webnovel

Matrix Trap : Odyssee

Ini cuma tentang Khariskara yang punya enam bulan untuk memperbaiki segalanya. "Konon katanya manusia dalam ketidakjelasan dunia akan selalu mencoba berubah sebisa mereka" - Georgio Ray Ibrahim //cerita ini terinspirasi dari lagu 00.00'clocks milik BTS// kardykadyah, 2020

kardykadyah · 若者
レビュー数が足りません
35 Chs

13.00

We were born to be alone

*

Italia, 2021

Kuping Ara merasa panas. Berulang kali ia menggaruk tengkuk ketika suara di ujung telfon mulai mengeluh banyak hal. Dari hal sesepele makanan sarapan hingga tanya kapan dirinya pulang. Ara sungguh tak berselera, hanya karena ia mengabaikan perempuan itu lebih dari satu minggu akhirnya Ara memutuskan mengangkat panggilannya. Perempuan itu bukan lain adalah Lyra. Calon tunangannya.

"Kamu beliin aku oleh oleh apa di sana?"

Ara menelan ludah, mengalihkan pandangan ke lautan luas yang berada tepat di depan balkon kamar penginapannya. Lamat-lamat cahaya kuning yang berasal dari lampu kapal dan dermaga mengisi pandanganya. Perpaduan lautan dan cahaya adalah yang paling sempurna. Belum lagi sayup angina yang berhembus dingin.

"Kamu jangan diem aja dong. Apa kamu mau kasih kejutan jadi nggak ngasih tau dulu gitu? Ya ampun Ra, kayak anak kecil aja"

"Lyra…"

Ara panggil nama itu dengan nada yang begitu dingin. Pasalnya ia sudah begitu muak dengan segala omong kosong perempuan itu. Di tambah hari ini ia memiliki banyak jadwal dan pekerjaan yang harus di selesaikan.

"Iya?"

"Kalau saya capek, saya matiin telfonnya. Ngga papa, kan?"

Ada hening panjang.

"Kamu capek dengerin aku ngomong?"

Ara mengigit bibirnya. Sial dia pikir mereka berdua benar-benar pasangan sungguhan.

"No. I just…"

Tiba-tiba Ara terhenti karena sebuah teriakan dari lantai bawah. Teriakan gadis yang begitu nyaring. Namun sayang penampakan gadis itu hanya sebatas bayang tak jelas. Gadis itu seperti sedang bertengkar dengan laki-laki di depannya. Laki-laki itu nampak familiar begitu pula teriakan gadis itu.

"GO AWAY!! GUE NGGAK BUTUH LO"

"PERGI LO BRENGSEK!"

"PERGI!"

"PERGI ATAU…"

BRAK!

Ara menaikan bibirnya, tersenyum smirk ketika suara bantingan pagar terdengar. Laki-laki itu tak mengumpat, ia berlalu setelah pengusiran itu. Sedetik setelahnya satpam datang, dan sepertinya urusan mereka terselesaikan.

"Ara?"

Suara menyadarkan Ara bahwa urusan yang belum selesai adalah urusan miliknya. Urusan antara Lyra dan dirinya adalah urusan yang takkan bisa terselesaikan dalam satu malam.

"Sorry, tadis saya abis dari kamar mandi. Di sini udah isya, saya shalat dulu. Lain kali kita bicara. Selamat malam"

Klik.

Ponsel dimatikan sepihak. Nyatanya Ara tak berbohong, sekarang sudah memasuki waktu untuk ibadahnya. Malam makin malam, udara makin dingin, debur ombak makin terdengar kencang. Satu-satunya yang hampa hanya dirinya. Maka kepada tuhanlah ia meminta sang pencipta mengisi sedikit kekosongan dirinya. Setidaknya sebentar sebelum semuanya semakin hampa karena hidupnya yang begitu sial.

Dear God

Did I life well?

*

"Umur lo berapa sih?" tanya Batak pada Kar saat mereka baru saja selesai mengantri eskrim di salah satu toko dekat penginapan Batak.

"umur gue 21, kenapa emang?" Kar menyernyit. Ia masih menjilati eskrim cone di gengamanya.

"Hhhhh"

Sambil mengelap noda eskrim di bibir Kar, Batak menarik senyum manis. Lagi-lagi gemas sendiri dengan tingkah gadis di depannya. "Kayak lebih pantes umur 10 deh. Makan eskrim aja belepotan"

"Dih, dimana mana mah makan eskrim belepotan. Kalo nggak belepotan brarti nggak menikmati." Kar sewot.

"Alesan"

"Emang gitu, batak"

Batak hanya mengohkan panjang. Mereka melanjutkan menapaki jalanan kota Ischia di malam hari. Hampir setengah hari ini Batak mengabaikan panggilan dari Re demi menjaga bocah kecil di sampingnya. Bukan kenapa, gadis di sampingnya adalah bocah luar dari biasa. Di usianya yang 21 tahun ia bahkan bisa tersesat dan melupakan alamat peningapannya. Nomor orang tuanya tak bisa dihubungi karena daya ponsel gadis itu mati.

"Mau pulang kapan lo?"

Pertanyaan Batak membuat Kar mengalihkan fokusnya dari eskrim. Ia tatap batak dengan kerling mata yang berbinar. Jelas membuat Batak sempat mengerjap beberapa kali.

"Nanti abis sholat isya. Eh ini udah waktu sholat isya belum sih?"

"What?" Batak terkejut.

"Sekarang udah masuk waktu solat isya belum sih?"

"mmmmm" Batak menengok jam pada ponselnya. Sudah malam dan pertanyaan ini membuat batak ragu untuk menjawab. Ia tak berasal dari agama yang sama dengan Kar. Dan juga selama berteman dengan Re, gadis itu tak memberitahu sedikitpun tentang agamanya. Batak benat benar awam.

"mungkin?"

"Loh kok mungkin?" Kar menyernyit.

Giliran Batak menghela napas, membuangnya secara asal. Lantas, "Ya mana gue tau, gue kan Protestan."

"What?" Kar terkejut.

"Gue protestan"

"Cepet baca syahadat, Tak. Mumpung…"

"Ssssttt" Batak membungkan mulut kar dengan meletakan telunjuk di bibir gadis itu. Praktis membuat gadis itu mengerjap beberapa kali. "Lo nggak akan bisa bikin orang percaya dengan satu agama hanya karena satu ucapan. Kepercayaan & agama adahal hal yang di mulai dari sebuah niat dan keyakinan.''

Kar menurunkan telunjuk Batak. Cemberut. "Becanda kali. Gue nggak ada maksud begitu."

Jawaban Kar membuat senyum Batak mengembang sempurna, "Terus setelah lo tau lo masih mau nerima gue?"

"Masih lah. Kita kan temen"

"What if more?"

Kar menyernyit, tampak kaget juga menimang. " I know you like me as friend not more." Kar mengembangkan senyumnya. Senyum semanis madu yang lantas membuat seluruh dunia Batak seakan lenyap ke dalamnya. "Tak, thank you for being my best friend in my life. I will try my best to be your best friend. Dan juga If its more between us, I think we are blessed. Ada dua Tuhan dalam perasaan kita."

Batak mengulum senyum, ia mengacak rambut gadis itu. Menyerahkan kehangatan dirinya pada gadis itu. Sambil mengatur perasaanya ia bicara, "gue becanda kok tadi"

"Serius?"

Batak mengangguk

"Udah ketebak sih. Emang ya lo bibit kerdus dunia. Dasar buaya hehe"

Entah mengapa tawa yang keluar terasa hambar bagi Batak. Ia pandangi gadis itu dengan tatapan tak terdefinisikan. Sambil berusaha terus tersenyum dan mengimbangi tempo gadis itu. Mereka masih terus berjalan.

Batak masih terus bertanya jika benar itu hanya bercanda baginya, mengapa juga perasaannya sedikit mirip dengan apa yang Re beri padanya? Batak harus menyerah? Atau tetap memperjuangkan perasaannya? Lagipula jika berjuang, kali ini ia berada di persimpangan. Dimana memperjuangkan Re atau memperjuangkan Khara?

"Kayaknya udah isya deh. Shalat dimana ya? Disini ada mushola atau tempat doa gitu nggak?" Kar memecah keheningan.

Membasahi bibir, Batak bagun dari segala fantasinya, " Gereja ada tuh di depan, mau?" Batak menggoda.

"Batak ih serius keburu malem nanti dicariin bunda"

"Lah kan hape lo mati"

"Iya yah. Gimana nih"

Lagi-lagi batak mengacak rambut gadis itu, ia benahi syal yang melilit di leher gadis itu karena malam makin dingin. " Tapi hafal kan nomer nyokap sama bokap?"

"Hehhe enggak"

"enggak?" Batak nampak takjub. "Terus?" lanjutnya frustasi. Masa iya harus ngurus sampai ke kepolisian setempat. Lagian belum 24 juga.

Kar terdiam lama tanpa jawaban. Kayaknya selain pikun bocah itu juga jadi lola. Dengan penuh rasa frustasi akhirnya mulut Batak nyeletuk ide gila. Alasanya karena kaki dia udah capek buat jalan lebih jauh lagi.

"Lo nge cas hape di penginapan gue, gimana?"

Tanpa pikir panjang gadis itu mengiyakan. "Sip. Sekalian numpang shalat gimana?"

Glek. Batak menelan ludah. Dengan terbata-bata ia menjawab "Oke… tapi gue beresin dulu kamar gue."

Kar tersenyum semringah,"makasih loh. Eh punya mukena nggak?"

Langkah Batak terhenti. Baru terlintas di kepalanya tentang benda itu. "Oiya yah kalo cewek shalat butuh itu. Sayang gue nggak punya, tapi kalo sarung gue punya sih"

"Berapa buah?"

"Dua kayaknya" Batak Ragu.

"Oke. Eh bersih kaga?"

Mendadak mata Batak segar. Apa-apaan ini bocah kecil tanya begituan. Batak jelas bukan kaum bapak-bapak pencinta sarung. Sarung yang ia miliki adalah pemberian salah seorang teman sebagai oleh-oleh pulang haji. Gini-gini Batak punya temen yang agamis loh.

"Tak, kok ngelamun sih"

Suara Kar membuyarkan lamunan Batak. "Pokoknya tinggal pake deh jangan banyak tanya. Udah malem, nggak baik ntar lo masuk angin. Penginapan gue nggak jauh kok."

"Oh gitu. Oke deh hehe makasih"

"Apa nggak denger?"

"Makasih"

"Hehe gitu dong bocil"

Kar menyernyit ingin protes namun tak berselang lama Batak ngacir duluan. Ia berlari mengejek Kar. Membuat gadis itu balik mengejar Batak. Keduanya begitu hangat. Senyum mereka mengalakan angina malam ini. Dan juga kesunyian sepertinya tidak berlaku bagi mereka berdua.

Malam terus merangkak dan waktu terisi bagai musim semi.

*

"Yang jemput bokap atau nyokap?"

Batak meletakan segelas teh hangat di atas meja. Lantas duduk di atas kasur sambil mengamati Kar yang baru seselai sholat. Untung saja kamar Batak baru saja Re bereskan beberapa hari yang lalu. Kalau tidak mungkin benda haram akan bertebaran di sana sini.

"Ayah yang jemput. Bentar lagi juga nyampai" jawab Kar.

Batak Cuma bisa mengangguk paham. Ia masih pandangi gadis di depanya. "Kalo ada yang bikin nangis lo jangan lupa bilang ke gue ya."

Kar menyernyit, "Dih, mirip bang Nuha nih lama-lama"

Batak tak menjawab. Ia biarkan gadis itu melepas sarung-sarung pada tubuhnya. Kar masih duduk di bawah sedang Batak di atas kasur. Ketika mereka berdua saling bicara Kar mendongak dan Batak menunduk.

"Serius deh"

"Apaan?" Kar mulai beranjak. Ia meraih teh hangat di meja. Lantas meminumnya.

"Kalo ada yang bikin lo nangis jangan lupa bilang ke gue."

"Gue nggak pernah nangis" jawan Kar ketika menandaskan teh hangatnya. "Lagian nangis itu manusiawi kok."

Ekspresi polos Kar membuat Batak menahan diri untuk tidak gemas. Ia menggenggam tanganya erat untuk tidak mengacak rambut gadis itu. Mengingit bibir pelan, "orang tua lo pasti bahagia punya anak kayak lo?"

Kar terdiam beberapa lama. Ia beranjak ke sofa. Duduk di sana sambil mengamati meja yang berisi selebaran yang berantakan.

"Gue nggak tau mereka bahagia atau tidak. Tapi menurut gue kehadiran seorang anak adalah sesuatu yang penting di mata orang tua. Ketika lo sudah ada di perut ibu lo maka saat itu pula kehidupan lo adalah sesuatu yang penting buat dia dan pasagannya. Nggak ada yang bener-bener bahagia ketika menjaga sesuatu yang sepenting itu, apalagi kalau hal yang mereka anggap penting itu ternyata nggak bisa menuhin harapan mereka. Bukannya lo gagal tapi bikin kecewa juga keitung nggak bikin bahagia kan?"

Hening.

"Kar…"

"Eh" Kar mengalihkan topic. Ia meraih brosur pameran yang ada di antara selebaran di di atas meja. "Waw ada pameran lukisan di sektiar sini. Lo tau nggak ini dimana?" Kar menunjukkan brosur itu pada Batak. Pria itu tampak menghela napas berat.

"Tau lah gue kan kerja di sana��

"Serius?"

Batak mengangguk.

"Lo punya tiket nggak? Mau dong. Besok hari terakhir gue di sini, masa iya gue ngga ngapa-ngapain selama di sini. Sia sia dong liburan gue. Please… mau.."

Permohonan Kar membuat Batak menarik senyum. Ia mengiyakan tanpa pikir panjang. Lagian Re pasti akan setuju jika membawa gadis ini ke pamerannya. Kar sangat baik, polos, lugu dan ceria, Re pasti akan suka dengan Kar. Mereka berdua pasti akan sangat cocok sama lain.

"Oke besok jam 2 di Gallery. Gue tunggu"

*

Keesokan harinya.

"Bun Kara berangkat dulu. See you nanti pas makan malam. muach…" Kar pamit pada Dinda juang selepas menanandaskan segelas susu strawberry. Hari ini ia bersemangat karena akan datang ke pameran salah satu pelukis ternama.

"Obatnya jangan lupa!"

Teriakan bunda memenuhi telinga Kar. Namun semuanya terasa sia-sia karena pikiranya di penuhi dengan bayangan lukisan luar biasa di pameran nanti. Belum lagi ia bersemangat sekali karena ingin memamerkannya pada Re.

Khariskara Renoir : Re gue mau ke pameran lukisan salah satu pelukis terkenal nih

Khariskara Renoir : Jangan iri ya. Gue lagi di Italia nggak sengaja dapet tiket gratis buat dateng ke gallery. Lo pasti iri kan?

Khariskara Renoir : Tenang sobat, nanti gue bakal minta tanda tangan dari dia. Gratis nanti gue kasih ke lo hehe

Khariskara Renoir : Tapi kalo minta lukisan kayaknya nggak boleh deh. Gue belum ada duit. Kapan-kapan aja yeee sekarang tanda tangan sama foto bareng dulu. Gampang nanti gue editin biar ada lo hahaha jadi kangen kan gue sama lo

Khariskara Renoir : Ga sabar gue mau ketemu lo. Oiya ini gue lagi di perjalanan ke sana. Doain ya hehe

Khariskara Renoir : Re lo baca kan?

Just Re was read

Khariskara Renoir : Di indo masih malem ya. Sorry ganggu, see you when I see you Rhea: )

Just Re was Read

Kar tak sempat melihat bahwa pesannya telah di baca. Bocah itu terlalu bersemangat. Ia berjalan begitu cepat, sesekali melompat kegirangan. Tanpa sadar tasnya belum tertutp sempurna. Sehingga tanpa sadar pula sebotol obat telah jatuh di jalan. Persetan dengan itu, gadis itu terus berjalan. Ia terlalu bahagia, dan rasa sakit baginya mungkin semetara sirna. Tanpa ia tau beberapa jam ke depan mungkin rasa sakit itu akan menghampirinya lebih dari yang ia kira.

Semesta, kenapa kau hukum dia?

Just Re making new story : I didn't wanna see you again. Please do your own bussiness

This part inspired by Blackpink new song "Lovesick girl" wkwkwk

Udah aku suka banget interaksi batak sama kara. Part selanjutnya bikin nangis atau bahagia ya? Gue rasa sih nangis wkwk. Gue mau buka satu kartu wkwk biar pintunya sedikit keliatan wkwk hahaha abis itu kita balik indo dan selesaikan semua di sana. Buat shiper Kar Ara siapin hati ya, siapi tissu juga wkwk.

9 bab lagi : ')

Dah

See You

2 Oktober 2020

kardykadyahcreators' thoughts