webnovel

Menara Cinta

Sejak kecelakaan itu terjadi.. Seiring berjalannya waktu hidup Sasya berubah. Sasya tak memikirkan lagi masa lalunya! Karena Sasya tak bisa mengingat semuanya. Karena jika Sasya mengingat hal itu. Hanya akan menambah luka di hatinya! Yang Sasya tau, kegelapan serta kedinginan dan Kesepian.

Kazuma_Hans3139 · 都市
レビュー数が足りません
88 Chs

Aku Menemukan Mu

Bryan sudah berlari jauh kedalam hutan, saat ia ingin melangkah.

"BRYAAAN!!" Teriakan seorang gadis..

"Tolong aku hiks...hiks.."

Bryan melihat ke sumber suara, meski hujan. Matanya menatap tajam sekeliling, tatapannya tertuju pada sosok di bawah pohon.

Segera berlari, Bryan bahkan sempat terseok dan tergelincir karena licin.

"Sasya.." panggil Bryan setelah berjongkok didepan sosok tadi.

Sasya yang mendengar suara Bryan segera mengulurkan tangan. Bryan memeluk gadis itu erat.

"Maaf... maafkan saya." Ucap Bryan berulang-ulang. Ia menyesal sudah meninggalkan Sasya dirumah.

"Kamu dateng... Bry.." isakan Sasya lolos. Ia memeluk erat Bryan. Sampai sakit di kepalanya kembali terasa.

"Maaf saya telat." Bisiknya lirih. Bryan mengecup puncak kepala Sasya berkali-kali. "Kita pulang yah?"

Bryan merasakan lengan Sasya memeluk lehernya erat, "Kaki aku sakit." Dengan tenang, Bryan menggendong Sasya.

"Bryan.. Sharon.. dia.."

"Sst... saya tau. Kamu gak perlu takut lagi. Saya janji kejadian ini gak akan keulang."

Dengan nyaman Sasya menyandarkan kepalanya di pundak Bryan, rasa pusing kembali menyerangnya. Tapi Sasya berusaha untuk tetap terjaga. "Aku takut.. aku pikir kamu gak bakalan dateng."

Langkah lebar Bryan membuat mereka cepat sampai menuju rumah pria itu. Bryan melirik gadis yang tengah ia gendong. "Itu tidak mungkin, saya pasti dateng. Saya pasti cari kamu."

Gladys menghampiri mereka ketika sudah melewati gerbang.

"T-tuan.. Nona.." ucapnya sedikit terkejut mendapati Sasya yang penuh luka.

Karena penerangan yang cukup terang, Bryan bisa melihat beberapa luka di wajah Sasya. Melihatnya saja, emosi Bryan naik seketika.

"Gladys, hubungi Lian. Suruh dia ke sini." Titahnya.

Gladys mengangguk patuh, sebelum tubuh kecilnya berlari menuruti perintah.

"Karena saya pergi kamu jadi begini."

Sasya menggeleng. Ini bukan kesalahan Bryan.

"Dia yang salah.. kamu gak salah Bry.."

Mereka masuk kedalam rumah, Bryan menatap dingin wajah Sharon yang penuh dengan ketakutan.

"Kamu mandi dulu, baru setelah itu diperiksa." baru saja Bryan ingin keluar dari kamar mandi tangan  Sasya terulur untuk mencegahnya.

Wajah Sasya memerah, ia masih trauma dengan kejadian tadi siang. Bukan tidak mungkin jika pelayan Bryan tak suka padanya. "Jangan pergi. Aku mohon."

Bryan menghela nafas, "Tapi kamu harus mandi Sya."

"Kalo gitu kamu mandiin aku!" Seru Sasya cepat. Bryan sampai tertegun sebentar.

"Bryan... aku.. masih trauma dengan pelayanmu. Mereka.."

"Saya akan mandiin kamu." Bisik Bryan tepat di telinga Sasya.

Sebelum itu, Bryan beranjak mengambil dua jubah mandi untuk mereka. Dengan hati-hati Bryan melucuti baju yang dipakai Sasya. Ia menahan napas saat menemukan luka baru di tubuh gadis itu. Menurunkan pandangan, Bryan mengusap pelan kaki Sasya yang tampak bengkak.

Sasya meringis, ia mencengkeram lengan Bryan. Pria itu cukup murka mendapati luka didahi Sasya, dan sekarang kaki, perut juga pipi gadis itu..

Bryan tak bisa memaafkannya! Dengan cepat ia menghubungi Farrel.

"Farrel! Cepat kurung Sharon di bawah tanah. Sekarang juga!" Perintahnya mutlak. Ia melempar ponselnya saat setelah mematikan sambungan telepon.

Bryan mengisi air di bath up, ia mencampurkan aroma lavender kesukaan Sasya. Sebelum ia mendudukkan Sasya disana. Dengan penuh hati-hati Bryan membersihkan tubuh Sasya yang kotor. Tak lupa ia membasuh rambut Sasya.

Setelah selesai memandikan Sasya, kini gilirannya yang mandi.

Sasya keluar dari kamar mandi, ia menyeret kaki kirinya yang bengkak. Sasya sadar,  ini bukan kamarnya. Tapi kamar Bryan. Aroma Bryan sangat pekat disini.

"Nona Sasya.." tanpa sadar Sasya mundur setelah mendengar suara orang lain di kamar Bryan.

"Bryan!!!" Teriaknya penuh ketakutan. Sedang pelayan itu bingung dengan respon Sasya.

"N-Nona tenang.. saya cuma mau.."

"Sya kenapa kamu teriak?" Bryan muncul dari kamar mandi. Menatap Sasya yang ketakutan, ia menyuruh pelayannya keluar.

"Dia cuma mau bantu kamu pake baju." Jelas Bryan.

Menggeleng, Sasya menolak pernyataan Bryan. "Nanti mereka jahatin aku lagi."

Menghela nafas, Bryan mendekati Sasya. "Kamu percaya sama saya?" Tanyanya lembut.

Sasya mengangguk cepat.. "Hanya kamu Bryan."

Trauma yang membuat Sasya begini, Bryan paham. Ia maklum. "Nanti saya suruh Gladys saja." Sebelum mendengar penolakan Sasya, Bryan kembali bersuara. "Dia masih kecil, baru tiga belas tahun. Dia gak jahat."

Sasya mengangguk, baiklah. Untuk kali ini saja. "Tapi..."

"Apa lagi hm? Kamu lagi gak ngedoga saya kan sayang."

Terkejut, segera Sasya menggeleng. "Gak!"

.

.

Keadaan Sasya jauh lebih baik ketimbang saat Bryan baru menemukannya satu jam lalu. Luka-luka itu sudah diobati, Sasya sekarang tengah berbaring di ranjangnya.

Gadis itu bahkan menolak tidur dikamarnya sendiri. Meskipun Bryan tidak keberatan Sasya meminta tidur disisinya.

"Sadis juga ya dia." Ujar Lian tiba-tiba.

Bryan menoleh, dan mengangguk membenarkan ucapan sang sahabat.

"Saya pikir dia orang baik,, tapi gak nyangka dia lakuin hal ini pada Sasya."

"Saya tau dia suka sama kamu." Ucap Lian jujur.

"Kamu nya aja yang gak peka."

"Kamu tau sendiri saya udah lama suka sama dia." Dahi Bryan berkerut, ia melirik sahabatnya.

"Tolong secepatnya kamu-"

"Saya sudah mendapatkannya, tinggal kamu urus Sasya siap atau nggak buat operasi. Pastikan dia jangan stres, saya takut kalau itu akan mempengaruhi jalannya operasi."

"Saya ngerti."

Percakapan mereka berakhir, Lian pamit untuk pulang.

Bryan mengunci pintu, setelahnya ia berjalan menuju ranjang. Berbaring di sisi Sasya. "Gak tidur kah?"

Sasya mendekat kearah Bryan, ia memeluk pria itu. "Kamu tau sendiri, aku gak bisa tidur kalo gak ada kamu."

"Kalo gitu, kamu nikah sama saya aja mau gak?" Bisik Bryan.

"Kamu bercanda ya?" Bukannya menjawab, Sasya malah bertanya balik.

Tiba-tiba saja, Sasya merasa benda lunak dan basah menyapu bibirnya.

Sasya tau, benda apa itu. Meski dirinya tak bisa melihat. Ia pernah merasakannya. Segera menghapus kilasan ingatan mantan pacar, Sasya memilih menyambut ciuman Bryan.

Ciuman yang begitu lembut dan memabukan. Berbeda yang didapatnya selama ini, ciuman kasar penuh nafsu.

Jelas saja, toh Sasya mendapatkan ciuman tersebut dari orang yang berbeda pula.

Bryan tak menyangka Sasya akan membalas ciumannya. Ia semakin memperdalam ciumannya, membelit lidah Sasya dengan penuh kehati-hatian.

Selama beberapa menit mereka melakukannya, Bryan melepaskan ciuman saat melihat Sasya membutuhkan oksigen.

"Saya anggap kamu mau nikah sama saya." Ia mengecup dahi Sasya lembut. Ia takkan melepaskan Sasya dari sisinya.

"Ta-tapi umur ku.."

"Bukannya kamu udah legal buat nikah? Usia pernikahan sekarang itu.. perempuan berumur enam belas tahun dan laki-lakinya sembilan belas."

"Jangan tinggalin aku." Sasya berbisik lirih. Bryan tersenyum tipis, ia semakin mengeratkan pelukannya.

"Gak akan pernah." Janjinya.

.

.

Sharon menatap tajam Farrel, lelaki didepannya ini berani-beraninya menyiksa dia.

"Ka-kau.. Farrel! Ahh! Hen-tikan brengsek!" Teriakan Sharon menggema di ruang bawah tanah.

Suara cambukan kembali terdengar, Sharon merasa seluruh tubuhnya mati rasa.

"Ini hukuman untukmu. Karena sudah berani menyakiti nyonya." Desis Farrel di telinga Sharon. satu cambukan keras mengakhiri hukuman gadis itu.

Ia menangis dalam diam, mengumpat kasar. "Sasya sialan!"

.

.