Hari pelepasan siswa kelas XII SMA Sultan Jaya telah tiba, yaitu hari yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa ketika selesai menempuh tingkat pendidikan. Dekorasinya sangat mewah, meskipun acaranya berada di dalam lingkungan sekolah, tepatnya sangat mirip acara di hotel. Hampir seluruh siswa yang sekolah di sana berasal dari keluarga berada. Dapat dimengerti secara namanya saja Sultan Jaya, tentunya banyak uang dan sekolah tersebut termasuk salah satu Sekolah Menengah Atas yang bergengsi di Jakarta. Banyak sekali prestasi yang di raih oleh siswa SMA Sultan Jaya, sehingga tak mudah pula untuk bisa menjadi bagian dari siswa di sekolah tersebut, meskipun memiliki banyak uang. Sistem seleksinya sangat ketat dan jumlah siswanya terbatas.
"Hai Mentari! Hari ini, kamu terlihat jauh lebih cantik dari biasanya," sapa salah satu anggota OSIS sekaligus fans Mentari.
Mentari Angelina, biasa dipanggil Mentari, yaitu salah satu siswa SMA Sultan Jaya yang memiliki paras wajah paling cantik, kaya, dan berprestasi, sehingga dia selalu dibanggakan dan kerap diidamkan oleh banyak orang. Hari ini, dia memakai kebaya berwarna putih dibalut baju toga dengan heels setinggi 5 cm membuatnya terlihat sempurna. Riasan wajahnya sangat natural, sehingga membuatnya terlihat elegan, seperti wajah remaja pada umumnya. Sebab, jika make up tidak sesuai umur, maka pesan yang ditimbulkan akan terlihat tua. Rambutnya dikepang membentuk sanggul dengan hiasan mutiara kecil yang membuatnya terlihat imut.
"Kak Mentari terlihat cantik banget, wajah dan senyumnya terlihat memancarkan cahaya sebagaimana seperti arti namanya," puji adik kelasnya dari jarak jauh, akan tetapi Mentari masih bisa mendengarnya. Dia hanya tersenyum saja ketika mendapatkan pujian karena memang pada dasarnya sering dipuji membuatnya sampai merasakan biasa saja.
"Bro, lihat tuh macam bidadari yang turun dari surga."
"Iya sih, tapi setelah kelulusan ini gue nggak akan bisa melihatnya lagi, mungkin hanya virtual ataupun tidak sengaja bertemu di mana gitu, huft!"
"Oh, jadi itu namanya Kak Mentari yang katanya menjadi incaran banyak laki-laki di sekolah ini? Wajar sih karena dia memang cantik, tapi tetap saja masih cantikan gue."
"Iri banget jadi orang, di mana-mana cantik itu diakui bukan mengakui!"
Seperti itulah ucapan beberapa temannya yang entah Mentari sendiri tidak tahu siapa nama mereka. Banyak sekali pujian yang hari ini dia dapatkan dan tentunya ada pula yang menghujatnya. Namun, Mentari tidak mempermasalahkan hal itu selama tidak keterlaluan maupun sampai berhubungan dengan fisik. Dia sadar bahwa setiap manusia itu tentunya memiliki karakteristik sifat yang berbeda. Di sini posisi Mentari harus menjadi orang cuek saja agar tidak sakit hati.
Beberapa kali Mentari merespon pujian yang diucapkan orang lain dengan senyuman manis dan ucapan terima kasih. Kini dia sedang dikelilingi oleh beberapa temannya untuk diajak foto, mayoritas dari mereka adalah laki-laki. Dia sudah mirip artis terkenal dan dengan senang hati dia menerima ajakan tersebut.
"Kak Mentari, selamat ya telah lulus dengan nilai terbaik," ucap Rani, anak kelas X.
"Bagaimana kamu tahu?" Tanya Mentari bingung karena memang pada awalnya dia tidak tahu dan harus berbuat apa.
"Apasih yang aku nggak tahu tentang Kakak," jawab Rani lalu meninggalkan Mentari begitu saja.
Mentari menghela napas, lagi pula dia tidak terlalu peduli mengenai nilainya dan sampai saat ini, nilai yang dia dapatkan selalu dianggap sebagai orang hoki saja mengingat kalau dirinya seringkali cuek dan bahkan tidak pernah belajar di rumah. Semuanya memang selalu dadakan. Nah, parahnya lagi karena memang sering merasa malas dan tidak ingin sekolah. Jadi, dia tidak pernah berekpektasi mendapatkan nilai tinggi. Kali ini dia juga merasa aneh ketika mendapatkan ucapan selamat dari adik kelasnya.
"Kak, boleh minta foto bareng?" Tanya salah satu anggota OSIS yang entah Mentari sendiri tidak tahu siapa namanya. Wajahnya terlihat cukup ganteng, akan tetapi soal penampilan terlihat cupu menurut versi selera Mentari.
"Boleh," jawab Mentari agar tidak dinilai sombong oleh orang lain, toh cuma diajak foto tidak akan merugikan dirinya. Mereka berdua selfi dengan senyum lebar melihatkan gigi putih rapi.
"Terima kasih, Kak."
"Sama-sama."
Tak lama kemudian sahabatnya pun datang dengan senyuman menyambut kebahagiaan, mereka bernama Sindi, Maya, Rendi, dan Rafli. Mereka adalah sahabat Mentari semenjak duduk di bangku SMA. Mereka selalu kompak dan selalu bersama ketika jam istirahat telah tiba, meskipun beda kelas. Bukan ketenaran yang dimiliki oleh Mentari saja, melainkan mereka juga dikenal oleh kalangan siswa Sultan Jaya karena paras wajah dan kekayaan. Mereka merentangkan kedua tangan untuk menyabut pelukan kebahagiaan.
"Mentari, gue nggak menyangka banget kalau kita berlima bisa masuk bersama dan keluar bersama yang berawal bertemu tanpa kesengajaan," kata Maya sambil memeluk Mentari, setelah itu disusul Sindi, sedangkan Rendi dan Rafli cukup tersenyum saja.
"Iya nih, gue juga nggak menyangka," sahut Sindi.
Mentari melepaskan pelukan mereka lalu menatapnya dalam. "Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik."
"Terima kasih kembali Mentari," jawab mereka bersama.
"Hm, ngomong-ngomong hari ini lo terlihat cantik banget," puji Rendi.
"Terima kasih atas pujiannya, tapi kalau soal itu sudah dari dulu."
"Kalau suka Mentari pepet terus saja kali, nggak usah dipendam seperti itu. Gue tahu kok kalau lo sebenarnya suka sama Mentari," sindir Maya tanpa menatap wajah Rendi.
Rendi hanya bisa tersenyum kecut mendengar sindiran teman-temannya, lalu dia pun berkata, "Mana mungkin aku bisa sama Mentari. Kalian tahu sendirilah selain selera Mentari yang sangat tinggi, kita sudah berjanji untuk tidak ada hubungan percintaan dalam persahabatan."
"Iya juga, okelah nggak apa-apa yang penting lo bisa cepat move on dan dapat yang baru, bukan seperti Mentari, cantik-cantik jomblo seumur hidup," cibir Sindi lalu membuat sahabatnya tertawa.
"Kampret!" Umpat Mentari mendelik kesal ke arah sahabatnya.
Gelak tawa mereka terdengar keras di lapangan dan tentunya mereka menjadi pusat perhatian. Hanya bermodal terlalu percaya diri saja membuat mereaka tidak punya malu. Semakin menjadi pusat perhatian maka mereka semakin bangga. Kalau bisa malah ingin seperti kehidupan artis yang selalu mengunggah foto maupun video mengenai kegiatan sehari-hari.
Mereka berlima juga sudah berjanji untuk tidak ada yang terjebak percintaan dalam persahabatan. Suatu hubungan percintaan tidak akan ada yang mulus seperti jalan tol, tapi cinta adalah sebuah rasa dan pengorbanan yang bagaikan pendakian untuk mencapai puncak keindahan. Di dalam prosesnya itu ada beberapa rintangan yang harus dilalui. Selain itu, cinta juga terdapat kepercayaan yang harus dijaga karena ibaratnya barang yang pecah jika disusun kembali hasilnya tidak akan mulus, tentu masih ada bekas-bekas retakan. Oleh karena itu, mereka tidak ingin kedua hal tersebut menjadi perusak suatu hubungan persahabatan. Jika dilihat dari sebuah masalah pasti akan dinilai siapa yang salah dan siapa pula yang benar. Mereka tidak ingin dalam hubungan persahabatannya ada hal yang menuntut untuk menyalahkan dan membenarkan.
"Lo sadar diri nggak sih? Di umur lo yang sudah delapan belas tahun ini masih saja jomblo," ejek Maya.
"Makanya jangan sibuk mencari yang sempurna. Tidak ada manusia yang sempurna karena kita diciptakan untuk saling menyempurnakan," sahut Sindi.
"Terserah gue dong karena gue memiliki hak untuk memilih," kata Mentari masih bersih keras mempertahankan impianya.
Pikiran Mentari selalu berkhayal untuk mendapatkan pasangan kaya, ganteng, dan terkenal, sebagaimana yang telah diceritakan dalam dunia novel. Hobinya membaca novel, bahkan satu buku pun bisa diselesaikan membaca dalam jangka waktu 2-3 hari. Dari hal itulah dia selalu yakin bahwa dirinya pasti bisa mendapatkan kriteria yang ada di dalam novel tersebut mengingat bahwa dirinya memang cantik, kaya, dan pintar. Bisa dikatakan bahwa dia seringkali halu. Batinnya selalu meyakinkan Mentari bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika sudah menjadi takdir.
Maya dan Sindi saling menatap lalu mereka berdua mengendikkan bahu. Tangan kanan Sindi menyenggol bahu Maya sebagai bentuk memberikan kode. Sebagai sahabat, hanya dengan senggolan saja sudah membuatnya langsung paham, sehingga mau tidak mau maka Maya pun yang memutuskan untuk angkat bicara.
"Maaf nih bukannya mau nyinggung, Mentari. Kita Cuma mau mengingatkan bahwa diri lo jangan sampai menyesal ketika ada orang baik yang datang dan lo malah sia-siakan orang tersebut," ujar Maya sedikit gemetar takut kalau Mentari akan marah.
"Sudahlah nggak usah dibahas. Oh iya, aku punya sesuatu buat kalian," kata Rafli lalu tangannya merogoh saku jasnya untuk mengeluarkan beberapa barang. "Gelang ini buat kalian."
"Tumben banget lo ngasih kita seperti ini?" Tanya Rendi ketika menerima gelang tersebut.
"Buat kenang-kenanganlah karena setelah ini, kita akan melanjutkan ke universitas yang berbeda. Kita akan dipisahkan oleh jarak dan dengan gelang inilah akan selalu membuat kita merasa dekat," jawab Rafli.
"Terima kasih, hari ini lo romantis banget," ucap Sindi.
"Gue dari dulu memang romantis kali, buktinya cewek gue banyak." Bukannya merasa malu karena memiliki banyak pasangan, dia malah tersenyum bangga seakan dirinya adalah orang yang paling ganteng.
Sahabatnya hanya memutar bola matanya malas. Mendengar ucapan Rafli yang membanggakan diri bukanlah hal yang asing lagi. Mereka sudah sahabatan sejak lama, sehingga mereka sudah mengetahui sifat sahabatnya masing-masing. Tak jarang pula mereka saling mengingatkan ketika ada yang bertingkah di atas kewajaran.
"Sudahlah lebih baik kita ke aula sekarang karena sepuluh menit lagi acaranya akan dimulai!" Ajak Maya disetujui oleh sahabatnya.
Mereka berlima berjalan beriringan menuju ke dalam aula untuk menempati tempat duduk di barisan depan agar bisa leluasa menonton acara. Banyak pasangan mata yang menatap mereka kagum. Persahabatan berjumlah ganjil bukanlah suatu penghalang bagi mereka. Tidak ada yang mengabaikan dan sibuk dengan urusannya masing-masing, mereka bisa menghargai satu sama lain, terutama disaat ada yang berbicara maka mereka memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik.
Tak lama kemudian, acara pun sudah dimulai. Orang tua dari siswa pun sudah banyak yang datang untuk mendampingi masing-masing anaknya wisuda. Namun, hati Mentari mulai gusar dan wajahnya terlihat panik. Sesekali dia menengok ke arah belakang menunggu kedatangan orang tuanya yang tak kunjung datang, padahal mereka sudah berjanji untuk datang tepat waktu. Sesekali dia juga mengecek handphone untuk mengecek notifikasi, akan tetapi tidak ada notifikasi dari kedua orang tuanya. Mentari sudah mengirim pesan dan menghubungi berkali-kali, tapi tidak ada jawaban.
"Mentari, sudah ada kabar dari Ibu kamu belum?" Tanya Maya.
"Belum ada, padahal mereka sudah janji mau datang tepat waktu. Semakin lama aku semakin merasa kesal sama Ayah dan Ibu karena dia selalu saja melupakan aku hanya demi pekerjaannya, padahal ini salah satu momen yang sangat penting, huft!" Keluh Mentari menahan marah.
"Sabar ya, paling sebentar lagi datang kok," kata Sindi lalu tangan kanannya mengusap pundak Mentari berusaha untuk menenangkan.
Mentari tidak menjawab, dia hanya menghela napas lalu menunduk lesu. Lagi-lagi harapannya dihancurkan oleh orang tuanya sendiri. Dia menatap ke arah panggung lalu berkata, "Ternyata hal yang mudah membuat sakit adalah terlalu menaruh harapan kepada seseorang, meskipun dia adalah orang yang sangat berarti bagi hidup gue."
"Mentari jangan ngomong seperti itu dong, dia kan orang tua kamu."
Belum sempat Mentari menyangkal ucapan Sindi, handphonenya berdering. Kedua matanya binar ketika melihat nama ibunya terpampang di layar handphone. Antara senang dan kesal, akhirnya dia memutuskan untuk marah-marah terlebih dahulu. Jari jempolnya mengusap layar tersebut untuk menjawab panggilan. Belum sempat mengucapkan satu kata pun, lagi-lagi dia dibuat hancur ketika mendengar suara isak tangis ibunya.
"Hiks, Ayah kamu kecelakaan, kakinya harus diamputasi, dan rumah kita telah disita," kata Rena dari telephone.