webnovel

Tidak Sadar Diri

Astaga. Kalah debat soal BAB anak, Mas Hendra malah balik menyerang dengan mengatai pempekku lagi. Tak mau kalah sekali si Mas Hendra ini.

"Selebar jidat kamu kali, Mas, bukan jidatku," balasku. Enak saja dia mau mengataiku. Tak terimalah aku.

"Kalau pempeknya segede gitu, bakal makan banyak minyak tu. Ngabis-ngabisin sembako aja, Ran ... Ran," ucapnya yang lagi-lagi terus berusaha menyudutkanku.

"Kan minyak buat goreng pempek, aku beli pakai duitku sendiri hasil jualan, bukan pakai duitmu!"

Mas Hendra terdiam. Tuh, rasain! Suka sembarangan omong tanpa tahu kebenarannya.

Enak saja terus mengatai pempek buatanku. Aku kan membuat pempek kulit dengan maksud untuk menambah variasi jualan. Agar pembeli tidak bosan.

"Udahlah, Ran. Nggak bakal laku juga. Pempek buatan kamu kan bau dan nggak enak."

Mas Hendra kembali berkata. Kali ini ia langsung masuk ke kamar tanpa menunggu balasanku. Dasar! Benar-benar tidak mau kalah dalam berkata!

Lagi-lagi ucapan yang menyayat hati. Padahal, aku tidak merasa pempek buatanku bau. Meski aku menggunakan ikan murah demi menekan biaya produksi, aku tetap menjamin pempeknya tetap layak jual.

Apa sebegitu buruknya pempek buatanku di mata Mas Hendra? Padahal aku melakukan ini demi meringankan beban dia sebagai tulang punggung keluarga.

"Kamu lakuin sesuatu dong, Ran! Kayak babi bontet aja dieeem aja di rumah! Lihat dong lagi masa pandemi begini! Semuanya susah! Penghasilan nge-greb aku seuprit. Capek-capek aku mengemudi seharian di luar sana sampai pinggang nyaris mau patah, eh kamu malah asyik cuma rebahan sambil nyusui anak di rumah! Mikir, Ran! Mikiiir!"

Dan juga agar tak lagi diocehi seperti itu oleh Mas Hendra. Ocehan yang terdengar di saat aku belum membantu mencari tambahan uang.

Ocehan yang membuat panci dan kuali di rumahku berterbangan ke arahnya. Jelas saja kami ribut karena ucapan Mas Hendra itu. Yang berujung aku akhirnya mencari cara untuk mencari uang tambahan. Dan tentu tanpa ucapan maaf dari Mas Hendra. Egonya yang setinggi langit itu tentu tak membiarkan ia meminta maaf pada sang istri yang telah disakiti.

Sekarang, saat aku berusaha untuk jualan, masih saja sering diocehi oleh dia. Aku tak mengerti lagi mengapa semua yang aku lakukan selalu terlihat salah di mata Mas Hendra.

Mungkin sesekali perlu kucolok matanya agar ia bisa melihat dengan jelas bagaimana perjuangan dan pengorbananku.

"Rantiiii. Baju aku ke mana semua ini?"

Nah, kan. Baru beberapa detik Mas Hendra masuk kamar, suaranya yang keras menyakitkan telinga itu sudah terdengar lagi. Ha ... apa ia tidak peduli kalau suaranya itu bisa membangunkan tidur lelap Kanisa?

Tidak kusahuti pertanyaan Mas Hendra itu. Aku masih mengurusi gorengan pempekku. Tak lama kemudian, orang yang berstatus sebagai suamiku itu keluar dari kamar. Berkacak pinggang, melemparkan tatapan tak suka padaku.

"Ranti! Kamu nggak dengar ucapanku?" sergaknya sambil melotot.

"Dengar kok, Mas. Tapi bisa kan tanyanya dengan pelan dan baik-baik? Aku nggak budek kok. Tanpa kamu teriak-teriak, aku masih bisa dengar," balasku. "Lagi pula, rumah kita kan nggak sebesar itu sampai-sampai membuat kamu harus teraik-teriak kayak di hutan."

"Halah! Melawan aja kamu! Sekarang, di mana baju-bajuku?"

Tanpa menoleh lagi ke Mas Hendra, aku menjawab, "Masih ada di tumpukan baju depan, belum aku lipat."

Mas Hendra berdecak sebal. "Ya dilipat dong! Disetrika! Bagaimana sih kamu! Emangnya kamu ngapain aja di rumah sampai ngelakuin itu aja nggak bisa?"

Aku mengembuskan napas keras. "Aku buat pempek, nyapu, ngepel, masak, nyuci, ngurus Kanisa yang rewel, terus—"

"Ha, sudah, sudah! Aku tak mau dengar alasanmu. Sekarang cepat siapkan saja bajuku." Mas Hendra mengibaskan tangan tak peduli.

Benci sekali aku saat ia seenaknya memotong ucapanku!

"Siapin saja sendiri. Masih punya tangan dan kaki kan, Mas? Nggak lihat aku sedang sibuk?"

Memangnya, cuma dia saja yang bisa seenaknya? Aku juga bisa!

"Ya ampuuun, Rantiii. Kamu itu istriku. Sudah menjadi kodratmu untuk mengurusiku. Lagi pula, aku ini mau ke masjid. Mau beribadah. Kenapa kamu tak mau melayani dan malah menghambat ibadahku??"

Astaga, Mas Hendra ini. Nggak ngaca kalau ngomong. Ibadah ya ibadah. Tapi perilaku pada istri, tak diperbaikinya!

"Bagaimana kalau aku sampai telat berjemaah di masjid? Kan sayang pahala berjemaah subuh terlewatkan begitu saja lantaran istri yang tak becus mengurus suami kayak kamu ini," sambung Mas Hendra yang masih asyik mengomel.

Dasar. Padahal daripada membuang waktu untuk mengomel, kenapa tidak mengurus bajunya sendiri saja? Manja sekali dia. Baju saja harus disiapkan segala. Lalu apa gunanya tangan dan kakinya itu?

"Iya, iya. Stop ngomelnya," putusku akhirnya. Bisa sakit kupingku kalau terus mendengar ocehannya. "Nih, gantiin aku goreng pempek."

Aku pun menyodorkan spatula ke Mas Hendra dan berlalu dari hadapannya. Menuju ruang tamu di mana di sana ada tumpukan baju yang memang belum kulipat. Sibuk mengurusi dagangan dan Kanisa, membuatku jadi belum sempat merapikan baju-baju kami.

"Sekalian disetrika, Ranti! Yang cepat!" pekik Mas Hendra dari belakang.

"Iya!" balasku setengah kesal. Awas saja kalau pempekku jadi gosong di tangan Mas Hendra.

Dengan gerakan yang sudah terlatih—akibat sudah menjadi istri orang—aku pun menyetrika baju kokoh dan sarung Mas Hendra dengan cepat. Tak butuh waktu lama, pakaian Mas Hendra pun sudah selesai kusetrika.

Aku lalu membawa pakaian Mas Hendra. Saat melihat ke arah dapur, aku terkejut saat tak mendapati Mas Hendra di sana. Bagaimana dengan pempek-pempekku??

Kutolehkan kepala ke samping, pada kamar, di sanalah Mas Hendra berada. Sedang berdiri mematut diri di depan cermin.

"Mas! Kok malah di kamar bukannya gorengin pempek??" tanyaku kesal sambil menyodorkan pakaiannya dengan cepat.

"Ah, aku nggak bisa gorengnya. Jadi kumatikan saja kompornya," jawabnya santai tanpa merasa bersalah sama sekali.

"Astaga, Mas, terendam minyak dong pempeknya. Pasti nggak kamu tiriskan dulu kan pempeknya?"

Mas Hendra hanya merespons ucapanku dengan mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia sekarang sibuk mau berganti baju.

Kesal, kutinggalkan dia dan kembali ke gorengan pempekku. Beberapa lama kemudian, suara Mas Hendra kembali mengusikku. Seperti tak suka sekali dia membiarkanku dengan kesibukanku. Padahal membantu pun tidak. Hanya bisa menambah-nambah pekerjaanku saja.

"Lihat, Ran, gimana penampilanku? Bagus kan? Rapi kan?" tanyanya jumawa, sama sekali tak peduli padaku yang kesal karena tingkahnya. Sibuk dia memutar-mutar badan di dekatku.

"Wah iya jelas dong," jawabnya sendiri karena aku enggan merespons.

"Beruntung kamu, Ran, punya suami kayak aku. Pekerja keras dan rajin ibadah di masjid. Ibu-ibu pasti pada ngiri sama kamu, Ran," sambungnya lagi.