"Kenapa? Apa kau kehabisan kata-kata? Setidaknya berterima kasihlah pada penolongmu. Setiap kali kau pingsan, aku seperti ditakdir menjadi malaikat penolongmu. Bukankah itu lucu?" ledeknya, mengikuti arah Milena memalingkan muka, ia menggeram marah, diselingi tawa sinting.
"Well, aku tak butuh malaikat penolong sepertimu. Lagi pula, kau yang membuatku seperti itu!" kata Milena tak sabaran, ia memejamkan mata kuat-kuat.
"Sangat tidak sopan!" cemooh Max.
Desakan di hati Milena semakin kuat, tangannya kembali gemetar hebat, ia menggenggam sendok kuat-kuat. Ada yang salah dengan dirinya terhadap pria itu! Namun, Milena tak mengerti. Sesuatu itu menggelora di dadanya, membakar jiwa dan pikirannya, ingin rasanya ia menarik tubuh Max ke dalam pelukannya, menjambak rambutnya dan... dan...
Ketika pikirannya kacau balau, Max mencengkeram rahangnya dan memaksanya saling tatap.
Bibir Max... tebal dan seksi... dan senyum khas itu... Milena ingin memilikinya... Tiba-tiba, ia menatap bibir itu dengan penuh nafsu, tapi ditahannya mati-matian.
Ada yang salah dengan semua ini! Pekiknya dalam hati.
Milena menelan ludah berat, "keluar."
"Apa? Kau memberiku perintah?" sekujur tubuh Max tegang, wajahnya menampilkan ketidaksukaan yang begitu jelas.
"Keluar. Max. Kumohon." Pinta Milena sungguh-sungguh, ia memejamkan mata menahan semua godaan yang menggelayuti hati dan pikirannya. Nama David diulang-ulangnya dalam hati bagaikan sebuah mantra perlindungan.
"Ada apa? Apa kau ketakutan sekarang?" desis Max, satu lututnya dinaikkan pada sisi tempat tidur, tubuhnya semakin mendekat.
"Max!" Pekik Milena panik.
"Apa? Kenapa, huh?"
Max memaksanya menatap matanya, sementara ia berontak sekuat tenaga melawan dorongan hatinya dan lepas dari perlakuan kasar Max.
"Kenapa kau begitu peduli pada David? Kau bahkan tak jujur padanya!"
Pertanyaan Milena itu membuat urat leher Max mengejang.
"Kau tahu apa soal diriku!" ucapnya menahan amarah, kali ini ia mencengkeram tangan Milena yang satunya ke bantal, membuat Milena dalam posisi bersandar, separuh tubuh Max menindih tubuhnya.
"Keluar saja, Max!" pintanya, menggertakkan gigi.
"Bagaimana jika aku tak mau?" Ia berbisik di telinganya, hembusan napas Max perlahan menuruni lekuk wajahnya hingga sebatas bibir.
"Sebaiknya kau keluar. Jika David melihatmu—"
"Maksudmu melihat kita?" Milena membeku mendengar ancaman itu. Tekanan tubuh Max membuat jantungnya bekerja lebih cepat dan memburu, Max mengernyitkan kening. "Aku bisa merasakan detak jantungmu yang tak karuan, dan tanganmu yang gemetar hebat. Apa aku begitu menakutkan bagimu?" lanjutnya, senyum puas terpasang di wajahnya.
"Kau. Mimpi. Buruk. Yang paling buruk." Napas Milena tersengal.
Lelaki itu tertawa. Tawa yang terdengar gila dan agak sinting, lalu ia terdiam. Milena memberanikan diri mendelik lelaki itu. Tenggorokannya tercekat. Mata indah itu menatap tajam padanya, rahangnya mengatup rapat, dan matanya... mata itu seolah-olah akan membakarnya dan menelanjangi jiwanya tanpa ampun. Sungguh ngeri dan menggoda. Milena seolah hanyut dalam godaan yang memabukkan.
"Kalau begitu..." ia melunakkan ekspresinya, suaranya setenang air, "aku akan menjadi mimpi burukmu secara pribadi. Sungguh kehormatan, bukan?" Ia meremas jemari kiri Milena kuat-kuat, terlalu kuat hingga Milena berpikir tulangnya bakalan remuk.
"Sakit... Max..." rintihnya.
"Jika kau tak mau menjauhi Max, hanya ada satu cara supaya kau berhenti memikirkannya..." Ia menyapu tulang pipi Milena dengan bibirnya, membuat Milena nyaris tak bernapas saking kagetnya.
"Apa yang kau lakukan?" Milena menelan ludah. Sedikit lagi ia akan kehilangan kewarasannya, Max bagaikan bahaya dan godaan yang bermain di hatinya pada saat bersamaan. Ia tak tahu kenapa bisa seperti itu. Seolah terhipnotis oleh pesona anehnya...
Max melempar sendok yang digenggam Milena begitu saja ke lantai, membuatnya mencengkeram kedua tangan Milena di kedua sisi kepalanya. Ia naik ke tempat tidur, kedua lututnya berada di kedua sisi tubuh Milena, mendominasi suasana itu.
"Apa yang kau lakukan? Bagaimana jika David melihatmu?" Pekik Milena histeris.
"Maksudmu... melihat kita?" suaranya terdengar cuek, serak, dan dalam. Senyum khas itu kembali muncul.
Waktu seolah berhenti, tatapan mereka berdua terkunci.