webnovel

Keras Hati

“Kumohon jangan lakukan apa pun, Arandra,” Soa turut bangkit berdiri.

“Tidak, Soa! Aku tidak akan membiarkanmu menjadi korban lagi! Kau harus bahagia di kehidupanmu yang sekarang!”

“Lalu bagaimana dengan adikku jika kau sampai mengacaukannya?!”

Arandra tertegun oleh pertanyaan Soa.

“Adikku masih kecil dan tidak tahu apa-apa! Dialah korban sesungguhnya dalam persoalan ini. Apa kau ingin menyarankan aku lari bersamanya?!

“Tidak bisa, Arandra! Aku tidak ingin membuat masa kecilnya penuh ketakutan. Aku sudah yakin menggantikannya, aku percaya ini semua sudah menjadi garis takdir yang harus aku lewati!”

Sorot mata Arandra masih terasa beku, ada pancaran sulit menerima yang Soa rasa darinya.

“Lakukan apa yang harus kau lakukan untuk adikmu,” tegas Arandra sesaat kemudian. “Maka aku akan melakukan apa yang harus kulakukan untukmu.”

“Tapi, Arandra.”

Arandra sama sekali enggan menggubris Soa. Dengan perasaannya yang tak menentu, ia pun lenyap dari pandangan gadis itu, meninggalkan belahan jiwanya yang terus memohon untuk tidak melakukan apa pun.

Mendesah Soa tak berdaya. Ia pun merasa linglung dengan apa yang terjadi barusan. Kata-kata Arandra menyiratkan banyak pesan, akan tetapi ia tak mampu menerjemahkan.

Merasa lelah dengan pikirannya sendiri, Soa kembali terduduk lemas sambil menanamkan kepalanya di atas meja. Otaknya merasa buntu, dugaan demi dugaan memenuhi ruang pikirnya sementara ia tak punya kesempatan untuk segera menemukan jawaban.

“Apa sebetulnya yang akan kau lakukan Arandra?” lirih gadis itu seorang diri.

‘KREKK’ terdengar suara pintu restoran dibuka.

“Arandra?!” Soa langsung mengangkat wajahnya.

“Arandra kau bilang? Siapa dia?” Zoe yang sempat mendengar ujaran Soa berbalik bingung bertanya-tanya.

Soa mendadak gelagapan. Baginya tidak mungkin kalau ia bercerita tentang Arandra, makhluk tak kasat mata.

“Oh, kau ternyata Zoe. Kukira salah satu karyawanku kembali.” Soa berusaha mengalihkan perhatian. “Kau di sini?”

Zoe mengangguk pasti. “Hem, Dori meneleponku dan Hanna untuk mengajak kami menemuimu.”

“Dori? Hanna?” mata Soa mencari-cari, seketika merasa bingung karena ia tak melihat siapa pun berdiri di belakang Zoe.

“Tetapi mereka tidak jadi datang.” Zoe mengerti dengan pandangan itu. “Kami berpikir lebih baik kalau kau bermalam lagi di rumah Dori. Maka dari itu aku kesini untuk menjemputmu dan ingin mengantarmu ke tempatnya.”

Soa masih merasa janggal. “Dari mana kau bisa tahu aku di sini?”

“Kau pasti tidak akan percaya kalau kubilang dari kakakmu.”

“Hah? Gensi maksudmu?”

Zoe mengangguk santai. “Sore tadi dia menghubungi Dori, dan memintanya untuk menemanimu. Lalu Dori berusaha meneleponmu tetapi hp-mu tidak aktif. Sampai akhirnya Gensi mengabari kalau kau ada di sini. Karyawan kalian sangat membantu.”

“Aku tidak kaget, kalau Dori melakukan hal ini. Akan tetapi Gensi...” Soa enggan meneruskan kalimatnya.

“Kau percaya atau tidak. Kenyataannya dia masih peduli padamu,” kalimat Zoe amat menyentil perasaan Soa. Gadis itu sejenak bermenung memikirkan kebaikan yang telah dilakukan oleh kakaknya.

“Apa sampai pagi kita akan tetap di sini?” lanjut Zoe, menghentikan lamunan Soa.

“Eh.”

“Ayo kita pergi sekarang, Dori sudah menunggu. Lagi pula aku juga tidak ingin terlalu malam mengantarmu ke rumahnya.”

Gadis itu jadi berpikir ulang untuk menerima ajakan Zoe. “Hm ... sepertinya aku tidak bisa ke sana, Zoe.”

”Hah? Kenapa?”

“Biar aku pulang ke rumah saja.”

“Apa kau yakin? Ayahmu...” Zoe merasa tak enak hati untuk melanjutkannya.

“Ya, aku tahu.” Soa langsung mengerti maksud Zoe. “Tetapi percuma juga jika aku menghindar. Pada akhirnya aku tetap harus menghadapi ayahku.”

Zoe hanya terdiam, lantas memasang raut muka cemas.

“Tak apa, Zoe. Ayahku tidak akan menelanku, dia hanya bisa bersuara keras,” canda gadis itu mencoba menghapus kegundahan di hati Zoe.

Zoe hafal betul dengan sifat Soa. Jika itu sudah keputusannya, maka akan sulit mengubahnya lagi. “Baiklah, tapi biarkan aku mengantarmu pulang.”

Tersungging sebuah senyum di bibir gadis itu. Tanpa pikir panjang ia pun mengangguk setuju.

***

Di sisi lain, Felix menghabiskan detik demi detik bagiannya dengan merenungi segala keputusan yang telah ia ambil. Hatinya sedang sibuk berkecamuk. Dibalik diam, ada banyak pertanyaan-pertanyaan kritis menjalar. Felix meragu, apakah keputusan itu yang membuat ia dan keluarganya mampu bahagia? Melepaskan mereka dari kesulitan hidup? Sementara ia telah mendorong salah satu dari mereka masuk ke dalam jurang untuk berkorban tanpa sadar.

Semula Felix kira mengorbankan bocah kecil akan menjadi penyesalan sesaat yang akan terobati oleh pundi-pundi yang akan ia kumpulkan. Terobati oleh senyum istri dan kedua putrinya yang berjaya dari penindasan kemiskinan. Bukankah ada harga yang harus dibayar untuk mendapat impian? Bocah yang ia pikir tepat dan murni lebih pantas membantu ketimbang mengorbankan putri keduanya yang ia anggap masih sangat dibutuhkan. Tetapi, kenapa keadaan berubah begitu cepat dan posisi itu diganti oleh seseorang yang tak pernah ada dalam pikirannya untuk membayar.

Dari lantai atas Karen mendapati Felix yang duduk termenung seorang diri di meja makan. Suara langkah kakinya yang terdengar menuruni susunan anak tangga melenyapkan lamunan Felix seketika. Wanita itu tampak khawatir melihat suaminya melamun begitu. “Kau masih memikirkan ucapan Soa?” tanyanya sambil mendekat. Namun Felix hanya terdiam tak tahu harus menjawab apa. Karen lantas menarik kursi dan duduk di depan Felix. “Kita tidak bisa lagi menyembunyikannya,” lanjutnya tiba-tiba.

Felix masih diam meski di dalam hati ia menyetujui ucapan istrinya. Ia menghela nafas lalu meneguk segelas air putih di depannya. “Anak itu telah bersikap semaunya sendiri. Dia sudah membuatku penat!” keluh Felix setelahnya, membuat Karen jadi merasa kasihan. “Entah dari mana dia bisa tahu rencana kita. Semua sudah berantakan! Keluarga Jorell pasti tidak akan melepaskannya begitu saja.”

Karen kembali menunjukkan kecemasannya. “Lalu apa rencanamu? Apa kau akan membiarkan Soa merelakan dirinya?”

Felix semakin terlihat kebingungan. “Menurutmu, apa yang bisa aku lakukan?” tanyanya balik.

Karen mengatup mulutnya. Sebetulnya sudah siap dengan jawaban dari pertanyaan Felix, namun sebagian hatinya masih ragu untuk mengatakan, apakah suaminya akan menerima ucapannya? Sementara sebagian yang lain malah begitu kuat tak ingin mengunci mulut rapat-rapat.

Dilihatnya wajah Felix yang sangat serius menunggu saran darinya. Karen menarik nafasnya dalam-dalam. Ia lumat keraguannya, dan perkataan itu kemudian meluncur tak tahan menyembunyikan kegelisahan. “Bagaimana, jika kita cabut saja perjanjian itu?”

Felix langsung melotot tak suka. “Apa kau bilang?!” suaranya mulai meninggi. “Aku sudah bersusah payah mendapatkan ini semua! Dan kau seenaknya berkata begitu! Apa itu berarti kau ingin kita semua kembali miskin?!” bentaknya kesal.

Karen merasa menyesal telah memancing amarahnya. Wanita itu pun lantas berusaha menenangkan. “Bukan begitu maksudku. Aku sangat menghargai perjuanganmu untuk keluarga kita. Tetapi ... bukankah Soa juga sangat berarti bagi kita?”

“Biarkan dia mengurusnya sendiri! Anak itu sudah sangat menentangku! Dan jangan pernah kau bertanya lagi apa aku akan mundur. Aku tidak akan melakukannya! Aku tidak ingin hidup seperti dulu lagi!”

“Meskipun harus mengorbankan anak yang paling kau cintai?!”

“AKU TIDAK PEDULI!!!!”

Begitulah terombang-ambingnya hati Felix kini, perasaannya begitu cepat berubah. Kebimbangan yang menjadi sebuah sinyal untuknya bahwa apa yang dilakukannya masih tidaklah benar, mendadak sirna di jajah kembali oleh nafsu keserakahannya yang amat kuat berkuasa di hati. Kemurnian hati Felix kini lumpuh, buta, dan sekarat. Ia tak peduli lagi pada orang-orang yang disayanginya, termasuk konsekuensi yang akan diterima oleh dirinya sendiri.