsung pulang sendiri kerumahnya hanya dengan menggumamkan sedikit mantra, namun ia membutuhkan Harnell untuk menceritakan semuanya.
Kini wanita itu hanya terduduk dipinggir jalan sambil menangis seperti anak kecil kehilangan induknya.
Hey Roxena Laphonsa, kau terlalu lemah dan cengeng untuk ukuran seorang penyihir. Jangan membuat malu bangsamu itu, Xen.
*
Melihat kondisi si wanita yang kacau, Harnell berinisiatif mengantarnya pulang daripada harus membawanya kembali ke kantor mereka. Harnell telah mengatakan pada pihak kantor kalau Xena sedang kurang sehat.
Disinilah mereka sekarang, duduk di sofa ruang tamu yang berada dikediaman Xena. Wanita bermata tajam seperti kucing itu sudah lebih tenang, ia juga telah membersihkan tubuhnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Pria bermata sayu itu membuka percakapan, tangannya mengelus lembut suari Xena. Bukannya menjawab, tangisan sang wanita malah kembali pecah.
Harnell meraih tubuh Xena membawa tubuh yang bergetar itu kedalam pelukan hangat miliknya. "Tenanglah semua akan baik-baik saja."
Empat tahun bekerja ditempat yang sama, empat tahun juga selalu bersama. Hampir satu tahun ini mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Xena mencintai prianya itu, namun ia tidak yakin apakah Harnell memiliki rasa yang sama untuknya.
Harnell pria yang baik dan perhatian, namun yang Xena lihat hal itu hanyalah bentuk kewajiban yang harus Harnell lakukan.
Xena belum pernah melihat pancaran cinta itu dari mata berbola hitam legam milik sang pria.
Semua terasa abu-abu, ia tak mengerti bagaimana perasaan Harnell yang sesungguhnya. Pria tampan tersebut terlalu sulit untuk ditebak, bahkan Xena menjadi bimbang jika Harnell adalah sosok makhluk yang ia incar. Harnell terlalu manusia untuk ukuran keturunan manusia-penyihir.
Seperti dongeng klasik, ia mendapat kutukan dari negerinya hingga dibuang ke bumi manusia. Jika ingin kembali, ia harus menemukan manusia setengah penyihir yang mencintainya dan mau menikah dengannya.
Layaknya vampire yang dapat hidup berdampingan dengan manusia ataupun alien yang berwujud manusia tampan, begitulah Roxena Laphonsa. Ia bukan bagian dari vampire ataupun alien, gadis dalam pelukan Harnell itu adalah seorang penyihir.
Tidak, ia tidak sedang menyamar. Xena memang terlahir seperti itu. Si penyihir cantik. Sayangnya Harnell tidak tau jika saat ini si cantik yang ada dalam dekapannya adalah seorang penyihir.
Sesungguhnya ketidaktauan Harnell akan sosokmu itu lebih baik, Xen. Ia akan meninggalkanmu begitu saja ketika tau yang sebenarnya.
Kalian memiliki tujuan yang berbeda. Harnell benar-benar tak mau berurusan dengan penyihir dan semacamnya. Apalagi untuk menikahi seorang penyihir, hal itu sudah ia masukkan kebagian black list dalam hidupnya.
Jika kau ingin kembali ke dunia sepenyihiranmu, maka Harnell hanya mengimpikan kehidupan yang normal, benar-benar normal layaknya manusia biasa. Ia membenci penyihir dan sejenisnya, meskipun Harnell La Fen juga bagian dari mereka.
Ya, seperti yang dilihat Xena, Harnell La Fen adalah manusia setengah penyihir. Kau memang tak salah mencari mangsa, Xen, namun pria ini tak seperti yang kau harapakan jika identitasmu diketahui olehnya. Kau benar-benar tak bisa kembali dan akan mati membusuk di bumi manusia.
Dan ingat, waktumu hanya tersisa 360 hari lagi. Jika kau gagal, tamat sudah riwayatmu, Roxena Laphonsa.
Karena dosa dimasa lalu, bangsa Xena membuangnya ke bumi manusia dan mengutuk Xena akan mati mebusuk disana jika tak dapat menemukan manusia setengah penyihir yang mau menikahinya.
Cukup panjang waktu yang diberikan kepada Xena, yaitu empat tahun, namun ternyata tak semudah itu mendapatkan pria yang ia inginkan. Ia sudah dibuat jatuh cinta pada pandangan pertama oleh Harnell La Fen, namun pria tampan itu terlalu dingin dan sangat sulit ditaklukan, terlebih bangsa penyihir tak memiliki kekuatan untuk membuat orang jatuh cinta, Xena sangat menyesali tentang itu. Jika saja ada, ia sudah menyihir seorang Harnell sejak awal.
"Jadi bagaimana ceritanya?" Harnell kembali bertanya dengan lembut seraya melepaskan pelukan mereka dengan perlahan. Xena menceritakan apa yang telah terjadi, namun tentu saja ia harus mengarang cerita dibagian air parit.
"Bagaimana ini, Nell? Mereka akan marah padaku karena kehilangan klien besar seperti Louisa."
"Tenang saja, ini bukan salahmu. Katakan saja apa yang sebenarnya terjadi."
"Apa mereka akan percaya?"
"Tentu saja. Lagipula selama ini kinerjamu sangat baik. Louisa saja yang mengarang cerita karena ingin mencari masalah denganmu."
"Tapi.. sungguh aku tidak mengerti apa tujuannya melakukan itu semua." Xena nampak sangat bingung.
"Ada banyak alasan mengapa ia melakukan itu. Pertama, ia ingin menghancurkan nama baik perusahaan. Kedua, ia ingin mempermalukanmu didepan umum atau mungkin ia memang ingin bermain-main denganmu."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Biarkan saja jika ia tidak berulah lagi."
"Tapi, Nell.."
"Hmm?"
"Bagaimana dengan kerugian yang didapat? Louisa tidak akan mau membayar ganti rugi seperti perjanjian meskipun ia yang membatalkan kontrak secara sepihak." Xena kembali cemas akan pikiran-pikiran buruknya.
Harnell menarik nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Xena "Kau tidak perlu khawatir, segala kerugian itu bukan menjadi tanggung jawabmu. Tetap Louisa yang harus membayar, pihak kantor yang akan mengurusnya. Jika wanita ular itu tetap tak mau membayar, pasti kantor siap mengajaknya menyelesaikan masalah ini secara hukum." Harnell menjelaskan kepada Xena. Xena mengangguk paham, ada sedikit kelegaan dalam dadanya saat mendengar penjelasan sang kekasih.
"Kau sudah lebih baik?" si gadis mengangguk dengan dengan senyum.
"Kalau begitu aku akan kembali ke kantor." Namun senyum itu memudar mendengar pernyataan selanjutnya.
"Bukankah kau sudah izin?"
"Aku mengatakan jika kau pulang lebih awal karena sakit, dan aku hanya bilang akan mengantarmu lalu segera kembali ke kantor. Kita masih memiliki banyak pekerjaan, jadi tak apa kan jika aku tinggal?"
Sambil memasang senyum palsu Xena juga berbohong "Tidak apa-apa."
"Baiklah aku pergi dulu, jika terjadi sesuatu segera hubungi aku." Detik selanjutnya pria itu benar-benar angkat kaki dari hunian milik Xena.
Apakah Xena kecewa?
Tentu saja.
Ini sudah pukul 4 sore, hanya tersisa satu jam lagi jam kerja mereka akan selesai. Harnell seharusnya tidak perlu kembali, mereka pasti akan memahami, namun ternyata pria itu lebih mencintai pekerjaannya daripada sang kekasih.