webnovel

Kejutan Untuk Molek

Waktu begitu cepat berlari. Senja pun telah menampakkan batang hidungnya. Soa tertegun di luar pintu restoran. Hatinya mendadak galau, setelah semua pekerjaannya selesai dan bersiap pulang, entah mengapa rasanya ia ingin sekali mengunjungi taman.

Ia rindu, tetapi enggan mengaku. Ia merasa sudah seharusnya ia tahu diri dan tidak mendekatinya lagi.

Arandra, Arandra, dan Arandra. Lelaki itu sudah mengganggu pikirannya. Bertabrakan begitu keras terhadap masa lalunya. Soa meyakini, bila saja Arandra tahu siapa dirinya, tentu tak akan ada lagi mata yang berbinar yang bisa ia lihat dari si pemilik wajah elok kala mereka bertemu.

Canda itu akan hilang. Tawa itu akan lenyap. Sehingga yang tersisa hanyalah kesedihan dan kebencian.

Tapi Soa rindu. Rindu yang tak tertahan apa lagi bisa di cegah. Setidaknya, bisa melihat sedikit saja wajah Arandra, itu akan membuatnya merasa tenang.

“Tidak! Bisa jadi justru malah membuatku merasa bersalah,” begitulah perasaan lain Soa menahan.

Rasa istimewa itu sudah membelenggunya. Tetap mendekat atau pun menghindar, tentu itu akan sama sakitnya.

“Soa... Soa!” lagi-lagi Soa membatin. “Dulu kau menuntut kejujuran Arandra dan dia berani melakukannya. Sementara giliranmu yang seharusnya jujur, justru kau mengumpet seperti seorang pengecut!

“Ya, aku memang pengecut! Aku tidak mau kehilangan Arandra. Tapi... aku memang takut. Bagaimanapun yang Arandra cintai hanyalah Molek, bukan Sancho!

“Tentu saja, apa kau pikir dia homo!

“Oh ya, benar juga. Uuh...! Bukan itu maksudku! Maksudku... dia hanya mencintaiku sebagai Molek, bukan Soa. Soa si gadis yang lemah lembut dan cantik, tetapi di kehidupan pertamanya ia terlahir sebagai pria yang bersifat keras seperti monster.”

Soa menarik nafasnya dalam-dalam, merasa kalah pada nasib yang tiba-tiba saja datang memberi kejutan. Pikirannya semerawut, sama sekali tidak menemukan titik terang sedikit pun tentang langkah apa yang harus ia ambil.

“Mau sampai kapan kau melamun?”

Soa yakin ia tidak salah dengar. Matanya mengedip-ngedip bingung. Suara tak asing itu terdengar jelas di telinga kirinya. Pelan-pelan ia menoleh.

“Arandra?!” serunya kaget.

“Ya, aku. Kenapa kau terkejut begitu?”

Soa melihat ke sekelilingnya.

“Hah?! Bagaimana bisa aku di taman?! Tadi seingatku... aku masih berada di depan restoran!”

Arandra bersilang tangan. “Dan bagaimana bisa kau berjalan sambil melamun sejak dari restoran tadi?!”

“Hah?!”

“Hah kau bilang! Kau tahu kan itu berbahaya?!”

Soa melirik Arandra. “Bagaimana kau tahu aku dari restoran?”

“Aku sudah menunggumu sejak siang di sana.”

“Benarkah?!”

“Sepertinya kau tidak percaya? Sejak kemarin aku mencarimu di sana.”

Soa terdiam, dalam kebisuannya ia membatin. “Bukannya aku tidak percaya padamu, aku hanya tidak percaya pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin hanya dengan memikirkanmu, aku justru tanpa sadar bisa sampai di tempatmu.”

“Sudahlah. Tak perlu dibahas soal itu,” sambung Arandra. “Hei, Soa. Ikutlah denganku sekarang!”

“Ikut denganmu? Kemana?”

“Ikut saja. Kau pasti tidak akan melupakan malam ini.” Senyum Arandra merekah.

Akan tetapi Soa malah melirik Arandra dengan tatapan curiga. “Tidak biasanya kau begini?”

“Astaga! Tatapan apa itu?! Aku hanya ingin memberimu kejutan.”

“Benarkah?”

“Benarkah-benarkah-benarkah! Selalu saja itu yang kau tanyakan. Ya sudah kalau kau memang tidak mau ikut denganku!”

“Eh-eh! Aku tidak bilang tidak!” tahan Soa. “Baiklah aku ikut!”

***

“Ya, Tuan. Saya masih menemani Nona Soa dari kejauhan. Saat ini dia sedang berada di taman seorang diri – baik, Tuan. Akan saya laporkan lagi kepada Anda, nanti.”

Diam-diam Daniel ternyata masih disibukkan oleh urusan Soa. Kalevi sudah mewanti-wantinya supaya Daniel terus menemani dan mengawasi gadis itu bahkan meyakinkannya untuk menjadi sopir sekaligus orang kepercayaan.

Besok adalah hari terakhir Daniel membujuk Soa. Jika gadis itu tetap menolak kehadirannya, maka Daniel harus diputus kerja secara paksa.

“Ya ampun! Kenapa perempuan itu sangat sulit dibujuk?!” keluh Daniel sendirian di dalam mobil yang dikemudikannya. “Aku yakin, pasti Tuan Kalevi adalah orang yang menjadi sebab dia menolak kehadiranku.

“Astaga! Orang kaya itu aneh. Baru dua hari mereka bertunangan lalu besoknya mereka sudah bertengkar!

“Huh! Kalau sudah begini, aku yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban.”

Daniel memandangi Soa dari kejauhan.

Lagi-lagi ia berujar. “Sejak tadi kuperhatikan, dia seperti sedang bicara dengan orang lain,” Daniel mulai bingung. “Ah, ya! Pasti ada handsfree di telinganya. Aku rasa dia sedang sibuk menelepon seseorang.”

Beberapa detik kemudian.

“Eh! Mau ke mana Nona itu?”

***

Arandra pun akhirnya berhasil mengajak Soa ke suatu tempat yang diinginkannya. Ia berjalan mendampingi Soa. Sesekali dilihatnya wajah gadis itu dengan senyumnya yang mengembang sembunyi-sembunyi. Sekelebat kenangannya muncul, kala ia berjalan bersama dengan Molek. Gadis masa lalu, yang membuat ia jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tak ada senyum yang dirindukan, tak ada tawa yang diinginkan, kecuali milik gadis itu, sang gadis masa lalu.

“Bukankah, jalan ini membawa kita ke taman bagian utara?” Soa bertanya dengan suara yang samar. Ia hanya berbicara sambil menunduk, tidak ingin ada orang lain melihatnya dengan jelas sedang berbicara sendiri. Walaupun saat itu kondisi taman sebetulnya sudah mulai sepi.

“Ya. Kau akan melihat sesuatu yang kau sukai.”

“Oh ya?!” seru Soa sambil mengangkat wajahnya melihat ke Arandra. Sadar yang dilakukannya akan dipandang aneh, buru-buru ia menunduk lagi. Membuat Arandra tersenyum simpul atas apa yang telah dilakukannya.

“Apa itu?” tanya Soa sambil menunduk.

“Ikuti saja. Jangan cerewet atau kau akan dipandang gila.”

Soa langsung mengangguk dengan cepat.

Setibanya mereka di taman bagian utara.

“Wah! Hyacinth.” Soa tak menyangka dengan perubahan yang terjadi di bagian taman yang jarang ia kunjungi. “Taman di sini jadi semakin indah,” ucapnya gembira.

Dari kejauhan ia lihat ada bagian tanah yang sudah dipetak-petak dan ditanami bunga Hyacinth, berwarna merah muda dan biru. Cahaya lampu yang menerangi malam bersinar tinggi di atasnya, semakin membuat suasana taman berbunga itu mengagumkan.

“Aku rasa walikota yang baru memiliki selera yang sama denganmu,” ujar Arandra. Lalu melanjutkan langkahnya mendekati bunga-bunga yang baru mekar itu.

Langkah Soa terhenti, ia berdiri mematung dengan benak terisi tanya. “Selera? Apa maksudnya?” Ia belum paham maksud Arandra.

Di saat Soa termenung mencari jawaban di kepalanya, seketika ia teringat dengan mimpi waktu itu. Kejadian di depannya kini mirip, dengan apa yang pernah ia lihat di alam mimpi. Saat di mana Molek berbinar mengelilingi bunga-bunga yang berbentuk kumpulan lonceng kecil, dan Arandra ada di dekatnya.

“Kau tidak ingin mendekati bunga kesukaanmu...?!” teriak Arandra dari jauh. “Kemarilah! Mereka terlihat cantik, bukan?!”

Pemuda itu membuyar lamunan Soa. Ia yang agak ragu untuk mendekat, tergoda oleh bujukan Arandra yang tampak bersemangat. Soa berpikir barangkali yang sekarang hasilnya akan berbeda dari yang pernah terjadi.

Pelan-pelan gadis itu melanjutkan langkahnya, menghampiri bunga Hyacinth yang ia akui amat memesona.

Arandra tersenyum bangga menunggu, tidak ada yang lebih berkesan selain mengulang kenangan lama. Molek ataupun Soa yang ia kenal sekarang, memandu hatinya untuk memberi kebahagiaan. Baginya alam semakin memberi dukungan, untuk ia kembali dekat dengan orang yang ia sayang.

Namun... hal tak terduga ternyata harus Arandra terima ketika Soa telah mendekati bunga-bunga harum itu.

“HA – HA – HATCHI! HATCHI!” buru-buru Soa tutup hidungnya. “HATCHI!” Arandra terbengong-bengong melihat apa yang terjadi pada Soa. “HATCHI!” karena tidak ingin terus menerus bersin, tanpa pikir panjang Soa segera berlari menjauhi deretan warna-warni bunga cantik itu.

“HATCHI! Aku tidak tahan wangi bungaaaaaaaa!” begitu teriak Soa keras.