webnovel

Selamat Pagi Mentari 3

Setiap jangka kaki yang menapak di jalan membuat pikiran Mentari terus terpaku dan sadar betapa pentingnya bersyukur dalam menjalani kehidupan. Dia ingat betapa tidak bersyukurnya dirinya dulu saat hidup bergelimang harta. Segala keinginannya harus terpenuhi, bahkan dengan cara dipaksakan, meskipun terkadang apa yang diinginkannya itu merupakan barang yang dirinya sudah punya. Pada saat inilah dia sadar bahwa dirinya adalah seseorang yang tidak pernah merasa cukup karena terlalu memandang ke atas hingga lupa terhadap orang yang ada dibawahnya. Selain itu, penyesalan yang selalu datang di akhir membuat dirinya terus merasa bersalah dan ingin mengulang apa yang telah terjadi, meskipun dia sadar bahwa hal tersebut sangat tidak mungkin. Kalaupun bisa hanya dengan cara lewat mimpi. 

Mentari menatap beberapa warung makan maupun cafe penuh dengan pengunjung. Seketika dia teringat ketika di waktu siang hari seringkali menghabiskan waktunya di rumah makan maupun cafe yang mahal karena sifat gengsi dan ingin dipandang orang lain paling terlihat wow. Disaat seperti inilah dia sadar bahwa anggapan dari orang lain tersebut tidak ada satupun yang bisa membantunya saat ini, justru malah akan ada kemungkinan besar seseorang akan menertawakannya. Hal tersebutlah salah satu alasan mengapa keluarganya memutuskan untuk pindah dari daerah perkotaan. Setidaknya bisa meminimalisir rasa tersinggung yang berujung sakit hati. 

Selain itu, Mentari merasa rindu kepada sahabatnya yang entah sampai saat ini tidak ada kabar dan bahkan dia sendiri juga takut untuk menghindarinya karena takut akan dianggap rendah oleh orang lain. Terkesan mengerikan ataupun mengenaskan, akan tetapi bahwa hal itulah buktinya. Cukup keluarganya dan tetangga barunya saja yang tahu karena menjadi topik pembicaraan tidak seindah yang diinginkan oleh seseorang, terutama dalam hal keburukan.

"Enak banget tinggal duduk manis, pesan, dan makanan pun akan datang sendiri, bahkan makanannya enak pula," kata Mentari sambil memegangi perutnya menggunakan tangan kanan. 

Kedua mata mentari menyapu lingkungan yang ada disekitarnya. Dia sadar diri bahwa dirinya tidak bisa terus-terusan meratapi nasibnya. Tepat pada perempatan jalan terdapat penjual bakso dan  mie ayam. Senyum di bibir Mentari kembali terbit. Uang yang dia bawa pas-pasan membuatnya tidak bisa bebas makan makanan yang dirinya inginkan. Mulai sekarang dirinya hidup dalam lingkungan keluarga yang butuh betul mengenai perincian biaya. Bukan karena pelit, hanya saja sedang dalam periode hemat karena keluarganya sekarang ini sudah jatuh miskin.

"Huft, aku harus bisa lebih sabar. Lagipula makan bakso maupun mie ayam bisa membuat perut kenyang," ujar Mentari lalu tersenyum menatap gerobak berwarna biru dengan tenda kecil yang berada didalamnya. 

Tanpa pikir panjang, mentari langsung menuju ke penjual tersebut. Tak lupa pula senyum manis yang terus menghiasi bibirnya. Di balik senyuman seseorang belum tentu senyuman tersebut bentuk kebahagiaan. Hanya saja senyuman adalah topeng dari berbagai perasaan. Selain itu, senyuman akan membuat orang-orang yang berada di sekitar akan merasakan kenyamanan. Tidak semua orang juga harus tahu setiap masalah yang terjadi pada orang lain. 

"Bang, bakso satu ya, kuah putih dan jangan kasih mie," pinta mentari ketika berada di depan gerobak. 

Asap yang keluar dari panci menggugah selera makan Mentari. Bahkan perutnya saja sedikit keroncongan. Aroma bakso benar-benar menusuk indra penciumannya. Secepat mungkin dia sadar bahwa dirinya tidak boleh berekspresi seperti tadi di depan penjual, bisa-bisa malah membuat diri sendiri malu. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke dalam tenda. 

Kali pertama masuk ke dalam tempat tersebut membuatnya terkejut. Pasalnya dia baru sadar dan tahu bahwa di dalam tenda sudah penuh, bahkan terlihat tidak muat, sehingga beberapa pembeli ada yang saling bersenggolan. Nah, yang lebih lucu saat mereka tidak marah dan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ternyata bukan cafe yang ramai, akan tetapi warung di pinggir jalan pun sama. Jika dilihat dari sisi pengunjung rupanya di luar dugaan. Banyak beberapa pembeli yang sudah antre makanan. Hanya saja suasana di dalam tenda agak panas. Mungkin karena tempatnya hanya pakai tenda biasa dan berada di pinggir jalan. Selain panas dari sinar Matahari, udara yang bercampur asap kendaraan bermotor pun sedikit menambah suasana panas. Mungkin beda lagi kalau tempatnya banyak pepohonan pasti akan terasa sejuk. 

"Mbak, kenapa berdiri di situ saja?" Tanya pelayan ketika membawa beberapa gelas berisi es campur dan es teh manis. 

Pandangan Mentari beralih menuju ke seseorang tersebut. Dahinya membentuk gelombang-gelombang kecil. Dia menatap lekat pelayanan tersebut. Terutama keringatnya yang terus mengalir membasahi pelipisnya. Dia hanya berpikir bahwa pelayan tersebut pasti sudah sangat lelah melayani pembeli yang terus semakin ramai dikarenakan hari sudah menunjukkan pada waktu makan siang. 

"Jangan bengong, Mbak, nggak baik loh!" Tegur pelayanan tersebut. 

"Eh, iya," sahut mentari dengan senyumnya yang saat ini benar-benar disuguhkan untuk orang lain sebagai bentuk rasa hormat.

"Jangan sungkan-sungkan maupun malu. Ingat ya, Dek, bahwa pembeli adalah raja, tapi bukan untuk seenaknya sendiri."

"Ngapai masih disitu? Sini duduk di sebelah saya!" Ajak salah satu pembeli yang berada di barisan tengah-tengah. "Tempat yang kamu berdiri di situ digunakan untuk lewat penjual. Jadi, jangan berdiri di tengah jalan, menyusahkan orang lewat saja."

Mentari hanya tersenyum kecut. Apa yang dikatakan orang tersebut juga masih ada benarnya dan dia pun agak sedikit malu karena sekarang menjadi pusat perhatian. Sudah lama Mentari tidak merasakan hal tersebut, meskipun sebenarnya baru beberapa kali saja karena pujian adalah makanannya tiap hari. 

"i-iya," sahut Mentari sedikit terbata-bata. Dia pun melakukan apa yang tadi sudah menjadi teguran bagi dirinya sendiri. 

Mentari duduk di sebelah laki-laki berjenggot dengan hidung mancung. Pawakan orang tersebut tinggi dan berisi. Di usianya yang sudah tua malah terlihat muda di mata Mentari. Kedua mata Mentari menatap lekat wajah laki-laki tersebut. Dari cara makannya bisa disimpulkan bahwa laki-laki tersebut sedang kelaparan. Mentari tidak akan mempermasalahkan hal tersebut karena dia sadar bahwa seseorang yang datang ke warung makan tentunya ada rasa lapar.

"Kau tau, Nak? Mie ayam bakso di sini sangat enak. Harga terjangkau dan rasa tidak kaleng-kaleng," kata laki-laki tersebut ketika sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh orang lain.

"Ah, iya, Pak," sahut Mentari lalu tersenyum sopan.

"Saya tahu kok bahwa kamu sedang sedih dan kali pertama mengunjungi tempat ini."

"Apa?" Tanya Mentari pura-pura tidak dengar, padahal dia tahu segalanya terhadap apa yang tadi diucapkan oleh orang tersebut.

"Tidak," jawab orang tersebut lalu lanjut melahap bakso berukuran kecil. Tatapannya masih tertuju ke arah Mentari. "Nama kamu siapa?"

"Mentari."

"Nama yang sesuai dengan nasib kamu," ujar laki-laki tersebut membuat Mentari membulatkan kedua matanya.

"Maksudnya?" Tanya Mentari. 

"Tanpa saya beritahu pun kamu sudah tahu jawabannya. Selamat berjuang dan kuatkan mental."