webnovel

Kaget

Keesokan harinya, Soa mengambil janji untuk bertemu dengan Zoe, Hanna dan Dori. Pertemuan mendadak yang Soa buat untungnya bisa tetap mempertemukan ia dan ketiga sahabatnya. Mereka bertemu di sebuah tempat makan tua langganan mereka ketika di zaman SMA.

Tepat di dalam pertemuan itulah, Soa memberitahukan kepada ketiga temannya bahwa ia sudah bertunangan, dan apa yang semua terjadi di malam acara pertunangan itu tak segan pula ia ceritakan. Tentu saja, itu membuat Zoe, Hanna, dan Dori tersentak sampai kesulitan menutup mulutnya.

“Bibi Molly betul-betul keterlaluan! Apa maksudnya dia menjodohkanmu dengan adiknya!” Zoe terlihat begitu kesal.

“Jangan-jangan selama ini memang tidak ada wanita yang mau dengannya, karena itu dia memanfaatkan Soa agar mau menikah dengan pria itu!”

“Sepertinya aku sepakat dengan pendapatmu, Zoe,” sahut Soa. “Dia terlihat arogan dan sikapnya – ugh! Sungguh semena-mena! Aku tidak yakin ada perempuan yang menyukainya!”

“Benarkah?! Apa yang sudah dia lakukan padamu?!” Zoe menyorot penasaran. Tak terkecuali Hanna dan Dori.

“Kalian tahu?! Dia mengirimkan sopir pribadi untukku. Walau aku sudah menolaknya tapi dia tetap memaksaku! Apa dia pikir dia bisa seenaknya begitu!”

Zoe, Hanna, dan Dori saling melempar pandangan bingung. Serasa sekali ada yang mengganjal dari cerita Soa.

“Sopir pribadi katamu?” balas Dori dengan wajah terheran-heran. “Bukankah itu sebuah kenikmatan? Aku tidak melihat ke sikap zalim darinya.”

“Tapi dia memaksaku!” Soa tetap merasa benar.

“Kalau aku jadi dirimu, tidak munafik aku akan menerimanya.”

“Oh ya?! Jadi kau mau menerima pemberian adik nenek sihir itu!”

Dori terheran-heran lagi. “Soa, kalau dia adik Bibi Molly, berapa memangnya usia pria itu?”

“Empat puluh dua.”

“APA!” Dori dan Hanna kompak tercengang. Zoe bersandar lemas tak menyangka sahabatnya akan mendapat jodoh yang jauh lebih tua.

“Waw! Kau 22 tahun, dan dia 42 tahun. Perbedaan yang luar biasa!” ujar Hanna.

“Begitulah. Seharusnya dia jadi ayahku saja. Oh! Tidak-tidak! Bahkan aku tidak berminat menjadi anaknya,” gusar Soa.

Tatapan Zoe mengawang jauh. “Aku tidak bisa membayangkan kalau kau berdiri di samping pria itu menggunakan baju pengantin.”

Soa sampai-sampai menutup telinganya. “Jangan kau lanjutkan pikiranmu, Zoe! Aku tidak mau hal itu sampai terjadi!”

“Soa benar,” bela Hanna. “Aku pernah mendengar kalau semesta bisa mendatangkan apa yang kau pikirkan. Jadi berhati-hatilah dengan pikiranmu.”

Dori menimpali dengan muka lesu. “Aku tidak pernah berpikir sahabatku akan menikah dengan pria yang jauh lebih tua darinya, namun semesta tetap saja mendatangkannya padaku.”

“Aku jadi penasaran bagaimana rupa pria itu,” tambah Hanna.

Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba saja sesuatu mengejutkan terjadi. Dari dalam kafe yang berdinding kaca, terlihat empat orang pria dengan setelan jas hitam turun dari mobil. Kehadiran mereka yang serba hitam dan formal sangat menarik perhatian pengunjung. Tidak terkecuali Soa dan ketiga sahabatnya. Pria-pria itu berdiri sejajar, seolah sedang bersiap menyambut seseorang.

“Ada apa dengan mereka?” ucap Dori sambil melihat ke arah pintu masuk dengan rasa penuh penasaran.

“Entahlah. Mereka terlihat seperti akan mengawal,” jawab Zoe.

Sesaat kemudian, giliran sebuah mobil yang lebih mewah berhenti tepat di halaman pintu utama.

“Mobil siapa itu? Apa presiden Denzel akan makan di kafe ini?” celetuk Soa.

Satu dari pria yang sigap berdiri membukakan pintu mobil itu. Seorang laki-laki dewasa dengan setelan jas abu-abu turun dari dalamnya. Soa yang terpaku pada lelaki yang baru datang itu mulai merasakan sesuatu.

“Sepertinya aku pernah melihatnya.”

Dori terlihat begitu terkejut. “Bu – bukankah itu... itu – Mario Kalevi?”

Langsung saja Soa, Zoe, dan Hanna menoleh ke arah Dori.

“Ma – Mario Kalevi katamu?” muka Soa yang paling mencolok kaget. Nama itu memang sangat akrab di telinganya.

Soa lihat lagi pria itu dari kejauhan, berharap Dori salah melihat. Akan tetapi itu hanya usaha yang sia-sia. Pria itu betul-betul Kalevi yang ia kenal.

“Astaga! Kenapa dia bisa ada di sini?!” gumam Soa pelan.

Kalevi terlihat memasuki kafe. Baru saja kakinya menginjak ruang, sang pemilik Kafe yang biasa dipanggil Paman Mark datang menyapanya. Paman Mark terlihat begitu antusias menyambut kehadiran si pengusaha terkenal itu.

Soa yang masih merasa panik. Buru-buru menutup kepalanya dengan jaket hoodie yang ia kenakan, ia sama sekali tidak ingin Kalevi sampai melihatnya. Tak lupa, daftar menu pun ia pakai sebagai alat untuk menutupi wajah.

“Sepertinya aku pernah mendengar namanya,” tambah Zoe.

“Dia pengusaha terkenal di Denzel. Tidak ada pengusaha di negara ini yang tidak mengenalnya,” jawab Dori, yang paham betul siapa itu Kalevi karena ayahnya adalah seorang pengusaha juga.

“Oh, ya! Aku ingat sekarang. Bukankah dia baru saja mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha terbaik di negara ini?”

“Ya, kau benar – astaga... ini kali pertama aku melihatnya secara langsung. Dia betul-betul tampan dan gagah. Kalian tahu? Ayahku sangat mengidolakan pria itu. Dia berharap aku bisa berjodoh dengan pemimpin perusahaan yang sukses sepertinya – eh! Bagaimana menurut kalian kalau aku meminta foto dengannya?”

Hanna terbelalak mendengar niat Dori. “Ah, kau ini! Memangnya kau berani meminta foto dengannya?! Kalau kau berani, aku juga mau ikut!”

“Ish! Kau juga Hanna. Bisanya hanya mengekor!”

Hanna pun cuma senyum-senyum menerima ucapan Dori.

Mereka menyaksikan Kalevi lanjut berjalan masuk ke kafe. Belum jelas ke mana Kalevi sebetulnya akan mengarahkan langkahnya. Sempat Dori celingak-celinguk mencari meja kosong di dekat ia dan ketiga temannya duduk, akan tetapi ia tidak menemukan satu pun. Semua meja sudah terisi penuh dengan orang-orang yang saat ini sama terkesima seperti dirinya karena kehadiran Kalevi.

“Sepertinya dia akan duduk di lantai atas,” ucap Dori.

Hanna sama sekali tak mengerti. “Apa maksudmu?”

“Meja di sini sudah penuh – hufff! Andai saja tadi kita mengambil meja di lantai atas, pastilah aku bisa menikmati es kopi ini sambil memandangi wajahnya.”

Dori lantas melirik ke arah Soa, seketika ia merasa janggal dengan kelakuan temannya yang tiba-tiba memakai penutup kepala di dalam ruangan sambil sibuk membaca menu.

“Hei, Soa. Ada apa denganmu? Pemandangan di depanmu lebih indah dari pada daftar menu itu.”

“Biarkan aku Dori,” samar-samar permintaan itu terdengar.

“Kau ini kenapa sih?!” Dori berusaha menarik paksa daftar menu itu. Soa yang tidak ingin wajahnya sampai ketahuan berusaha keras menahan daftar menu di tangannya agar tetap aman menutupi wajahnya. “Soa! Hei! Ada apa denganmu?!”

“Lepaskan aku Dori. Aku ingin memesan minum!”

“Minumanmu masih banyak!” Dori masih memaksa menarik daftar menu itu. Tak mau kalah, Soa pun masih berusaha keras mempertahankannya.

Zoe dengan santai menyangga dagu dengan sikunya di atas meja. “Berhentilah bersikap seperti anak kecil,” ucapnya mengarah kepada mereka berdua.

“Soa sendiri yang aneh! Hei Soa... kenapa kau menutupi wajahmu?! Soa...!”

“Astaga Dori! Kenapa kau terus saja memanggil-manggil namaku!” dengan suara tertahan agar tak lantang Soa semakin merasa gemas.