webnovel

Perjumpaan Kedua

“Apa kau masih tertarik menjadikannya idola?” terdengar Hanna menggoda Dori. Namun Dori hanya membisu tak mampu menjawab apa pun.

Zoe melanjutkan. “Kalau memang mereka dekat dengan keluarga Jorell, spekulasi itu bisa jadi benar, bukankah sudah menjadi isu lama bahwa keluarga itu turun-temurun mendapatkan kekayaan dan kekuasaan dengan jalan setan?”

Soa mengangguk-angguk. “Ya, aku juga pernah mendengar berita miring tentang keluarga mereka.”

“Lantas, bagaimana akhir kasus Desmond Sina?” Dori bertanya.

“Lolos begitu saja,” balas Zoe seraya menggeleng lesu. “Hakim memutuskan ia tidak bersalah. Sekarang aku semakin yakin kenapa kasus Ivander bisa berlarut-larut sampai sekarang. Dia dilindungi.”

“Apakah cctv itu tidak cukup sebagai bukti kebohongannya?” tambah Soa.

“Percuma, Soa. Kasus ini tidak pernah menemukan titik terang meski sudah berjalan lebih dari dua tahun, dan di belakangnya kita tak bisa menutup mata. Keluarga penguasa itu. Mengendalikan negeri ini saja mereka mampu, apa lagi hanya mengurus soal Ivander.”

Hanna ikut menyayangkan kejadian tersebut. “Seperti kasus Desmond Sina. Pada akhirnya aku duga akan sama, berakhir dengan penutupan tanpa kejelasan.”

“Astaga, ini tidak adil,” ucap Dori lirih.

“Ya, Desmond bisa lolos dari hukum negara ini. Akan tetapi ia tidak bisa lolos dari akhir hidupnya yang mengenaskan.” Soa dan Dori kembali digerus penasaran karena ucapan Hanna. “Dua tahun setelah ia dinyatakan tidak bersalah, Desmond Sina ditemukan tewas gantung diri.”

“Ya ampun! Kenapa kita jadi membahas hal yang mengerikan seperti ini. Tidak adakah kisah cinta saja yang bisa kudengar?!”

Hanna senyum-senyum mendapati respons Dori.

“Ada. Legenda kisah cinta mengenaskan di keluarga Jorell,” jawab Zoe.

Mata Dori terbuka lebar. “Oh, maksudmu tentang Sancho dan istrinya? Aku sudah pernah mendengarnya.”

“Cerita apa?” Soa memasang muka lugu. “Siapa itu Sancho?”

Langsung saja Dori menepuk jidatnya. “Dia betul-betul kekurangan informasi.”

“Apa kau sungguh-sungguh tidak pernah mendengarnya? Atau kau hanya sedang lupa?” selidik Hanna.

“Aku memang tidak pernah mendengar nama itu. Memang apa yang terjadi dengannya?”

Zoe, Hanna, Dan Dori saling melempar pandangan mendapati rasa penasaran Soa.

“Sancho adalah salah satu anggota keluarga Jorell yang kisah cintanya berakhir tragis,” Dori memulai. Disusul Soa yang mulai mengamati penuh saksama. “Konon, dia menghilang dari keluarga Jorell setelah menembak mati istrinya yang ketahuan berselingkuh dengan seorang pengawal pribadi.”

Anehnya, sesuatu yang berbeda mendadak Soa rasakan. Ia mulai mendapati ada rasa sendu dan ketakutan yang kuat di batinnya.

“Kisah ini sudah berusia 100 tahun lebih. Semula pernikahan Sancho dan wanita itu hanya berdasarkan perjanjian untuk melepaskan hutang. Namun dibalik hutang itu, ternyata Sancho sudah mengincarnya sejak awal untuk dijadikan tumbal.

“Akan tetapi, takdir memang penuh misteri. Pada akhirnya Sancho betul-betul jatuh cinta pada wanita yang sudah menjadi istrinya itu. Sayang, cinta Sancho ternyata tak terbalas. Istrinya yang sejak awal memang terpaksa menikah dengan Sancho lebih memilih pengawal – “

“Cu-cukup, Dori!” Soa tiba-tiba saja mengejutkan dengan memotong ucapan Dori.

Dori memandang Soa terheran-heran. “Ada apa denganmu?” tanyanya. Dilengkapi dengan raut muka Zoe dan Hanna yang tak kalah bingung.

“A-aku ti-tidak tahu. Perasaanku sangat ti-tidak enak mendengar cerita itu.”

“Soa kau baik-baik saja?” Hanna mulai merasa cemas. “Kenapa kau jadi gugup begitu?”

Soa hanya bisa menggeleng. Raut mukanya terlihat kepayahan.

“Minumlah Soa. Tenangkan dirimu,” Zoe tak kalah risau.

Dori menggenggam tangan Soa. “Tenang – Astaga! Kenapa tanganmu jadi dingin begini?!” keterkejutan Dori semakin membuat situasi menjadi panik.

“Bagaimana ini? Sebaiknya kita antar Soa pulang sekarang saja?”

“Ti-tidak, Hanna. Aku tidak apa-apa. Bi-biarkan aku tetap di sini bersama kalian. A-aku yakin, sebentar lagi perasaanku akan membaik.”

***

Matahari perlahan keluar dari panggungnya, bergantian memberi kesempatan pada bulan untuk menari menemani manusia mengisi kesenyapan malam. Soa hampir tiba di rumah setelah berpisah dari ketiga sahabatnya.

Gadis itu turun dari bus di halte yang bukan seharusnya. Sengaja ia lakukan itu agar tidak cepat-cepat sampai di rumahnya. Setelahnya ia harus berjalan kaki sekitar 2,5 kilometer menuju kompleks perumahan tempat tinggalnya.

Begitulah Soa saat kepalanya sudah dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang rumit. Baginya dengan berjalan kaki ia bisa menikmati kesendiriannya seraya tenggelam dalam lamunan yang penuh tanda tanya. Mencari jawaban yang bisa saja di tengah langkahnya ia temukan. Akan tetapi langkah malam itu nyatanya menjadi salah satu malam tersulitnya memecahkan teka-teki yang datang. Persoalan Ken belum bisa dibilang selesai, pesan Andel masih terngiang-ngiang untuk mencari tahu sendiri tentang masa lalunya, dan sekarang di tambah kisah tentang Sancho yang mengganggu pikiran kenapa mendengarnya membuat dadanya sesak.

“Nasibku memang aneh,” begitu keluhnya seorang diri.

Tiba-tiba saja, di dalam perjalanan Soa. Ia melihat seseorang dari kejauhan yang tidak asing baginya sedang berdiri sendirian di tepi jembatan sungai.

“Lho, bukankah itu si pria aneh?”

Soa jadi ragu untuk melewati jembatan sungai, sementara jalanan sedang terlihat sepi. Tidak ada selain ia yang berjalan kaki. Sesekali mobil pribadi memang lewat tapi itu tidak cukup memberikan rasa aman baginya. Tidak ada pula jalan pulang alternatif, mau tidak mau Soa tetap harus melewati jalan itu. Hingga akhirnya gadis itu berencana. “Baiknya aku percepat saja langkahku, kalau pria aneh itu mulai mendekat aku akan segera lari,” begitu ujarnya dalam hati.

Soa bergegas maju. Semakin ia berjalan mendekat untuk melewati pria itu jantungnya justru berdegup semakin cepat. Sorot pandangannya hanya lurus ke depan dan bersikap seolah-olah tidak pernah mengenal pria itu. Sepertinya pria itu juga tidak menyadari akan kehadiran orang lain selain dirinya, ia tetap diam asyik termenung memandang Sungai di bawahnya.

Soa berpikir telah mendapat kesempatan yang bagus. Ia lebih percepat lagi langkahnya namun tetap berhati-hati agar tidak menarik perhatian. Ia lewati pria itu, wajahnya meringis ngeri, bibirnya tergigit ingin rasanya berlari. Ya, sedikit demi sedikit gadis itu mulai menjauh dari lelaki yang pernah dijumpainya.

“Ah, rasa lega sebentar lagi kuraih,” begitulah pikiran Soa. Namun –

“Hei, Soa!” pria itu menyeru.

Soa terperanjat gelagapan. Menyesali kenapa pria itu sampai menyadari. Sejenak Soa sempat menghentikan jalannya. Sudah pasti ia ragu, urung berbalik badan untuk menyambut panggilan itu.

“Sebaiknya aku lari sekarang,” ucap Soa dalam hati.

Baru saja bersiap meluncur, pria itu justru melantang, “Aku akan mengikutimu jika kau tidak berhenti.”

Meski Soa diliput takut, ia sangat tidak mau pria itu sampai tahu rumahnya. Dari pada harus dibuntuti, akhirnya Soa pun menyerah lantas berbalik badan berniat menyapa seolah tak terjadi apa-apa.

“Oh, kau? Hai,” begitu ucapnya pendek sambil tersenyum hambar.

Lelaki itu berjalan mendekati. Soa baru sadar kalau langkahnya berjalan agak berbeda, sepatunya samar-samar tak menapaki bumi. Kalau diamati betul-betul, ia seperti sedang berjalan di atas angin.

“Jadi kau pura-pura tak mengenaliku,” ucapnya ketika tepat di depan hidung Soa.