webnovel

MIMPI: Takdir Yang Hadir

[Buku kedua dari trilogi "MIMPI"] . Haruki Yamada berada di titik terendah dalam hidupnya. Kehilangan harta, keluarga, dan dikhianati istrinya sendiri yang selingkuh dengan pasangan suami istri Richard dan Aleysha. Dia diculik, dibawa ke suatu tempat rahasia dengan kedua mata tertutup, tangan-kaki terikat, dan mendengar suara Sheila sebelum kehilangan kesadaran. Sang anak pertama terancam dilecehkan lagi! Haruki pun berusaha keluar dari cengkeraman Richard dan Aleysha dengan segala cara. Namun siksaan mereka terlalu parah hingga membuatnya sering lupa bagaimana rasanya bernafas. Saat itu, nama yang dia sebut-sebut hanya satu: "Renji... Renji... Renji..." Renji Isamu. Pria yang telah pergi dari hidupnya di masa lalu. Renji Isamu. Pria yang telah memiliki takdirnya sendiri. Renji Isamu. Pria yang takkan pernah datang lagi untuk membawanya pergi. ….Akankah berlebihan jika Haru masih berharap sosok itu kembali? . . . PENGUMUMAN! Ini adalah kelanjutan dari novel "MIMPI" yang sudah TAMAT. Buku ini akan dibagi jadi 3/trilogi. Buku 1: MIMPI (Isi 220 bab) Buku 2: MIMPI: Takdir Yang Hadir (On Going) Buku 3: MIMPI: Akhir Sebuah Takdir (Belum) . . . IG: @Mimpi_Work

Om_Rengginnang · LGBT+
レビュー数が足りません
61 Chs

BAB 1 Bagian 25

Entah bagaimana nasib jantung kru pesawat, yang pasti peringatan landing tinggal 20 menit lagi saat Ginnan sudah mulai tenang. Di kamar, lelaki itu nyaris pingsan. Sekujur tubuhnya penuh merah, dan dia tak pernah tahu seks singkat bisa terasa lebih hebat daripada saat mereka di ranjang penthouse.

"Mau langsung kumandikan?" tanya Renji. Dia membantu Ginnan mendorong mundur pahanya agar mereka terpisah. Namun lelaki itu menggeleng tegas.

Masih sadar tidak sadar, Ginnan ingin mengatur nafasnya hingga rileks saat itu. "Umn.." rajuknya.

"Baik, kita istirahat sebentar," kata Renji. Dia memijat lembut pantat merah Ginnan dan mengabaikan basahnya. Percayalah, kini tempat itu sungguh kacau. Namun Renji terus membantu Ginnan sebisanya. Tentu saja, Ginnan refleks merintih kala Renji merogoh liangnya untuk membersihkan cairan yang tertinggal. Beberapa kali dia meremas pergelangan Renji agar pelan, tapi dia pasrah saja karena sudah kebas dimana-mana.

"Ren?" panggil Ginnan sembari membalik badan. Meski sulit, dia tetap ingin menghadap Renji setelah prosesi tersebut selesai.

"Hm?"

"Aku mau minta maaf lagi," kata Ginnan. Maniknya bergulir lembut membalas tatapan Renji. "Soal kemarin, pasti omongan kasarku sudah kelewatan. Aku emosi. Serius. Tapi kalau kupikir-pikir sekali lagi, mustahil kau mengabaikan Haru."

"Hm."

Ginnan menggigit bibir bengkaknya. "Umn, aku benar-benar dimaafkan?" tanyanya.

"Menurutmu aku tidak akan memaafkan?" tanya Renji balik. Seketika itu kedua bola mata Ginnan berkaca-kaca. Lelaki itu mengucek kedua matanya, merasa lelah akan dirinya sendiri, namun Renji mengecup keningnya sayang. "Daripada itu, biar kuurus badanmu sekarang. Kita makan. Sebentar lagi pasti sampai di tujuan."

"Umn."

BRUGH!

Ginnan pun memeluk Renji sekuatnya. Menyesal. Sementara kru pesawat di luar lega hati setelah kesunyian kembali menyelimuti seluruh kabin.

.

.

.

Selepas landing, pesawat jet pribadi Renji tidak langsung terbuka. Hanya para kru yang dipersilahkan untuk istirahat makan siang di lounge bersama-sama. Beda ruang, Renji dan Ginnan menyantap bagian mereka sembari memandang keluar jendela yang berkabut. Hokkaido rupanya baru turun salju sangat deras. Bahkan sekarang, kepingan putih es itu makin banyak kembali. Renji mengundur perjalanan ke rumahnya hingga nanti sore. Dia tidak mengizinkan siapa pun keluar, terlebih Ginnan yang katanya ingin cepat-cepat lihat lokasi rumah mereka. Pria itu bahkan melapisi tubuh Ginnan dengan lebih banyak jumlah garmen kali ini.

"Aku pakai syal-nya nanti saja. Ini tidak nyaman, Ren," kata Ginnan. Dia menyendok oatmilk dengan jari-jari yang memerah. Terlalu kedinginan rupanya. Senyumnya terbit ketika menatap wajah sang kekasih di hadapan. "Dan jangan marahi bawahanmu. Wajar mereka lupa membawa mesin uap penghangatnya. Kita kan berangkat mendadak. Kau juga mengubah keputusan pakai kendaraan ini ketika agak siangan. Maklum jika persiapannya agak kurang."

Renji tak menanggapi hal itu. Selesai dengan roti dan kopinya, dia justru memotongkan foei grass dari piring Ginnan, lalu meletakkannya kembali di depan lelaki itu. "Habiskan," katanya. "Tenagamu akan pulih dengan cepat setelahnya"

Alis Ginnan naik sebelah mendengarnya. "Kenapa bisa?" dia lalu menatap nampan miliknya. "Walau jujur aku tidak pernah melihat makanan-makanan seperti ini."

"Itu daging angsa khas Perancis," kata Renji. "Sebelahnya lagi telur ikan Sturgeon. Tapi makan dulu pisangnya."

"Telur ikan…" Ginnan meneguk ludahnya kesulitan. Dia menatap bulatan-bulatan hitam itu, menyendoknya, lalu beralih ke arah Renji. "Boleh aku tidak perlu makan ini?"

"…"

"Please? Aku tidak suka telur," kata Ginnan. Suaranya lantas memelan. "Apalagi warnanya segelap ini."

Renji justru menyendok satu suap untuk lelaki itu. "Buka mulutmu, coba," katanya. Dan hidung Ginnan berkerut ketika benar-benar melakukannya. Dia memejamkan mata. Geli, jijik, tapi pipinya memerah setelah merasakan telur-telur itu lumer di lidahnya.

"I-Ini enak…" Ginnan merebut sendok Renji sebelum menyuapnya sendiri. "Sungguhan enak. Walau rasanya sedikit asin. He he." Geliut lidahnya menyapu bibir saat cairannya meluber lembut. Renji hanya senyum, namun Ginnan mendadak berdehem pelan. "Ngomong-ngomong, aku boleh jujur soal sesuatu?" tanyanya.

"..?"

"Ini… sudah kusadari sejak kita baru pergi ke Italia," kata Ginnan. Lelaki itu tampak salah tingkah tapi tetap melanjutkan suapannya. "Tapi, maaf baru bilang sekarang."

Renji masih menunggu kata-katanya.

"Aku lihat, setiap kali kita makan di luar, orang-orang di sekitar ahli dengan table manner," kata Ginnan. "Tapi kau sendiri tidak pernah membicarakan soal itu denganku."

"…"

"Apa aku membuatmu malu selama ini?"

"Tidak."

"Yakin?"

"Aku tidak berencana memamerkanmu lebih dari kepada orang-orangku," kata Renji. "Jadi tidak perlu memaksakan diri. Berlaku senyamanmu saja."

Mendengarnya, Ginnan makin tak enak hati. "Kalau aku sendiri yang ingin belajar? Apa kau mau mengajariku?"

Renji memandangi setusuk daging angsa yang Ginnan sodorkan di depan wajahnya. "Bisa," katanya. "Tapi jangan gunakan itu di rumah."

"Eh? Kenapa?"

"Sepertinya kita sudah pernah membicarakan hal ini."

Ginnan pun mengerjap lucu. Dia menarik kembali dagingnya karena diabaikan, lalu mencoba mengingat-ingat lagi. "Tapi rasanya sangat berkelas," katanya. "Aku… sepertinya tidak apa-apa kalau berubah begitu. Bukankah kedengarannya jadi lebih baik?"

Renji mendadak beranjak dari duduknya. "Akan kupikirkan dulu," katanya sebelum berlalu.

"Eh? Tunggu, mau kemana?" tanya Ginnan. Dia meraih tangan Renji seperti sudah menjadi refleks keseharian.

"Sebentar," Renji menarik tangannya dan membelai lembut pipi lelaki itu. "Aku mau bicara sesuatu dulu dengan pilotnya, hm?"

"Oh, oke."

Begitu Renji pergi, Ginnan pun memandangi piring caviar-nya. Dia baru sadar kalau percakapan barusan didengar beberapa pramugara. Sepertinya mereka sudah selesai makan siang. Kini semuanya kembali mondar-mandir di sekitar. Mereka canggung, tapi tetap melakukan tugas masing-masing.

Aku tidak berencana memamerkanmu lebih dari kepada orang-orangku—kata Renji barusan. Dalam beberapa hal, Ginnan merasa pria itu sulit dimengerti. Namun, saat Ginnan berpikir mengakrabkan diri dengan mereka, itu juga sama sulitnya.

"Harusnya aku berterima kasih," gumam Ginnan. Dia mengulak-alik hati angsa itu dengan malas. "Siapa pun pasti bersyukur tidak diatur pasangannya. Tapi kenapa… huft…"

Lebih parahnya salju di luar semakin deras, dan Renji tak kunjung kembali. Ginnan pun meletakkan sendoknya, berikut lalu kepalanya di atas meja. Dia bingung harus apa. Pesawat ini rasanya masih tidak nyata hingga seorang pramugari berani mendekat padanya.

"Halo, Tuan," pramugari itu berlutut dengan senyum di hadapan wajah Ginnan. "Bagaimana kabar Anda? Apakah semua baik?"

"Eh?"

"Perut Anda tidak apa-apa?" tanya si pramugari. "Saya khawatir terjadi sesuatu. Apa perlu diambilkan pereda mabuk atau semacamnya?"

Ginnan pun menegakkan duduk. "Tidak kok. Aku tidak apa-apa," katanya. Lalu membuang muka saat menyadari si pramugari adalah gadis yang memergokinya telanjang tadi pagi.

"Oh, mungkin saya hanya berpikir berlebihan," kata si pramugari. "Lalu kenapa tidak menghabiskan makanannya? Apa Anda kurang suka masakannya?"

Ya ampun, kenapa dia terus bertanya? Apa dia sudah lupa soal tadi pagi? Batin Ginnan segan.