Harusnya ini menjadi istirahat makan siang yang menenangkan bagi Jadira, namun memang seringkali yang diharapkan bersebrangan dengan apa yang terjadi. Niat hati ingin membayar rindu pada restoran kesukaannya, yang didapati adalah kepadatan pengunjung yang membuatnya harus berbagi kursi dengan makhluk-makhluk yang paling tidak ingin ia tatap.
Tentu saja semua ide gila ini berasal dari otak kadaluwarsa milik Junius. Secara sepihak pria sok bijak itu memutuskan untuk mengajak Harnell dan Xena bergabung di meja mereka dari pada harus menulis nama di waiting list. Awalnya mereka menyantap makanan dengan damai, seperti tak pernah terjadi apapun diantara mereka, hanya seperti klien yang pernah saling bekerja sama dengan rukun.
Setelah melahap menu makan siangnya, Xena izin ke toilet. 15 menit berlalu setelah kepergian Xena, Junius juga pamit untuk mengangkat telepon. Xena belum kembali setelah 30 menit terlewati, begitupun dengan Junius yang sudah hampir 15 menit menjawab telepon pentingnya. Menyisakan Jadira dan si tampan Harnell yang betah membisu.
Tak ada yang ingin angkat kaki. Tak ada yang ingin memulai sapa. Pun tak ada yang tahu jika dibalik wajah dingin keduanya, tersimpan gundah di dada. Ini pertama kali mereka kembali dipertemukan setelah perkara tiga minggu lalu di kapal pesiar.
Peristiwa itu menimbulkan adanya hati yang merasa sumbang dan ada pula hati lain yang menjadi muram. Sanubari-sanubari yang tak terungkap itu menimbun sesak. Tak ada yang tahu mengapa pengap di dada mereka tak kunjung sirna bahkan setelah keduanya sama-sama memutuskan untuk berhenti.
"Bagaimana kabarmu?" Tanya Harnell yang sudah hampir tiga minggu lensa matanya tak membidik si puan jelita ini.
"Kau bertanya untuk tubuhku atau hatiku?" kalimatnya berhasil membungkam Harnell. Menatap bersalah pada Jadira yang juga sedang menatapnya tanpa gairah.
"Both…" Lirihnya
"It couldn't get any worse than this."
"Maaf…" Maaf karena tak menyelamatkan wanita itu.
Praank! Pyaar! Gerak geriknya sangat tenang, setenang jari lentiknya yang membuat gelas kaca itu terjun bebas ke bawah, bersapa dengan marmer dingin di sana. Untung saja suara yang Jadira buat tak mengusik pengunjung lain.
"Maaf… maaf… maaf…" Jadira menatap pecahan gelas itu dengan rasa bersalah dan memohon maaf berkali-kali. "Gelasnya masih sama" ucapnya, ia menatap Harnell.
Lagi, pria itu kembali terbungkam oleh tingkah Jadira.
"Aku tahu kata maaf tak dapat mengubah apapun. Tetapi setidaknya melalui kata itu, kita bisa mencoba mengikhlaskan apa yang telah terjadi."
Senyum getir penuh ejek ia suguhkan untuk si pria "Lidahmu memang dapat bergelud dengan baik, Harnell"
"Tapi aku lebih suka mengecap menu-menu enak di sini." Canda pria itu mencoba mencarikan suasana.
"Terserah." Jadira menatap malas padanya, tak mau termakan candaan Harnell yang memang tak lucu sama sekali.
"Kenapa kau menolongnya? Jawab jujur, kenapa kau menolongnya hingga mengabaikanku yang juga hampir mati" tanyanya tiba-tiba.
Nafas berat terhembus dari hidung bangirnya sebelum kata pertama terlontar melalui bibir tebalnya, "Saat itu Xena lebih sekarat darimu. Seperti yang kita tahu, semakin hari fisiknya akan semakin lemah. Jika tak diselamatkan dengan segera, maka akan fatal akibatnya. Lagi pula aku tahu jika Junius akan secepat itu menolongmu. Jika aku menolongmu juga, lalu siapa yang akan menyelamatkannya?" Memperhatikan lamat-lamat setiap kata yang terlontar melalui bibir tebal itu, matanya mencari kebohongan di balik pupil legam si pria, namun nihil, Jadira tak menemukannya.
"Aku mengerti…" jawabnya sambil mengangguk paham.
"Aku tahu kau tidak sejahat itu untuk membunuh saudari sendiri." Hanya senyum miring yang tersuguh untuk merespon kalimat pria itu.
"Lalu… kenapa kau berubah haluan? Kenapa kau mendadak mau menikahinya?"
"Tentu saja karena ingin menolongnya."
"Kau kasihan padanya? Atau…"
Harnell mengangguk, "Khawatir dan kasihan. Aku juga tak sejahat itu untuk membiarkannya termakan kutukan karena keegoisanku." Berjeda sebentar. Si tuan menatap sang puan. "Tak mencintainya bukan berarti mematikan rasa empatiku padanya."
Gotcha! Ini yang wanita itu tunggu. Terkuaknya perasaan milik seorang Harnell. Terdapat kelegaan dan juga tanya di kepalanya
"Bagaimana dengan risikonya?"
"Aku menikahinya bukan berarti harus menyentuhnya juga kan?"
Si cantik terkekeh mendengar pernyataan konyol dari pria dihadapannya ini. "Kau laki-laki normal dan setelah menikah kalian akan tinggal satu atap. Tak menutup kemungkinan hasratmu akan datang kapanpun, tak ada yang tahu."
"Lalu karena menolong satu orang, kau jadi mengacaukan seluruh negeri dan isinya." Lanjut si wanita. "Sedalam itu cintamu padanya?" Hey! mengapa kau sangat sarkastik, nona?
"Kalau kau bisa melakukan ini untuknya, mengapa kau tak bisa melakukan hal yang sama padaku dulu?" protes wanita itu.
"Kalian berbeda. Kau dan Xena berbeda."
"Apa bedanya. Kami penyihir murni."
"Kasta kalian berbeda. Risiko yang kudapati jika menikahi Xena tak sebesar ketika aku denganmu." Dan hasratku padanya tak sebuas hasratku padamu.
Jadira kembali dibuat tersenyum getir oleh kalimat Harnell, "Kalau aku bisa terlahir kembali, aku lebih memilih untuk dilahirkan menjadi Xena."
Harnell mengernyit mendengarnya "Kenapa?" tanyanya.
"Karena kau lebih memilihnya bahkan mau menikah dengannya." Wanita itu mendumel
Pria itu meringis mendapati pernyataan si puan. "Kau tak akan tahan jika berada di posisi Xena."
"Why?"
"Because you can't live without my love." Hell! Si bajingan Harnell mulai berulah lagi.
Kalimat Harnell barusan mengartikan bahwa Xena tak mendapatkan cinta Harnell. Jika Jadira mau bertukar nasib dengan Xena, itu tandanya Jadira juga harus siap untuk tak dicintai oleh Harnell. Karena sampai detik inipun perasaan Harnell untuk Xena belum bisa disebut sebagai cinta. Harnell tahu, Jadira tak sesabar Xena dalam menanti cintanya. Oleh sebab itu ia berkata demikian.
Jadira membenci Harnell. Jadira benci bagaimana cara pria itu menarik ulur sanubarinya. Kata-kata milik Harnell barusan, berhasil membuat Jadira memikirkan kemungkinan yang indah-indah.
"Then… who has got your love?" Kenapa kau memancingnya, nona?
"Myself"
Fuck! Tokoh bengis sesungguhnya bukanlah Kirby dan kawan-kawan, bukan pula Jadira Morai, namun ia adalah Harnell La Fen. Yang telah Harnell lakukan pada Jadira maupun Xena adalah jahanam. Mengaku mencintai Jadira, tetapi malah meninggalkan wanita itu. Tak memiliki rasa lebih untuk Xena, namun malah ingin menikahinya. Sebenarnya apa yang salah dengan dirimu, idiot?!
Yang telah Harnell lakukan pada Jadira maupun Xena adalah kejam. Seperti saat ini, melambungkan wanita itu setinggi angkasa, lalu dua detik kemudian menjatuhnya ke jurang terdalam.
Bukan Harnell yang menjatuhkanmu, Jadira. Tapi harapanmu sendiri yang menjatuhkannya.
"Aku tak mencintai Xena bukan berarti aku masih menyimpan rasa untukmu 'kan?" See, adakah kalimatmu yang lebih kejam, tuan?
"Baguslah. Jika benar begitu, maka mulailah belajar untuk mencintai calon istrimu itu. Jika hatimu benar-benar kosong, seharunya itu menjadi hal yang mudah untuk jatuh cinta kepada Xena." Ucap Jadira sedikit menyinggung.
"Nell!"
Mereka menoleh pada sumber suara, menemukan Xena yang tengah berjalan terburu ke arah mereka.
"Ada apa?" tanya pria itu setelah Xena telah berdiri di dekatnya.
"Klien dari EKP Company mendadak ingin mengadakan rapat untuk proyeknya."
"Saat ini juga?"
"Iya"
"Baiklah ayo kita segera kembali ke kantor." Harnell hendak bangkit namun ditahan oleh Xena
"Tidak usah, ini masih jam istirahat, kau habiskan makan siangmu saja. Kami akan rapat di kantornya dan Ezra sudah menungguku di area parkir." Harnell memang tak ikut andil dalam proyek tersebut, hanya Xena dan Ezra.
"Jadi begitu?"
"Iya. Kalau begitu aku duluan ya. Jadira, aku duluan. Sampaikan salamku untuk Junius." Tak lupa pamit kepada saudari tirinya dan bergegas dengan terburu.
"Iya, hati-hati."
Selanjutnya mereka hanya melihat punggung wanita itu yang semakin menghilang.
"Jadira!" setelah Xena, kini giliran Junius yang berjalan ke arah mereka dengan wajah panik dan langkah yang tergopoh.
"Ada apa?"
"Ayo cepat kita pulang, mereka kembali berulah. Cashel dalam bahaya."
"Apa?!! Kenapa tidak memberi tahuku dari tadi, bodoh?!" Jadira tak kalah panik. Jantungnya berpacu tak karuan. Ia terlalu shock dan cemas.
"Aku juga baru tahu. Aku juga sangat terjekut. Tak menyangka mereka akan beraksi siang hari, mereka selalu melakukannya di malam hari."
"Sepertinya mereka sengaja menyerang di siang hari saat kita tengah sibuk seperti ini. Ayo cepat! Kita lakukan teleportasi saja!" wanita itu benar-benar terlihat khawatir dan ketakutan, itu yang Harnell lihat.
"Jangan disini, banyak orang yang melihatnya, kita lakukan di luar saja."
Jadira segera berlari keluar, baru saja Junius mau melangkah, satu lengannya ditahan oleh Harnell. Astaga, Harnell. Mereka sampai lupa jika sedari tadi ada Harnell di sana yang sedari tadi hanya terbengong dan terbingung tak mengerti apa yang tengah dibicarakan oleh Junius dan Jadira. Awalnya ia mencoba untuk mengabaikan dan tak mencampuri urusan mereka, namun entah mengapa kecemasan mereka menular padanya.
Banyak pertanyaan mengitari kepalanya. Mereka siapa? Berulah apa? Dan siapa Cashel? Seharusnya Harnell bisa saja berpikir jika Arthur adalah kerabat Junius dan Jadira, namun entah mengapa sanubarinya ingin tahu lebih akan sosok itu.
"Bisa kau jelaskan padaku, sebenarnya ada apa?"
"Ini bukannya waktunya untuk menjelaskan, Nell. Saat ini keadaannya benar-benar genting."
Harnell semakin terheran, sebenarnya segenting apa hingga mereka sepanik ini.
"Apa ini ada hubungannya dengan mereka yang menyerang Jadira malam itu?"
"Benar! Mereka kembali menyerang saat ini. Aku sedang terburu, aku pergi du-"
"Siapa yang mereka serang? Kalian sedang disini, tak ada tanda-tanda kehadiran kedua penyihir itu. Jadi sebenarnya ada apa?"
Junius tercekat, tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Harnell dengan lugas. Kebimbangan menguasainya, haruskah ia mengatakannya pada Harnell, tapi pasti Jadira benar-benar akan mengutuknya menjadi tahu bulat. Tapi menurut logikanya, Harnell berhak tahu tentang semua ini.
"Maaf, Nell, aku harus pergi sekarang." Kaki panjangnya melangkah terburu menyusul Jadira yang mungkin sudah sampai di tempat kejadian perkara.
"Aku ikut!" seru Harnell yang juga berlari menyusulnya.
Entahlah…. Mantan kekasih Jadira itu tak mengerti dengan jalan pikirannya sendiri. Itu sama sekali bukan urusannya, ia bukan orang yang menaruh empati tinggi pada orang lain, ia bukan sejenis makhluk yang suka mencampuri urusan orang lain. Tapi entah mengapa firasatnya mengatakan untuk turut andil membantu Junius dan Jadira. Kecemasan Jadira, ekspresi panik wanita itu, wajah pucat dan mata yang berkaca-kaca membuatnya terserang kecemasan yang sama. Bahkan ia tak tahu apa yang tengah ia cemaskan. Jadira? Mungkin….
Namun disamping itu, seperti ada hal besar yang akan terjadi yang membuatnya memutuskan untuk ikut dengan mereka.