Milena mengambil satu. "Sudah agak baikan. Hanya saja rasa berdenyut itu kadang datang dan punggungku tiba-tiba terasa sakit dan nyeri."
Dokter Ames merenung sejenak, di tangannya tergenggam polpen yang siap mencatat keluhan Milena.
"Apa kau tak ingat pernah jatuh? Diganggu mungkin?"
Milena mendengus, lalu duduk di pinggiran meja kerja sang dokter. "Aku yang mengganggu mereka. Bukan sebaliknya."
"Ok." katanya singkat. Mencatat hal-hal yang dianggapnya penting.
"Apa aku tak akan mengingat hal yang terjadi padaku? Selamanya?" tanyanya ragu-ragu, ia menatap ujung kakinya yang bergoyang.
"Aku tak bisa memberikan jaminan apapun. Tapi, jika kau mengikuti terapi secara rutin, besar kemungkinan kau akan ingat beberapa hal—"
"Seperti kembang api, contohnya?" Milena memotong perkataan dr. Ames.
"Yah. Seperti kembang api." Nada suaranya berubah lembut dan menenangkan.
Tiga hari setelah ia melakukan tes pertamanya, ia melakukan sesi konsultasi, sang dokter memperlihatkan berbagai macam gambar padanya. Konsultasi kali ini tidak masuk dalam hal prosedurnya, lebih kepada konsultasi pribadi—teman ahli psikolognya menyarankannya melakukan pendekatan psikolog, di mana ia bisa berbagi pendapat mengenai kasus Milena.
Pertama, dokter Ames memperlihatkannya gambar berupa siluet hitam putih tak berbentuk jelas. Tes kedua, melibatkan berbagai macam warna, aktivitas, ekspresi, dan kata-kata. Ia merespon pada beberapa hal yang mengerikan: kembang api, kostum-kostum aneh, minuman berbagai warna, kalung berlian (wanita mana yang tak suka, bukan?), dan cermin....
Semua benda itu memicu rasa sakit di kepalanya. Kemudian disusul dengan punggung yang nyeri.
"Aku rasa, kau juga butuh konsultasi ke psikolog, Milena. Kasusmu agak kompleks." Nada suaranya tajam, berwibawa, dan mengandung bujukan. Detik berikutnya ia terdengar lebih santai. "Sangat lucu seorang psikiater merekomendasikan pasiennya ke psikolog." Ia terkekeh memikirkan hal itu.
"Aku tidak gila!" Ia menghela napas. "Berapa kali harus aku katakan? Apa tes MMPI atau tes apalah itu, tidak cukup?"
"Banyak faktor yang bisa mempengaruhi hasil tes itu. Belum tentu valid. Aku tak akan memaksamu. Hanya saja, kau lebih butuh sesi konsultasi ketimbang obat-obatan. Dokter Chris melarangku memberimu resep tanpa persetujuannya. Dia bilang masih ingin memeriksa fisikmu lebih lanjut."
"Bagus! Aku lebih suka sesi konsultasi semacam ini. Meluapkan isi hati." Ia nyengir.
"Yeah. Tapi, rasanya aku tidak berguna jika tak bisa membantumu." keluhnya meringis.
"Anda sudah lebih dari cukup membantuku, dokter." Ia tersenyum tulus.
"Boleh aku tahu obat apa yang ia berikan padamu?"
"Entahlah, semacam penghilang rasa sakit?" Jawabnya ragu-ragu.
"Vicodin?" sebelah alisnya terangkat.
"Aku tak tahu. Aku sudah boleh berhenti mengkonsumsinya besok." Kali ini dia menjawab dengan wajah linglung.
"Apa punggungmu selalu sakit?"
"Tidak juga. Muncul sesekali, dan disertai sakit kepala atau lainnya."