webnovel

MIMPI: Takdir Yang Hadir

[Buku kedua dari trilogi "MIMPI"] . Haruki Yamada berada di titik terendah dalam hidupnya. Kehilangan harta, keluarga, dan dikhianati istrinya sendiri yang selingkuh dengan pasangan suami istri Richard dan Aleysha. Dia diculik, dibawa ke suatu tempat rahasia dengan kedua mata tertutup, tangan-kaki terikat, dan mendengar suara Sheila sebelum kehilangan kesadaran. Sang anak pertama terancam dilecehkan lagi! Haruki pun berusaha keluar dari cengkeraman Richard dan Aleysha dengan segala cara. Namun siksaan mereka terlalu parah hingga membuatnya sering lupa bagaimana rasanya bernafas. Saat itu, nama yang dia sebut-sebut hanya satu: "Renji... Renji... Renji..." Renji Isamu. Pria yang telah pergi dari hidupnya di masa lalu. Renji Isamu. Pria yang telah memiliki takdirnya sendiri. Renji Isamu. Pria yang takkan pernah datang lagi untuk membawanya pergi. ….Akankah berlebihan jika Haru masih berharap sosok itu kembali? . . . PENGUMUMAN! Ini adalah kelanjutan dari novel "MIMPI" yang sudah TAMAT. Buku ini akan dibagi jadi 3/trilogi. Buku 1: MIMPI (Isi 220 bab) Buku 2: MIMPI: Takdir Yang Hadir (On Going) Buku 3: MIMPI: Akhir Sebuah Takdir (Belum) . . . IG: @Mimpi_Work

Om_Rengginnang · LGBT+
レビュー数が足りません
61 Chs

BAB 1 Bagian 2

Haru tidak lagi melihat dunia setelah itu. Dia tidak ingat apa-apa. Yang dia tahu, ada jeritan kencang Sheila sebelum kesadarannya hilang. Ada alasan kenapa Haru benci diri sendiri sejak dia mulai mencintai Renji. Adalah hatinya yang tak sanggup untuk melupakan dengan mudah meskipun sudah nyata-nyata jatuh ke tanah. Saat kedua matanya terbuka kembali, nama pria itu masih dia sebut meskipun sudut bibirnya sudah memiliki robekan kecil. Entah apa sebabnya, Haru sendiri tidak tahu.

Dia sendirian di ruangan hitam itu. Ada kursi tunggal yang dia duduki. Namun, karena tangan dan kakinya terikat di sana, Haru tak bisa melakukan apapun meski sempat ambruk ke lantai. BRAKH! Rasanya tidak seperti tanah atau keramik. Haru baru sadar di bawahnya ada roda besar yang bergulir ketika mendengar suara klakson bersahut-sahutan dari luar sana. Otaknya macet. Hatinya kisruh. Dan ada aroma pesing yang kuat di sekitar.

"Ugh…" keluh Haru. Darah amisnya sudah kering saat itu. Haru tidak tahu dia tidur berapa jam, yang pasti begitu kendaraan yang mengangkutnya ini berhenti, Richard mendadak naik dan menyeretnya keluar dengan langkah pontang-panting.

"JALAN!"

Richard menendang punggungnya yang masih dilingkari dengan tali tampar. Seperti tengah memberangus hewan buruan, dia tak lelah menodongkan moncong pistol ke belakang kepala Haru yang masih kebingungan dia ada di kota mana. Banyak gedung kotak-kotak dengan warna kumuh di sana. Dengan tulisan-tulisan arab yang rata di plang-plang toko, Haru tak silap mata untuk memperhatikan pegunungan bersalju melingkar sebelum didorong ke dalam sebuah kandang kuda. BRAKH!

"Bagus. Kau sangat cocok di sini daripada daerah merepotkan itu," kata Richard. Bayang-bayang hitamnya membias di tubuh Haru karena cahaya matahari yang hampir tenggelam di ufuk sana. Saat Haru mencoba memperhatikan situasi, tangan pria itu sudah menggoyang-goyangkan dua benda berharga Haru sebelum menginjaknya di tanah begitu saja. "Sekarang diam sampai kami mengurus semua kepindahan. Aku tidak akan mengampuni nyawamu lagi jika masih bertingkah. Setidaknya sampai Rose pulih benar dan bisa bicara denganmu. Kau baru bisa keluar dari sini kalau tidak bau kotoran saja."

Richard berlalu setelah berkhotbah seperti pendeta. Dia tidak lupa meludahi ponsel dan dompet Haru yang penuh tinja dan lumpur, namun masih melirik lelaki itu sekilas sebelum mengunci kandang itu dari luar.

Haru diam. Dia hanya mendengar suara rantai dan gembok besar hingga sunyi benar-benar datang. Kau tahu? Detik itu Haru masih bersyukur tidak disatukan dengan kuda-kuda lain. Dia ada di ruangan kosong meski penuh jerami busuk dan lumpur yang habis diinjak-injak. Bau pesing dalam truk tadi tidak sebanding dengan yang ada di sini. Dan meski sempat nyaris muntah, Haru tetap menyeret kaki untuk mengambil ponselnya demi segenggam harapan.

"Renji! Renji!"

Haru kesurupan ketika menyasar ponsel itu. Dia menggali dengan sepuluh jari tanpa ragu meskipun bentuknya nyata-nyata remuk dan terkubur dalam lumpur. Sempat dia bahagia karena layar pecahnya masih menyala, namun Haru langsung memaki-maki ketika perih yang sangat hebat mendera lubang-lubang yang masih berisi peluru di tubuhnya. Tremor. Haru jatuh tersungkur begitu saja hingga ponsel itu terlempar cukup jauh darinya. Kepalanya sakit. Hatinya patah. Dan meskipun wajah-wajah 'puterinya' mulai buram—potret Renji tetap lebih bersinar lebih daripada apapun bahkan Kuze Hamada yang sempat menawarkan kehidupan kepadanya.

Kenapa?

Haru sendiri tak tahu. Seumur hidup setelah orangtuanya meninggal, Haru tidak pernah merasakan pengalaman sehina ini meski cuma sekali. Akal sehatnya mungkin sudah rusak juga, namun Sheila dan Sherly sungguh-sungguh ingin dia bawa jauh dari dunia jika bisa. Bisakah Haru menghilang sepenuhnya saja? Dia tertawa-tawa tanpa henti ketika berebah di atas tanah yang timbul tenggelam itu.

"Astaga… ya ampun… aku sungguh-sungguh bodoh sekali…" desah Haru ketika dia memandang langit-langit kandang. Dadanya naik turun. Kembang kempis. Haru bahkan ragu dia masih bisa hidup esok hari jika tidak kehabisan darah saja. Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah mudah jika Haru menyerah sejak awal? Sebab Haru adalah pihak yang disakiti. Pantas kan jika dia mengabaikan nasib Sheila dan Sherly, terus berlari, pura-pura tidak tahu, lalu mengejar kebahagiaanya sendiri di tempat lain meskipun sudah tak bersama Renji.

Siapa Renji? Siapa Rose? Siapa Jean? Dan siapa Ginnan Takahashi? Haru tidak harus terlibat dengan mereka semua daripada seperti ini. Dia mungkin bisa hidup normal jika dulu menuruti kata-kata sang Ibu untuk tetap hidup di kampung halaman saja. Namun, penyesalan saat ini tentu tidak lagi berguna.

Jujur, Haru bisa tertawa cukup dengan mengingat masa-masa remaja bersama Renji. Dia tak tahu apa yang terjadi waktu itu. Namun, melihat Renji sendirian saja di bangku sekolah, dia jadi gemas mengajak bicara pria itu hingga memberikan hadiah syal saat musim dingin.

Haha… benar-benar miris sekali.

"Aku ini sebenarnya kenapa…" desah Haru lalu menutup matanya dengan lengan. Kebas di sana masih terasa hingga lima menit baru bisa bergerak lagi. "Aku benar-benar sangat bodoh. Di saat seperti ini masih saja mengharapkan sesuatu… haha… haha…" Haru sudah kehilangan hasrat untuk selamat ketika dia berhasil meraih ponselnya kembali. Hebat. Bukannya ingin menelpon Renji lagi seperti sebelumnya, kini Haru justru melihat galeri hanya demi menontoni foto-foto pria itu.

Air matanya samasekali tidak keluar meski layar pecah sangat menghalagi pandangan. Dia sudah lupa bagaimana rasa sakit. Dia bahkan hanya menoleh ke pintu saat ada bunyi ledakan pistol lain dari luar.

DOR! DOR! DOR!

Ada jeritan Rose yang menggelegar di udara.

"PERGI! KAU SANGAT-SANGAT KETERLALUAN!"

Ahh… Haru sudah tak peduli lagi. Mau apapun yang terjadi selanjutnya, dia hanya ingin istirahat sebentar saja. Menutup mata. Tak menghiraukan dunia. Dan sekarang menikmati nafas yang masih menempel di dada. BRAKH! Haru membuka mata lagi dan melihat Aleysha menjebol pintu dengan sikunya. Wanita itu menatapnya kesal saat berdiri di ambang, namun dia tak mengatakan apa-apa hingga mendekat kepadanya.

"Berdiri," Aleysha menyentakkan salah satu lengannya ke udara. "Cepat, berdiri! Aku tidak mau melakukan ini jika bukan Rose yang memintaku. Jadi tolong jangan membuatku makin kerepotan…"

Mata itu tertuju ke Haru. Dan yang dia lihat bukanlah wanita, melainkan seseorang yang pernah terlatih di medan perang meski entah menjadi apa. Haru mungkin tidak tumbuh di kalangan yang keras. Memegang pistol saja tak pernah, namun dia tahu… tubuh wanita mungil ini justru tersusun dari ikatan otot yang lebih kukuh daripada baja. Rautnya keras. Teguh. Dan Haru kenali itu sebagai jenis yang tak menerima bantahan dalam bentuk apapun.

"Kenapa tidak kau bunuh aku saja?" kata Haru. Lalu terkekeh pelan. "Nanggung kan? Apa gunanya balas dendam jika aku tidak mati sekaligus?"