webnovel

Bab 3 - Siapa dia?

"Hah? Dia siapa?" Salma menggelengkan kepalanya, dia memasang wajah polos. Bahkan, penampilannya saja terlihat kacau. Tak seperti Salma yang selama ini Amira kenal. Baju lusuh, rambut acak-acakan, wajah sembab, dan juga ekspresi wajahnya yang seperti orang linglung. Amira menggelengkan kepalanya, dia tak tahu lagi harus berbuat apa dan bersikap bagaimana dengan Salma.

"Gue nggak tahu, Mi, mereka datang sambil tanya dimana rumah pemilik sepatu merah. Lo bayangin aja gue baru bangun tidur udah disergap sama pertanyaan yang nggak jelas gini. Karena takut gue tutup pintunya, terus gue telpon lo. Gue yakin tuh laki-laki lagi cari lo, Mi. Soalnya mereka tuh bajunya keliatan rapi dan seperti orang-orang yang berkasta tinggi. Emangnya lo nggak pengen tahu siapa yang udah merenggut selaput dara lo, Mi? Ini udah satu minggu lebih dan lo masih nggak tau siapa yang ambil mahkota lo." Amira mengalihkan pandangannya, dia selalu menghindar bila diajak bicara tentang kejadian malam itu.

Amira menggelengkan kepalanya. "Gue nggak pengen tahu, Sal. Lagian buat apa gue tahu identitas dia? Emangnya dia mau nikahin gue, enggak juga kan? Yang penting papa jangan sampai tahu kalau gue udah kebobolan, bisa kacau. Tuh laki-laki yang sama gue bisa langsung ditangkap dengan mudah di tangan papa. Gue takut kalau dipaksa nikah sama tuh laki-laki, belum siap. Jiwa gue ini masih pengen berkelana kemana-mana, pengen jalan-jalan sebebas mungkin."

"Tapi, Mi, cowok yang sama lo malam itu gue rasa dia tajir banget. Karena cowok yang masuk di kelab itu hanya deretan manusia tajir melintir aja. Kayak yang sama gue itu, dia ternyata pengusaha batu bara. Dan sampai sekarang dia malah hubungi gue secara intens banget, ngerasa banget kalau gue ini berharga buat dia. Lo harusnya gitu juga, Mi, cari tuh laki-laki sampai dapat terus minta tanggung jawab. Bukannya dari dulu lo selalu berpegang teguh dengan kata-kata, hanya suami lo yang berhak menyentuh dan membobol lo ya? Wujudkan ucapan lo itu," desak Salma. Dia menatap Amira begitu meyakinkan.

Amira masih kekeh, dia menggelengkan kepalanya kuat. Tak mau mencari identitas laki-laki itu sampai kapan pun. Dia tak ingin terjebak dalam situasi yang rumit dan pelik. Amira tetap mempertahankan egonya untuk tidak menghubungi dan mencari tahu tentang laki-laki itu. Meski dia merasa hanya sebagai tempat pelampiasan nafsu, tapi sekuat tenaga hatinya menolak untuk mencari tahu. Sebab, akan terus membuat dirinya teringat dan terngiang-ngiang adegan malam itu.

"Jangan-jangan lo menikmati permainan dia ya, Mi? Lo terbuai sama permainan tuh cowok, jadi lo nggak masalah misal nih cowok nggak bertanggung jawab. Yakin sekarang lo udah berubah kayak gini, Mi? Gue nggak melihat Ami yang biasanya gue lihat. Ami si tegas dan selalu menepati setiap ucapan yang keluar dari bibirnya. Ami, are you okay?" Amira dengan cepat menggeplak kepala Salma. Ucapan sahabatnya tersebut terlalu frontal, tak bisa direm sama sekali.

"Kalau ngomong dijaga ya, Salma. Gue masih mempertahankan ucapan gue dari dulu, sebisa mungkin gue menjaganya. Tapi, apa? Gue ternyata melanggar ucapan gue sendiri, Sal. Siapa laki-laki itu aja gue nggak tahu dan nggak mau tahu. Kalau ingat dia, gue langsung teringat sama kejadian malam itu. Jadi, jijik. Misal nanti dia jodoh gue, pasti dia bakal cari gue kok. Nggak peduli apa yang terjadi, gue yakin kalau dia bertanggung jawab bakal cari gue sampai dapat."

Salma memukul dahinya sendiri, perlahan. "Lo kalau lihat film atau baca novel, jangan yang sampai berlebihan deh. Gini nih efeknya, lo malah halusinasi. Siapa yang bakal nyari bekas dia semalam, Mi? Cowok mana? Namanya laki-laki, kalau udah dapat kenikmatan pasti langsung dia tinggal. Nggak ada tuh istilahnya dia bakal tanggung jawab. Apalagi kalian melakukan itu di kelab, siapa yang mau tanggung jawab? Hah? Nggak ada, Amira. Sadar dong, jangan tidur terus."

"Eh, tapi dia nggak keluar di dalam kan? Lo masih aman aja kan sampai sekarang?" lanjut Salma. Amira mengerutkan dahinya, lalu menggelengkan kepalanya.

"Gue…, nggak tahu."

"Astaga, Ami! Kalau lo hamil gimana? Siapa yang mau tanggung jawab? Lo harus cari tuh cowok, Mi. Gue bakal bantu. Apa kata Om Heru kalau lo sampai hamil di luar nikah, Mi? Gue pasti ikut dimarahin sama Om Heru. Ami, pokoknya kita cari tuh cowok sampai ketemu. Gue nggak mau tahu." Salma tak habis pikir dengan sahabatnya yang memiliki kepintaran di atas dirinya. Kenapa bisa sesantai itu menyikapi semuanya?

"Gue nggak mungkin hamil, Salma. Cuma sekali main masa langsung jadi, lo ngada-ngada banget deh. Intinya gue nggak mungkin hamil. Gue nggak mau nikah cepat, Sal." Amira menggelengkan kepalanya kuat. Bahkan, dia menggigit jari telunjuk.

"Ami, nggak semua harus dilakukan berkali-kali. Ada yang satu kali jadi. Tinggal lo saat melakukan itu lagi masa subur atau enggak. Mending lo mulai sekarang harus mencari tuh laki-laki deh, Mi, gue jadi was-was. Siapa tahu aja sekali jadi. Pokoknya kita harus cari tuh laki-laki," saran Salma. Dia mengucapkan dengan begitu menggebu-gebu. Amira masih belum percaya, dia masih ragu. Terlebih dia tidak mau mencari tahu siapa laki-laki yang bersamanya tempo hari.

Salma mengerutkan dahinya. "Atau…, laki-laki berbaju hitam tadi pagi itu adalah suruhan orang yang pengen cari lo. Karena di apartemen lo kosong, makanya mereka cari ke apartemen gue. Lo sama gue kan sohib, jadi kalau salah satu nggak ada di rumah pasti mengira kita lagi bersama. Dan, mereka menyebut sepatu merah. Lo lihat yang lo pakai hari ini, merah. Ini nggak mungkin kebetulan yang begitu beruntun, Mi."

"Waktu lo ke kelab, lo pakai sepatu ini juga kan? Karena seingat gue lo suka warna merah, makanya lo pakai ini. Dan laki-laki itu, nggak mengingat betul wajah atau pun tahu nama lo. Yang dia ingat dari lo adalah heel warna merah ini. Jangan bilang semua ini hanya kebetulan. Ini bukan kebetulan, Mi, gue rasa emang tuh cowok lagi cari keberadaan lo. Dia udah tahu gue, nggak menutup kemungkinan kalau dia udah tahu semua tentang lo dan juga keluarga lo, Mi." Salma menyipitkan matanya.

"Bisa jadi dia malah bilang ke bokap lo langsung, Mi. Ini malah jadi ribet, asli. Kalau dia udah kenal sama bokap lo, terus dia bilang semuanya. Gimana? Lo langsung keciduk, Mi. Dan yang terjadi selanjutnya adalah…, lo bakalan nikah sama tuh laki-laki. Om Heru pasti marah besar sama lo, Mi. Lo nggak ada pemikiran sampai sana nggak sih? Kalau gue rasa tuh laki-laki jaringannya banyak dan jelas dari kalangan pengusaha. Nggak menutup kemungkinan dia kenal sama bokap lo. Secara Om Heru itu pebisnis tersohor, Mi."

Amira diam, pikirannya berkelana. Dia menjadi memikirkan semua ucapan Salma, dia menjadi takut bila semua kemungkinan tersebut terjadi. Ini menjadi mimpi buruk untuk dirinya dan seluruh karirnya.