webnovel

3. Kebiasaan Melindur?

Ada keheningan saat Sera dan ibunya sarapan kali ini.

Sera pura-pura bersikap santai, tetapi matanya yang kuyu tak bisa luput dari tatapan Kina. Sejak tadi, ibunya itu terus memandanginya tanpa bersuara.

"Tubuhku akan penuh lubang jika Ibu terus menatapku seperti itu," ujar Sera akhirnya, tak tahan.

"Apakah saat ini aku masih harus menunggumu bercerita?" tanya Kina

Sera meringis. Ibunya kini memandangnya tak senang, lebih pada khawatir dan cemas. "Benar-benar tak ada yang terjadi, Bu. Aku hanya kurang tidur, itu saja."

Kina menyipit.

"Ibu ... percayalah...." Sera memelas. Bukannya ia tak ingin memberitahu ibunya. Hanya saja, ia tak tahu harus mulai dari mana. Haruskah ia mengatakan bahwa ia memimpikan seseorang yang tak pernah ia temui sebelumnya? Haruskah ia mengatakan bahwa ia bahkan bergerak dalam tidurnya, membuka pintu persis seperti yang ia lakukan dalam mimpinya? Akankah ibunya percaya?

"Apakah ada alasan bagiku untuk tidak percaya padamu?" tanya Kina tiba-tiba.

Sera terkesiap. Sial, kebiasaan menyuarakan isi kepalanya ini benar-benar tak bisa berubah! "Bukan begitu maksudku. Kurasa Ibu akan menertawakanku dan mengatakan itu adalah hal yang konyol."

Masih dengan ekspresi datar di wajahnya, Kina meletakkan sendok yang digenggamnya dengan kasar. "Aku ingat seseorang pernah berjanji padaku untuk tak menyembunyikan apa pun dariku."

Sera tertegun.

Dulu, dulu sekali, saat Kina mengetahui tentang penyakit ayahnya, wanita itu menyalahkan dirinya sendiri karena telah membenci ayahnya yang menunggalkannya selama bertahun-tahun. Saat itu ayahnya meninggalkan Kina yang masih duduk di bangku SMA, membuatnya kesulitan karena ayahnya sudah bersamanya sejak Kina masih belia. Kina tak hanya kehilangan sosok penjaganya, tetapi juga orang yang paling ia percayai dan yang paling ia cintai.

Alasan ayahnya meninggalkan Kina saat itu adalah karena penyakit yang dideritanya. Namun, lelaki itu tak memberitahu Kina dan meninggalkannya begitu saja. Sera dan ayahnya pindah ke Seattle, mencoba segala cara untuk menyembuhkan penyakitnya. Sayangnya, penyakitnya tak bisa disembuhkan. Pada akhirnya, Kina mengetahuinya dan menyalahkan dirinya sendiri karena sudah membenci ayahnya bertahun-tahun.

Hal itu pula yang membuat Kina kesulitan melepas kematian ayahnya. Meski wanita itu memutuskan untuk menikahi ayahnya dan menemaninya hingga ayahnya meninggal, penyesalan dan rasa cintanya pada ayah Sera membuatnya tak bisa membuka hati untuk pria lain.

Sera yang melihat penyesalan wanita itu kemudian bersumpah takkan melakukan hal yang sama seperti ayahnya. Ia bersumpah akan memberitahu Kina tentang semua hal, entah itu perasaan senang, sedih, ataupun kecewa.

"Ibu ... maaf, hmm?" Sera kemudian berdiri dan menghampiri wanita itu dan memeluknya. "Akan kuceritakan. Tapi berjanjilah tidak akan tertawa, oke?"

Kina hanya diam, tapi Sera tahu wanita itu setuju. Ia kemudian melepas pelukannya dan menarik kursi lalu duduk di sisi Kina.

"Aku selalu memimpikan orang yang sama sejak seminggu lalu. Anehnya, dia tahu namaku, bahkan berkata selalu mengawasiku." Sera mulai bercerita. "Tapi Ibu, aku yakin belum pernah bertemu dengannya di dunia nyata. Wajahnya sangat asing."

Mengernyit bingung, ibunya kemudian bertanya, "Dia tampan?"

"Sangat!" sahut Sera cepat, lalu menepuk bibirnya dengan gusar. Ia melihat Kina mengulas senyum geli. "Bukan itu masalahnya, Ibu!"

"Aku mendengarkan." Kina mengibaskan tangan, mengisyaratkan Sera untuk melanjutkan.

"Ada yang aneh setiap kali aku memimpikannya. Saat pertama kalinya aku bermimpi, kakinya penuh lumpur dan dia mencoba mendekatiku, tapi aku berteriak dan terbangun. Kukira itu hanya mimpi biasa, tapi aku menemukan jejak kaki berlumpur di lantai." Sera kembali bergidik saat mengingat pertama kalinya ia memimpikan lelaki pemuda itu.

Tubuh ibunya tiba-tiba menegang. Ia menatap Sera lekat-lekat. "Ini tidak lucu, Gadis Kecil."

"Aku tahu Ibu takkan mempercayaiku." Sera mendesah. "Tapi, Bu. Jika itu saja masalahnya mungkin tidak apa-apa. Tadi malam aku memimpikannya lagi. Aku berlari saat pria itu mencoba mendekatiku lagi lalu dia dengan panik menyuruhku bangun saat melihatku membuka pintu. Aku benar-benar terbangun, tapi tidak di kamar, melainkan di depan pintu ruang tamu! Ibu melihatku membersihkan tangga tadi, bukan? Di sana ada jejak kakinya!"

Hening. Alis Kina terpaut erat. Wanita itu memandangi Sera dengan pandangan tak percaya. Lebih tepatnya, terkejut.

"Ibu?" Sera mengerjap.

"Kau mulai melindur lagi?"

"Lagi?"

Hening kembali. Kina kemudian berdiri dan meraih tangan Sera, membawanya ke kamar lalu mendudukkannya di sisi tempat tidur.

"Ibu? Ada apa?" Sera bertanya bingung.

"Dengar, Gadis Kecil. Mulai sekarang, jangan tidur di sembarang tempat, jangan sembarangan membuka pintu saat kau sedang bermimpi." Kina mencengkeram kuat jemarinya, seolah takut Sera akan menghilang begitu ia melepasnya.

Sera mengernyit bingung saat mendengar ucapan ibunya. Wanita itu mengatakan hal yang serupa seperti yang dikatakan pemuda itu. "Aku tidak mengerti. Apa Ibu mengetahui sesuatu?"

Kina menggeleng. "Aku tidak tahu pasti. Yang jelas ketika kau masih kecil dulu, kau sering melindur. Ayahmu dan aku sering menemukanmu tertidur di ruang tamu atau bahkan di luar rumah. Aku tak tahu apa yang terjadi saat kita terpisah, tapi saat kita bertemu lagi, kebiasaan melindurmu sudah tidak pernah muncul lagi."

Sera berkedip beberapa kali. "Aku punya kebiasaan melindur?"

Kina mengangguk.

"Jadi begitu. Mungkin karena itulah aku merasa mimpi itu sangat nyata. Akan tetapi, Bu, bagaimana dengan jejak kaki yang kulihat di lantai kantor saat itu? Bagaimana dengan jejak kaki di tangga tadi?" Sera mengernyit lagi. Kebiasaan tidur sambil berjalan adalah hal yang langka, tetapi tidak dengan mimpi yang terbawa ke dunia nyata.

Itu ... cukup mengerikan!

Ibunya menggeleng. "Tidak mungkin kau membawanya keluar dari mimpimu. Mungkin seseorang memang mendekatimu saat kau tengah tertidur, atau itu adalah jejak kakimu sendiri," katanya dengan nada skeptis.

"Mungkin memang begitu." Sera mengangguk setuju. Namun, seperti Kina, hatinya meragukan hal itu. Jarak jejak kaki yang dilihatnya di kantor sama dengan jarak terakhir pemuda itu darinya sebelum ia terbangun. Mustahil itu jejak kaki orang lain. Lagipula, tak ada jejak kaki yang mengarah ke luar, jejak kaki itu hanya mengarah padanya. Juga, jejak kaki itu tidak cocok dengan kakinya.

Lantas, apa itu? Apakah itu benar-benar dari mimpinya?

"Apakah kau benar-benar belum pernah bertemu dengannya?" tanya Kina, mengalihkan kembali fokus Sera pada wanita itu.

Sera mengangguk. "Aku yakin belum pernah bertemu dengannya. Penampilannya cukup ... unik."

"Seperti apa?" tanya Kina lagi.

"Rambutnya berwarna coklat kemerahan dan dia memiliki iris kuning keemasan. Ibu, bagaimana mungkin ada orang yang memiliki iris mata seperti itu? Iris hazel Juan dan abu-abu milik Germanio bahkan sangat langka!" Sera berujar penuh rasa kekaguman.

"Sepertinya kau menyukai pemuda itu?"

"Ya, aku suka wajah tampan dan matanya yang langka itu!"

"Apakah dia orang yang baik?"

"Ya! Dia bicara dengan nada lembut dan aku bahkan merasa wajahku memanas saat dia tersenyum! Dia—Ibu!" Sera tersipu saat menyadari Kina sedang menggodanya. Ia memalingkan wajah, tak ingin Kina melihatnya.

Kina tersenyum. Ia menepuk kepala gadis di hadapannya dengan kasih sayang yang terpancar di matanya. "Untuk saat ini tidak usah ke kantor dulu. Aku akan menghubungi Geo untukmu. Ingat ucapanku tadi, jangan tidur di sembarang tempat, oke? Dan jika kau bermimpi tentang pemuda itu lagi, pastikan kau tidak lari."

"Eh?"

"Kurasa dia ada kaitannya dengan kebiasaan melindurmu yang muncul lagi," kata Kina. Ia kemudian berjalan keluar, tetapi berbalik menghadap Sera saat sampai di ambang pintu, "dan juga, kurasa kau harus berhenti menggunakan pakaian tidur transparan saat tidur."

"Aaaahh, Ibu!" Sera menjerit malu.

***