webnovel

Yang Tidak Terduga

***

"Hmm, jadi...."

Joan menatap Aletta dengan serius. Membuat Aletta sedikit tersentak serta Gea yang berada di sampingnya terus menggoyangkan kaki karena gugup. Entah bagaimana caranya mereka bisa berakhir di sebuah kafe yang tak jauh dari GPIB Immanuel dalam satu lingkar meja yang cukup kecil untuk empat orang.

"Yang ku lihat di Senayan waktu itu... benar-benar kamu," sambung Joan dengan ekspresi terkagum-kagum. Pria itu masih sedikit tak percaya kalau dia bisa bertemu lagi dengan temannya yang tak pernah muncul sekalipun dalam delapan tahun terakhir.

Glek...

Aletta menelan saliva dan melirik Gea yang menatap meja tanpa berkedip. Aletta meletakkan tangan kanannya di atas kaki Gea yang terus bergerak, membuat gadis itu menoleh padanya. Dia mengangguk meyakinkan sembari tersenyum tipis, membuat kepanikan Gea cukup mereda.

"Yang kamu lihat di kafe waktu itu, Hon?" tanya Gaby, istri Joan, yang mulai bicara setelah tahu Aletta hanya teman suaminya.

"Nah, iya!" Joan menatap istrinya dengan sumringah sembari menjentikkan jari. Dia menoleh dan menatap Aletta lagi. "Waktu itu aku ingin memanggilmu, tapi aku ragu. Kupikir bisa saja aku salah orang karena kamu sudah lama tidak terlihat," ujarnya dengan ekspresi sedikit kecewa.

"Sorenya, aku langsung bertanya pada Gea saat rapat reuni dan dia bilang, mungkin aku salah lihat. Sejujurnya, aku sedikit tidak percaya karena wajah Gea yang tidak meyakinkan saat itu, tapi aku hanya menganggap itu angin lalu. Dan sekarang... astaga, ternyata aku tidak salah lihat," ujarnya menceritakan hal yang sebenarnya sudah Aletta ketahui dari gadis di sampingnya, sehingga Aletta hanya menanggapi dengan kekehan kecil yang canggung.

Joan yang tengah tersenyum lebar itu melirik Gea yang terus menunduk sejak tadi.

"Kamu baik-baik saja, Ge?"

"Huh?" Gea mendongak. Tatapannya tak sengaja terkunci pada mata Joan. "I-iya, aku baik-baik saja," jawabnya sambil mengangguk canggung. Dia kembali mengalihkan tatapan dari Joan. Buku-buku jarinya terus mengepal meskipun kakinya sudah tak bergoyang seperti tadi.

"Permisi." Salah satu waiters mengalihkan atensi mereka. "Dua hot cappuccino, satu hot chocolate chamomile, dan satu ice apple fruity with mangoes," ujar sang waiters sembari meletakkan pesanan mereka di atas meja. "Ada tambahan lagi?"

"Mas, aku mau croissant-nya satu deh," ujar Gaby, kemudian menatap sang suami, "kamu mau, Hon?" Joan menggeleng. Gaby pun menatap Gea dan Aletta bergantian. "Kalian mau? Aku pesan, ya."

"Eh, tidak usah," ujar Aletta menolak dengan gelengan kuat.

Bibir Gaby mengerucut dan tatapannya terlihat sedih. "Masa aku makan sendirian?"

"Benar-benar tidak usah... kami sudah sarapan tadi," ujar Aletta yang kembali menolaknya, tetapi Gaby tampak abai.

'Entah air putih bisa disebut sebagai sarapan atau tidak,' batin Aletta melirik-lirik Gea yang juga sama dengannya.

"Croissant-nya empat, Mas," ujar Gaby pada akhirnya. Wanita itu juga memesan tekstur croissant yang diinginkannya secara detail pada waiters. Membuat Aletta membuang napas pelan dan tersenyum tipis.

'Untuk apa bertanya kalau akhirnya tetap dipesankan?' batin Aletta meringis.

Joan yang menyadari hal itu pun ikut meringis. Orang-orang banyak yang salah paham dengan istrinya akhir-akhir ini. Wanita itu sedang hamil muda dan hormonnya seringkali berubah-ubah. Tak jarang pula dia bersikap seperti ini hanya untuk menyenangkan hatinya.

"Maaf, Ale, Gea." Joan berbisik. "Istriku sedang hamil muda," jelas Joan sekaligus memberikan gesture kalau hormon istrinya sering berubah sesuai suasana hati. "Aku sangat berterima kasih kalau kalian tidak berprasangka buruk padanya," sambungnya masih berbisik.

"Huh, apa yang kalian bicarakan?" tanya Gaby setelah selesai memesan croissant dengan sangat rinci pada sang waiters yang kini telah pergi.

"Ah...." Aletta melirik Joan sekilas. "Joan memberitahuku kalau dia akan menjadi ayah dalam beberapa bulan ke depan. Selamat atas kehamilannya," ujarnya sembari tersenyum simpul.

"Oh, kamu memberitahunya, Hon?" tanya Gaby menoleh pada Joan yang kemudian mengangguk. Wanita itu tersenyum sembari mengelus perutnya yang masih rata.

"Aku senang... banyak orang yang tahu soal kehamilanku." Dia menatap Aletta lagi. "Joan selalu memberitahukannya pada orang-orang. Kamu pasti menantikannya kan, Hon?" ujarnya beralih menatap Joan.

"Oh, ya! Tentu!" Joan mengangguk berkali-kali. "Aku sangat menantikannya," ujarnya yang langsung menyesap segelas cappuccino meskipun itu masih panas.

Aletta memperhatikan Joan dan Gaby, kemudian tersenyum tulus. "Semoga kamu dan bayinya selalu sehat, Gaby."

"Amin. Terima kasih, Aletta." Gaby tersenyum riang, suasana hatinya sangat bagus saat ini. Dia mengambil hot chocolate chamomile yang dipesannya tadi, kemudian meminumnya sambil tersenyum.

"Kamu bekerja di sana atau bagaimana?"

"Di Senayan?" tanya Aletta balik.

Joan mengangguk mengiyakan.

"Iya, aku bekerja di daerah sana."

"Tapi, kenapa aku tidak pernah melihatmu? Itu pertama kalinya aku melihatmu lagi. Padahal aku sering pergi ke daerah sana," ujar Joan merasa heran.

Aletta terkekeh masam. "Aku baru bekerja."

"Ah, pantas saja." Joan mengangguk-angguk kecil. Namun, batinnya bertanya-tanya, 'Jadi selama ini... kamu ada di mana?'

Aletta hanya tersenyum singkat. Tidak menjawab rasa penasaran yang tercetak di wajah pria itu. Dia melihat dua minuman miliknya dan Gea yang belum disentuh. Dia pun menyodorkan hot cappuccino pada Gea yang langsung menatapnya dengan  bertanya-tanya, seolah mengatakan, 'ini kan punyamu...?'

Gadis yang rambutnya dijepit asal itu tersenyum. "Minumlah, Ge."

Aletta tahu, sesuatu yang hangat bisa meredakan rasa cemas berlebih. Bukan ice apple fruity with mangoes yang dipesan oleh Gea tadi.

"Terima kasih," ucap Gea meletakkan kedua telapak tangannya yang dingin pada gelas cappuccino yang hangat. Dia mengambil segelas cappuccino tersebut, lalu meminumnya perlahan. Rasa hangat pun mengalir dari tenggorokan hingga perutnya. Membuat gadis itu merasa lebih rileks.

Begitupun Aletta yang juga meminum ice apple fruity with mangoes yang terasa sepat, manis, dan sedikit asam di lidahnya. Dipikir-pikir, minuman ini sangat tidak cocok dengan croissant yang akan dimakannya nanti.

Sambil mengaduk cappuccino, Joan kembali bertanya pada Aletta. "Kamu sudah tahu kita akan mengadakan reuni?"

"Oh, itu...." Aletta menjauhkan bibir dari sedotan. Dia tersenyum masam dan mengangguk. "Sudah."

"Angkatan kita bertanya-tanya, reuni kali ini... apakah maskot angkatan kita akan datang?"

"Aletta jadi maskot angkatan kalian?" tanya Gaby karena wanita itu bukan berasal dari sekolah yang sama. Lagipula, dia juga tiga tahun lebih muda dari mereka, yang artinya Gaby adalah adik kelas.

Joan mengangguk. "Lebih tepatnya maskot yang misterius, karena Aletta tidak pernah ada kabarnya semenjak kelulusan."

"Wah, pantas saja... Aletta kan sangat cantik. Kalau bayiku perempuan, semoga dia secantik Aletta," ujar Gaby sembari mengelus perutnya. Dia tampak tak peduli dengan ucapan sang suami yang menekankan tentang kabar Aletta.

"Pasti cantik," ujar Aletta tersenyum simpul, "ibunya juga cantik," pujinya yang membuat Gaby tersenyum malu-malu.

"Terima kasih, Aletta."

"Ayahnya, Le?" Joan menunjuk dirinya sembari tersenyum seperti orang bodoh.

"Aku tidak bisa berkomentar." Aletta memasang ekspresi meledek yang membuat Joan bersorak kecewa.

"Ya, Ge?"

"Huh, apa?" tanya Gea yang baru membuka suaranya lagi.

"Bahkan kakak kelas pun bertanya-tanya ke mana perginya Aletta. Iya, kan?"

"Iya, benar," jawabnya pelan.

"Kamu kenapa? Kok jadi pendiam begitu? Apa kamu sedang tidak enak badan?" tanya Joan menatapnya khawatir.

Gea menggeleng pelan. "Tidak, tidak. Em... aku mau ke toilet dulu," pamitnya.

"Mau aku temani?" tanya Aletta menatapnya khawatir.

"Tidak usah, Le. Aku hanya sebentar," ujarnya tersenyum singkat, kemudian  langsung pergi dari sana dengan langkah cepat.

Satu meja itu memperhatikan kepergian Gea yang terburu-buru. Dan Joan kembali membuka pembicaraan di antara mereka.

"Gea kenapa?" tanya Joan pada Aletta.

Aletta menahan napas sejenak, kemudian terkekeh kecil. "Sepertinya dia kebelet buang air besar," jawabnya menutupi kebenaran dengan candaan.

"Oh, hahaha... iya juga. Wajahnya terlihat seperti sedang menahan sesuatu," ujar Joan sambil tertawa yang disambut Aletta dengan tawa buatan. Sementara Gaby memilih untuk tidak ikut campur. 

"Ale, aku penasaran... boleh aku bertanya beberapa hal padamu?"

"Ya, apa itu?" Aletta mengangkat kedua alis dan tetap mempertahankan senyumnya.

"Selama ini... sebenarnya kamu pergi ke mana? Maksudku, kita kan satu circle saat SMA. Aku sangat terkejut saat datang ke rumahmu bersama Fahmi dan ternyata, kamu sudah tidak tinggal di sana."

Aletta yang tengah menatap minumannya pun tersenyum sekilas. "New York. Papa dipindah tugaskan ke sana."

"Sampai tidak mengabari satupun dari kita yang ada di Indonesia? Atau kamu hanya menghubungi Gea saja?" tanya Joan yang langsung disenggol sikunya dan mendapat tatapan horor dari Gaby.

"Jangan terlalu kepo!" tegur Gaby memelototinya.

"Iya-iya...." Joan meringis pilu. Dia beralih menatap Aletta dan menunduk sekilas. "Maafkan aku, Ale. Aku sudah kelewatan."

"Tidak apa-apa, Joan. Justru aku yang minta maaf karena tidak menghubungi kalian," ujar Aletta tersenyum simpul.

"Nah, kalau begitu... datanglah ke reuni kali ini!" seru Joan sumringah. "Oh, aku lupa siapa namanya... tapi, kakak kelas yang bersahabat denganmu waktu itu... dia juga akan datang!" sambungnya sambil tersenyum lebar.

Pundak dan leher Aletta menegang. Dia menatap Joan cukup lama dengan kedipan  yang sangat lambat.

"Siapa deh namanya?" tanya Joan yang berusaha untuk mengingat nama itu. "Siapa, ya? A, a... apa, ya?"

"A-a..." Lidahnya seperti tercekat untuk menyebutkan nama itu. "A-Arkhano," jawab Aletta yang menghela napas berat setelahnya.

"Nah, itu dia! Bang Arkhano!" seru Joan dengan sumringah sembari menepuk tangan, yang membuat Gaby serta Aletta tersentak kaget. Ditambah, mereka juga menjadi pusat perhatian pengunjung kafe.

———