Jadi Mas Bagus sudah meninggal nyaris setahun yang lalu, dan aku nggak tau apapun soal itu. Sekarang, berdiri di depan gundukan makam dengan nisan yang polos tanpa tulisan apapun ini, aku merasa bersalah karena nggak sempat mengucapkan selamat tinggal dengan pantas, ataupun mengurusi jenazahnya dengan baik.
"Maaf ya. Nisannya polosan. Soalnya buat ngukir nama, harus nambah biaya lagi," kata Tono. "Waktu itu aku bokek banget karena semua sisa uangku habis buat bayarin biaya rumah sakit Bagus."
Aku cuma bisa mengangguk. Sambil menatapi Fitri yang menatap sekitar sambil berceloteh. Melihat Fitri yang ceria entah kenapa justru bikin hatiku makin pedih.
Padahal dulu kamu sangat menunggu-nunggu kelahiran Fitri, Mas. Tapi kamu malah pergi sebelum sempat melihat wajah putrimu. Sebelum sempat menggendong dan memeluknya.
"Soal biaya itu, nanti kuganti ya, Mas. Kalo aku sudah dapat rejeki."
"Nggak perlu," kata Tono. "Aku ikhlas kok. Lebih baik sekarang kamu pikirkan aja apa yang akan kamu lakukan berikutnya, Nah."
Aku terdiam.
Betul. Apa yang akan kulakukan sekarang? Pulang ke kampung dan melanjutkan hidup?
Entah kenapa, aku merasa itu pilihan yang salah.Jadi, alih alih menjawab pertanyaan Tono, aku malah balik bertanya. "Mobil yang menabrak Mas Bagus itu, apa kamu sempat melihat plat nomornya, Mas?"
Tono tercekat menatapku.
"Kenapa kamu nanyain itu?"
"Karena aku ga bisa biarin Mas Bagus pergi dengan penasaran seperti ini. Aku akan selidiki, Mas, siapa yang udah nabrak Mas Bagus. Dan akan kupastikan dia mendapat hukuman yang setimpal."
Tono menatapku seakan akan aku gila.
"Kamu pikir kamu ini siapa, Nah? Detektif? Orang pinter? Pake mau selidik selidiki segala! Denger ya. Masalah seperti ini itu nggak gampang. Apalagi yang nabrak itu mobil mewah. Punya orang kaya. Orang kecil kayak kita, mana bisa ngelawan mereka?"
"Allah nggak tidur, Mas. Dan Dia ada di pihak orang yang benar, bukan yang kaya."
"Sedih dan hancur, bukan alasan buat nggak realistis kaya gini, Nah. Inget, kamu punya Fitri yamg harus kamu urus. Jadi sudahlah kamu pulang kampung aja dan urus anakmu dengan baik. Sukur-sukur, kamu bisa ketemu laki-laki baik di kampung dan menikah lagi."
"Jadi, berapa nomor mobilnya, Mas?" Tanyaku tanpa menanggapi kata kata Tono. "Apa kamu sempat liat??"
Tono menarik nafas berat. Lalu menggeleng.
"Mana sempat liat," sahutnya. "Kejadiannya kan cepat sekali."
"Tapi kamu bilang tadi itu mobil mewah. Merknya apa, Mas? Warnanya?"
"Aku cuma tau itu mobil sedan. Warna merah."
"Apa ada saksi mata saat kejadian itu selain kamu? Penjual kacang rebus itu, apa dia liat sesuatu?"
"Tabrakannya pas kita sudah di depan, jauh dari tempatnya jualan. Dia nggak liat apa-apa."
"Jadi nggak ada saksi mata selain kamu?"
"Cuma satu pejalan kaki. Dia yang bantuin aku manggil taksi dan bawa Bagus ke rumah sakit. Tapi dia juga nggak liat mobilnya, karena mobil itu pergi sebelum dia dateng."
Aku terdiam. Dan kulihat Tono menatapku memohon.
"Kamu liat kan? Nggak ada petunjuk sama sekali, Nah. Artinya, kamu nggak mungkin nemuin penabrak itu. Jadi daripada buang-buang waktu lakuin hal yang sia-sia, mendingan kamu balik aja ke kampung."
"CCTV," kataku, tiba-tiba merasa bersemangat. "Rata rata toko kan sekarang punya CCTV. Pasti ada salah satu dari mereka yang merekam kejadian itu."
Dan sebelum Tono sempat menyanggah, aku sudah berderap pergi meninggalkan makam Mas Bagus.
Siapapun kamu. Siapapun kamu yang sudah membunuh suamiku, jangan harap kamu bisa lepas dari tanganku. Aku nggak akan berhenti sebelum menemukan kamu.