webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · 都市
レビュー数が足りません
108 Chs

MCMM 15

Bisakah Gladys memenuhi keinginan terakhir sang Eyang? Bagaimana mungkin menemukan pasangan hidup dalam waktu 6 bulan?

Penasaran? Yuk ikuti terus ceritanya

Double up ya guys

Author bakal rajin update kalau kalian mau komen.

Ayo dong mana komennya

Jangan lupa Vote dan komennya ya

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Dys, kamu sudah dengar sendiri kan keinginan terakhir eyangmu. Dan mami setuju dengan keinginan eyangmu. Sebenarnya sudah lama mami mau ngomongin ini sama kamu. Tapi kamu selalu menghindar." Malam itu di ruang makan rumah mereka, Cecile membuka kembali percakapan mengenai pernikahan. Hal yang selama ini paling Gladys hindari .

"Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin. Cukup eyang saja yang mendesak aku. Itu aja sudah bikin aku bete," sahut Gladys dengan wajah cemberut.

"'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari pacar yang bisa diajak nikah dalam waktu 6 bulan ke depan." Kali ini Cecile tidak mau kalah.

"Santai ajalah, Mi. Aku kan baru 24 tahun.  Masih panjanglah waktuku. Lagian kenapa sih semua orang nyuruh aku menikah. Aku tuh belum pengen menikah. Susah banget apa ya mengerti hal tersebut?"

"Waktu kamu panjang, tapi tidak dengan waktunya eyang. Kita nggak pernah tahu kapan eyang akan meninggalkan kita. Kamu itu cucu kesayangan eyang. Mami harap kamu bisa memenuhi keinginan eyang. Mami kasih kamu waktu sebulan untuk mencari calon suami. Kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex Darmawan."

"Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia. Lagian eyang aja kasih waktu 6 bulan, lah ini mami kok cuma kasih waktu sebulan. Yang benar aja dong, Mi" Protes Gladys.

"Hati-hati kalau ngomong. Nanti beneran dapat tukang sayur tahu rasa kamu." sahut Cecile. "Ucapan itu doa lho. Kalau kamu dapat tukang sayur, memangnya kamu sanggup diajak hidup susah? Bisa gitu kamu hidup sederhana? Jangan-jangan nanti kamu malas stress. Ujung-ujungnya balik lagi ke orang tua."

"Ih, mami kok malah ngedoain begitu sih? Memangnya mami mau liat adek menderita?"

"Lho, kan kamu sendiri yang bilang kalau lebih memilih tukang sayur daripada anak sahabat papimu itu. Si Calvin playboy kan karena dia belum menikah. Nanti kalau sudah menikah sama kamu, dia pasti akan berubah. Lagipula kalau kamu menikah sama Calvin, hidup kamu pasti terjamin. Gaya hidup kamu nggak harus berubah. Malahan usaha papi dan om Alex bisa tambah maju."

"Mi, berubah itu bisa dua. Membaik atau malah memburuk. Kalau memburuk gimana? Pokoknya Mi, adek mau cari pasangan yang bisa menimbulkan getaran di hati adek dan bisa membuat adek nyaman." jawab Gladys masih kekeuh dengan pendiriannya.

"Gini aja deh, gimana kalau kamu coba jalan dulu sebulan ini sama si Calvin. Kalau nggak cocok kamu boleh cari calon lain?" Cecile mencoba bernegosiasi. Gladys tampak berpikir keras mempertimbangkan penawaran maminya.

"Nggak butuh sebulan buat membuktikan bahwa si Calvin itu playboy akut, Mi." sahut Gladys kesal. "Coba deh mami tanya sama bang Gibran, dia pasti akan bilang hal yang sama."

"Eh, apaan nih bawa-bawa nama abang?" tanya Gibran yang baru masuk ke ruang makan. Dia baru saja membersihkan diri setelah pulang dari kantor.

"Bang, jelasin sama mami si Calvin itu orangnya gimana. Dia husband material atau bukan."

"Kok tiba-tiba ngebahas soal Calvin? Husband material? Kamu mau kawin sama Calvin?" Gibran terbahak-bahak mengetahui hal tersebut. "Nggak salah tuh? Apa nggak ada pria lain yang lebih baik dari dia? Elo pikir-pikir deh kalau mau kawin sama dia? Elo siap punya suami tukang selingkuh, yang senangnya foya-foya di club? Pria manja yang taunya ngabisin duit orang tua?"

"Ih abang, siapa juga sih yang mau kawin sama dia. Mami kali tuh yang kesengsem sama Calvin."

"Ya kali mami kalian yang cantik ini jatuh cinta sama anak kemarin sore. Masih menang papi kalian kemana-mana lah."

"Tuh, maminya aja ogah. Apalagi Gladys, Mi. Gladys tahu bagaimana sepak terjang Calvin. Mami juga sudah dengar kan apa yang bang Gibran bilang soal Calvin. Dia bukan calon suami yang baik, Mi. Adek masih lebih memilih hidup sederhana daripada sakit hati gara-gara suami suka selingkuh."

"Ini lagi bahas apaan sih? Kok tiba-tiba adek disuruh nikah?" tanya Gibran bingung.

"Tadi pagi eyang nyuruh adek kawin. Katanya itu permintaan eyang yang terakhir karena eyang nggak tau sampai kapan eyang bisa hidup. Hadeeuh... eyang, mami, semuanya lebay. Eyang itu kuat, Mi. Bukan hal mustahil eyang bisa hidup sampai usia 100 tahun." jawab Gladys dengan nada kesal.

"Oh gitu." Gibran manggut-manggut. "Kalau kamu nggak mau sama Calvin, gimana kalau kamu abang jodohin sama Azka, teman kuliah abang yang sekarang punya bisnis travel."

"Azka yang dulu pakai kacamata tebal? Emoh. Jalan sama dia berasa jalan sama kamus hidup. Adek heran dia kok bisa punya usaha travel. Orangnya kan kaku banget."

"Kalau sama Charlie gimana? Dulu kan dia suka sama kamu, dek."

"Charlie yang sekarang jadi penyanyi itu?" Gibrang mengangguk. "Ogah. Adek nggak suka cowok gondrong kecuali Chris Hemsworth."

"Kalau sama Rangga adiknya Vania mau?"

"Abang nih yang benar aja. Masa adek disuruh nikah sama berondong. Usia adek dan Rangga tuh selisih hampir tiga tahun. Adek nggak suka cowok yang lebih muda. Apalagi Rangga kan anak bungsu, sama kayak adek. Pasti sama-sama egois dan manja."

"Jadi kamu maunya yang kayak gimana? Ditawarin anak orang kaya nggak mau. Pengusaha travel yang sudah mapan ogah. Penyanyi emoh. Mahasiswa muda juga ogah." Gibran ikutan pusing memikirkan calon buat adik semata wayangnya ini.

"Adek itu maunya cowok yang ganteng, seksi, setia, humoris, bertanggung jawab, baik, ramah, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan yang terpenting bisa membuat hati adek selalu deg-degan sekaligus nyaman saat bersama dia." Tiba-tiba sebuah sosok masuk ke dalam pikiran Gladys. Astaga, kenapa dia bisa masuk ke dalam pikiranku, omel Gladys dalam hati.

"Kalau gitu adek kawinnya sama pangeran dari negeri dongeng aja. Mana ada cowok hampir sempurna kayak gitu. Atau adek cari kodok aja gimana?"

"Kok kodok, Bang?" tanya Cecile bingung.

"Iya Mi, KODOK. Kalau sudah ketemu, suruh adek cium tuh kodok. Siapa tau dia itu pangeran yang dikutuk oleh penyihir jahat."

"Abaaaang... kok jahat banget sih nyuruh adek cium kodok. Bisa pingsan deh adek." Omel Gladys. "Nggak ada pilihan hewan lain? Misalnya kucing gitu?"

"Adek tuh halu banget nih. Sudahlah adek ikutan aja apa kata mami. Biar mami yang cariin jodoh buat adek."

"Nggak mau! Adek mau cari sendiri, Bang. Itu sudah keputusan final. Mami nggak usah ikut repot mencarikan aku kencan."

"Itu kan memang tugas Mami sebagai orang tua. Pokoknya mami akan tetap mencarikan jodoh buat kamu. Kalau dalam dua bulan ini kamu belum dapat pasangan. Kamu siap-siap menikah sama calon pilihan mami."

Dengan kesal Gladys berdiri dari kursi makan dan meninggalkan ruang makan dengan kaki dihentak-hentakan karena kesal. Gibran hanya angkat bahu melihat sikap adiknya. Demikian juga Cecile yang hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah si bungsu.

"Adikmu terkadang seperti anak kecil, Bang." Ucap Cecile seraya menghela nafas.

"Bukan terkadang lagi, Mi. Tapi hampir tiap hari dia begitu." sahut Gibran. "Mami beneran mau menjodohkan dia dengan Calvin? Kalau menurut Abang sebaiknya jangan deh. Benar apa kata adek, Calvin tuh bejat banget. Teman-teman abang yang sering clubbing sering ketemu dia, gonta ganti cewek, minum. Pokoknya parah."

"Lalu gimana dengan permintaan eyang, Bang?" tanya Cecile bingung.

"Mami kasih waktu ke adek untuk mencari sendiri pasangannya. Nanti kalau kelihatannya adek nggak bisa menemukan calon, baru deh mami yang cariin."

"Atau kita jodohin sama Rico aja? Sebenarnya mami agak berat menjodohkan dia dengan duda cerai model Rico. Apalagi punya anak. Pasti bakalan ribet deh sama urusan mantan istri dan anak."

"Mami siapkan aja calon yang sesuai dengan kriteria mami yang sekiranya bisa menjadi suami yang baik buat adek. Begitu kelihatan adek susah cari calon, mami masuk deh dengan calon yang sudah mami siapkan." usul Gibran. Cecile manggut-manggut mendengar usulan anak keduanya ini.

"Kamu kadang-kadang pintar juga ya bang."

"Kok kadang-kadang. Gibran kan selalu pintar. Anaknya mami Cecile dan papi Praditho gitu lho. Keturunan bibit unggul. Lagipula abang nggak pintar, mana mungkin dokter Vania mau sama abang."

"Huuu.. kepedean kamu, Bang."

"Bukan kepedean tapi emang beneran pede, Mi." sahut Gibran sambil menarikturunkan alis menggoda sang mami.

"Kamu dan abangmu juga bantu cariin calon buat adekmu ya. Mami khawatir dia menganggap enteng permintaan eyang. Kamu tahu kan bagaimana keras kepalanya adekmu itu. Nggak akan mudah menemukan orang yang bisa menaklukkan dia."

"Iya, tenang saja Mi. Gibran dan bang Ghiffari pasti akan bantu. Gladys kan adek kita satu-satunya. Kita juga mau yang terbaik buat dia. Tapi mami juga harus bisa menerima calon pilihan dia, ya." Pinta Gibran. "Mami dan adek kan sama keras kepalanya."

"Kamu ini, masa maminya dibilang keras kepala."

"Mamimu itu memang keras kepala," ucap Praditho yang baru saja pulang dari kantor. "Tapi sifat itu yang bikin papi penasaran dan ingin menaklukkan mami."

"Schatz sudah pulang?"

"Ya sudah tho diajeng. Kalau belum pulang masa aku ada disini. Kalian asyik ngobrolin apa sih, sampai papi kasih salam nggak ada yang jawab."

"Wa'alaikumussalaam..." jawab Cecile dan Gibran bersamaan.

"Telat ah. Diajeng, gimana kondisi mami, Maaf aku belum sempat ke rumah sakit  Meeting dengan orang kementrian ternyata memakan waktu lama. Setelah itu dilanjut meeting dengan para manajer regional."

"It's okay schatz. Aku tadi sudah bilang sama mami kalau kamu sedang sibuk banget. Mami kondisinya ya begitu deh. Maklumlah sudah usia juga." jawab Cecile sambil menyediakan minuman hangat untuk suaminya. Walaupun memiliki beberapa asisten rumah tangga, Cecile selalu menyempatkan diri menyiapkan makanan dan minuman untuk suami tercintanya.

"Tadi jadi ditemani oleh Gladys?"

"Jadi."

"Lalu?"

"Papiiii... masa adek disuruh eyang untuk menikah dalam waktu enam bulan ini." Gladys yang sudah terlihat segar menghampiri Praditho dan menyender manja di bahu sang papi. "Papi tahu kan kalau adek belum mau menikah. Adek masih ingin mengembangkan usaha butik dan cafe."

"Huu.. dasar manja." ledek Gibran.

"Biarin. weeek... bilang aja kalau bang Gibran ngiri karena nggak bisa kayak gini ke papi." Balas Gladys tak mau kalah.

"Ya nggak papa kan dek. Umur kamu kan sudah cukup matang buat menikah. Kamu kan nggak perlu menunda dengan alasan harus mencari nafkah dan sebagainya. Kehidupan kamu sudah terjamin. Kamu punya pekerjaan yang cukup mapan dengan mengelola butik dan cafe. Kalau alasan kamu masih belum puas traveling, kamu bisa lakukan bersama pasanganmu nanti." Bukannya membela putri semata wayangnya, Praditho malah setuju dengan keinginan ibu mertuanya.

"Papi kok malah mendukung eyang sih?" tanya Gladys kesal. "Papi kan seharusnya mendukung adek."

"Dek, kamu bukan anak kecil lagi. Sudah saatnya kamu mulai memikirkan masalah berumah tangga. Papi dan Mami nggak selamanya ada untuk menjaga adek."

"Papi kok gitu ngomongnya?"

"Saran papi, kamu mulai deh secara serius mikirin masa depan kamu."

"Pekerjaan itu kan untuk masa depan adek juga, Pi. Adek nggak mau pendidikan yang sudah ditempuh menjadi sia-sia."

" Ah, kamu mah memang paling pintar cari alasan Dek. Tanpa kamu perlu bekerja banting tulang hidup kamu itu sudah terjamin." sela Gibran. "Lagipula dengan menikah kamu bisa belajar untuk tidak egois dan manja lagi."

"Aaah.. kalian semua menyebalkan." sentak Gladys kemudian pergi meninggalkan yang lain.

"Schatz.. gimana ini?"

"Mami papi nggak usah khawatir. Besok juga adek akan baik lagi. Biasa kan dia ngambek begitu." ucap Gibran menenangkan kedua orang tuanya.

⭐⭐⭐⭐