webnovel

Secrets

"Hey, tampan. Ini hanya perasaanku atau kau yokai pertama yang menarik perhatianku?" Benzaiten melangkah dengan manja dan akan menyentuh lelaki jelmaan cerpelai itu, namun Ia menghindar dan bersembunyi di belakangku lalu menangis kencang sambil berjongkok.

"Cengeng." Ucap Ebisu datar.

"Aku baru menemukannya sepuluh menit yang lalu dan kalian sudah membuatnya berubah menjadi manusia, menggodanya, bahkan tak memberinya selembar pakaian." Aku berkacak pinggang dan memicingkan mataku pada Dewa-dewi itu, terutama Benzaiten. "Aku tahu dia yokai dan kalian tak menyukai sejenis dirinya, tapi yokai pun juga punya perasaan!"

Aku berbalik badan, menemukan lelaki misterius itu menangis tersedu-sedu hingga aku memeluknya erat agar dirinya tenang.

"Aku disini, Kawan. Mereka juga tak menyukaiku tapi kita semua terpaksa bekerja sama. Kau...punya nama?"

"Ya, namanya Kama-itachi,siluman cerpe-"

"DIAM!" Bentakku pada Hotei yang nyeletuk.

"Nige... N-Nigeto. Dan ya, aku kama-itachi." Jawab lelaki yang menyebut dirinya Nigeto. "Disini...dingin..."

Aku memberi tatapan mematikan pada Benzaiten,berharap dia bisa memberi Nigeto setidaknya selembar kain.

"Baiklah, aku tahu yang kau maksud." Benzaiten menjentikkan jarinya, secara ajaib Nigeto sudah mengenakan hanbok lengan panjang berwarna hijau dengan nuansa kuning di lengan bajunya.

"Terima kasih..." Nigeto menatapku dalam dengan mata berkaca-kaca.

Aku menatap Nigeto dan memegang tangannya untuk membantunya berdiri. Seketika jatungku berdegup kencang, mataku tak kuasa untuk berhenti menatapnya. Matanya yang besar dan coklat dan pipinya yang tembem untuk laki-laki yokai membuat dunia seakan memberiku pesan agar segera menjadikannya pacar.

"Marie? Marie, kau mendengarku?" Ebisu mencoba memanggil namaku namun aku masih terjerat di dalam tatapan Nigeto.

"MARIE! LIHAT KAMI ATAU KAMI AKAN MENGUBAHMU LAGI!" Ebisu dengan ancang-ancangnya mengambil kotak pengubahku dari saku celanaku.

"Wajahmu merah sekali, seperti stroberi." Celetuk Nigeto sambil tertawa kecil.

PLAK!

Wajahku seakan mati rasa, namun mendengar Nigeto yang berbicara padaku, aku langsung menamparnya.

"Wajahku tidak merah, hanya mati rasa. Paham?" kulipat tanganku sembari memalingkan wajahku darinya.

"Kenapa kau menamparku?" Nigeto mengusap wajahnya yang memiliki cap tangan merah di pipinya.

"Aku takkan jatuh hati semudah itu. Kita baru saja bertemu." Kupalingkan wajahku darinya sembari melipat tanganku."Namaku Marie, dan sebaiknya berhenti menatapku seperti itu. Dan untuk kalian..."

Kupegang tangan Nigeto erat, memberi dewa-dewi keberuntungan tatapan jahat dan berkata, "Siapapun dari kalian yang berani meyentuh Nigeto sedikit saja, aku tak segan mengikt kalian di kursi dan meluncurkan kalian kembali ke tempat asal kalian lalu membunuh diriku sendiri."

"Kau akan membunuh dirimu sendiri?" Nigeto terkesiap.

"Jika aku mati, dunia akan hancur. Tapi semuanya pasti akan hancur...pada akhirnya." Jawabku datar. "Mumpung aku ingat, Tsuji-ura memberitahuku jika kau tahu sesuatu tentang rencana Susano'o."

"Bukan Susano'o, bukan juga Bishamon..." Kata Nigeto. "... Tsukuyomi."

"Tsukuyomi?" Kata Ebisu. "Tapi dia yang mengusir Susano'o ke dunia manusia. Bagaimana bisa?"

"Sebenarnya, dia juga yang mengutus Susano'o untuk membunuh Uke Mochi. Aku tidak tahu ada hal yang lebih besar dari sebuah acara makan malam bencana..." Fukuro manggut-manggut.

"Makan malam?" Kutopang daguku bingung.

"Tsukuyomi dan Amaterasu pernah tinggal serumah hingga Uke Mochi menyajikan makan malam kelas dunia dengan memuntahkannya dari mulut maupun minuman segar dari ingusnya. Itulah saat Susano'o diutus untuk membunuhnya, kemudian diusir ke dunia manusia dan mereka tak pernah bersama lagi." jelas Ebisu.

"Dia benar. Namun Uke Mochi dibunuh karena dia adalah saksi mata dari rencana Tsukuyomi untuk membangun sebuah mesin mematikan yang akan dilepaskan di Underworld, sebagaimana kau menyebut dunia itu." jelas Nigeto sambil menunduk. "Susano'o diutus untuk membunuhnya, namun waktunya harus tepat agar tidak terlihat sebagai sesuatu yang disengaja."

Semua mata Dewa-Dewi Keberuntungan terbelalak heran. Bagian cerita itu tak pernah tercatat dimanapun, Bahkan Fukurofuju tidak mengetahuinya.

"Bagaimana...bagaimana kau mengetahui semua ini?" Tanyaku.

"Aku...aku...huwaaaaaaaaaa!" Nigeto kemudian menangis lagi karena mengingat kejadian terdahulu.

"Sudahlah, Nige-chan. Kau akan baik-baik saja. Tak masalah jika kau tak mau menceritakannya." Kupeluk Nigeto lagi dengan erat. Mataku berkaca-kaca, hendak menangis.

"Semasa hidupku aku hanya tahu cara menjadi cerpelai peliharaan. Ketika aku mati menjadi yokai, Susano'o memaksaku untuk membunuh tapi aku tidak mau, jadi aku diusir ke perbatasan dunia manusia dan yokai...hiks..." Curhat Nigeto sembari terisak.

"Sebentar... Kau binatang peliharaan Susano'o?" Kata Daikoku heran sebelum tiba-tiba...

BLAAAAR!

"Marie, maafkan aku soal ini..." Fukuri kemudian memutar tuas di kotak pengubah kecilku hingga kotak tersebut berubah menjadi sepasang headphone. Namun tak ada yang terjadi sehingga Dewa Panjang Umur memberikannya kembali padaku.

"Aku sudah memodifikasinya. Kau hanya akan berubah jika kau ucapkan 'Dengan kekuatan Tujuh Dewa Keberuntungan, tunjukkan sihirmu!'. Sekarang, ulangi ucapanku." Kata Daikoku.

Aku mengenakan headphone tersebut seiring petir yang terus menyambar, lalu mengulang ucapan Daikoku, "Dengan kekuatan Tujuh Dewa Keberuntungan, tunjukkan sihirmu!"

SRIIIIING!

CTAAAAR!

Secercah cahaya muncul di atas kepalaku, kemudian menghujani sekujur tubuhku bak hujan badai. Tubuhku masih merasakan sensasi menggelitik yang panas dan otot yang tegang seakan sekujur tubuhku diikat di salib dan ditabrak truk secara bersamaan. Ketika aku berhasil mendapatkan kendali tubuhku, rasa letih hanya terasa di pikiranku sementara tubuhku sudah sepenuhnya berubah. Bahkan jarak pandanganku menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Sungguh aneh ketika aku sudah mulai terbiasa dengan tubuhku yang terus berubah-ubah.

"Marie...kau..."

Belum sempat Nigeto menyelesaikan ucapannya, kubekap mulutnya dengan tanganku, lalu berkata, "Aku sudah tahu. Kau jaga mereka, aku periksa keluar."

Aku berjalan menuju pintu apartemenku, namun Nigeto mengejarku dan berkata, "Aku ikut denganmu!"

"Nigeto, diluar sana berbahaya. Kita tak tahu siapa yang akan kita hadapi."

"Tidak mau!"

BWOSH!

Nigeto berubah kembali menjadi cerpelai putih dan melompat ke pundakku.

"...setidaknya kita punya kesamaan." Aku membuka pintu apartemen perlahan, lalu menemukan beberapa orang sudah menantiku.

"Aku dengar kau membawa seorang perempuan kesini." Kata seorang lelaki di antara kerumunan itu.

"Aku tak tahu maksudmu. Hanya ada aku dan hewan peliharaanku." Jawabku.

"Aku mendengarmu berbicara dengan perempuan." Kata seorang lelaki yang lain.

"Perempuan itu keluar setelah orang di seberang kamar ini mati kesetrum pencukur bulu hidung."

"...tapi mesin cukur bulu hidung kan pakai baterai." Aku mengernyitkan alisku.

"Lalu terpeleset kulit pisang." Lanjut kumpulan massa yang marah itu.

"Oh..." Perutku terasa kencang. Bukan karena perutku yang six pack, tapi karena menahan tawa.

"Tetangga yang baik dan budiman, kalaupun ada perempuan di sekitar sini, tidak ada hubungannya dengan kematian tetangga kalian. Aku cukup mengenal Sei."

Sial, penyamaranku terbongkar.