webnovel

46. Salah Paham (2)

Remaja itu masih enggan untuk beranjak dari sandarannya di mobil guna menghampiri rumah yang di halamannya terdapat beberapa pelanggan dan seorang wanita tengah berjualan bakso disana.

Jika boleh jujur, Arwin sama sekali tidak pernah datang ke rumah mantan-mantannya dulu untuk membujuk mereka apabila terjadi kesalahpahaman. Dia tidak peduli, Putus satu cari yang lain, Itu semboyan yang masih dipegangnya.

Namun ini berbeda. Ia mengusak surainya frustasi. Rasanya ada yang mengganjal bila dia tidak segera meluruskan masalah ini secepatnya. Arwin bahkan belum berganti pakaian, Masih dengan seragam sekolahnya.

Terus berdiam diri sampai siluet seorang remaja yang dicari-cari muncul dari dalam pintu dengan mata bengkak. Rino terlihat membicarakan sesuatu dengan Bundanya, hingga akhirnya Arwin melihat wanita itu menghela nafas panjang dan mengangguk. Senyum berlesung pipi itu seketika hadir di bibir busur seksi remaja itu.

Deg!

Arwin menunduk, Meraba dadanya yang berdetak cepat. Perasaan apa ini? Sebelumnya dia tidak pernah merasakan debaran kencang seperti ini.

Diliriknya kembali remaja di teras itu, Arwin manggut-manggut. Rupanya remaja itu memohon untuk membantu Bundanya, Buktinya kini Rino sedang melayani pesanan pelanggan di halaman rumahnya.

Arwin, "Kesana nggak ya?" Monolognya berpikir. Kemudian dia tersentak oleh seruan seorang remaja dari sampingnya.

Riko, "Lo Ar-Arwin!" Ucap Riko tergagap, Sudah cukup lama sepupunya itu tidak pernah menginjakkan kakinya di sini.

Dia menoleh risih. Siapa sih yang sok-sokan kenal dengannya di kampung ini? Namun mendadak Arwin langsung berdiri tegap, "Riko!" Ujarnya menunjuk remaja itu.

Mereka berpelukan erat, Riko berseru, "Gila Lo, Kok baru sekarang kesini!"

Arwin tertawa kecil, "Haha... Kemarin-kemarin gue kerumah Lo tapi Lo-nya gak ada di rumah"

Riko, "Sibuk ngerjain tugas kelompok akhir-akhir ini, Mama sama Papa juga gak pernah tuh cerita soal Lo pernah ke rumah!" Ungkapnya.

PRANG!

Keduanya menoleh ke asal suara. Rupanya berasal dari Rino, Remaja itu menjatuhkan mangkuk bakso yang rencananya akan dibawa ke meja pelangga, Bibirnya cemberut hendak terisak memandang dua remaja yang masih enggan melepas pelukan disana.

Rani, "Astaghfirullah Rino, Kamu tidak apa-apa sayang?"

Tangan remaja itu terangkat menggigil mengarah ke pinggi jalan, "Kakak... Arwin... Se-selingkuh lagi Bun... Hiks! Hu hu hu..." Rino langsung berlari masuk tanpa menghiraukan barang yang baru saja dipecahkannya berserakan di lantai.

Rani berteriak khawatir, "Loh Rin! Kamu kenapa!" Namun anak sulungnya acuh dengan panggilannya dan terus masuk kamar.

Di seberang sana Arwin mengumpat, "Sial!" Lalu melepas pelukannya dari Riko.

Riko, "Si Rino kenapa natap kita kek orang mergokin pacarnya selingkuh?" Bingungnya.

Tanpa pikir panjang Arwin berlari, "Dia emang mikirnya gitu, Oon Lo!" Jawabnya sebelum menjauh.

Riko, "Hah?" Pemuda itu kian tidak mengerti dengan semua ini.

Begitu tiba di teras rumah Rino, Arwin langsung bertanya, "Tan, Rino kemana?"

Rani menunjuk kamar, "Disana" dan remaja itu segera hilang dari pandangannya. Sama seperti Riko, Wanita itu juga kebingungan dengan situasi ini. Pelanggan-pelanggannya pun sama-sama tidak mengertinya melihat adegan yang mirip di film-film itu.

Tok...tok...

Arwin, "Rin, Buka pintunya dong! Gue mau jelasin semuanya!" Tak ada sahutan dari dalam, Arwin semakin cemas.

Sekali lagi diketuknya pintu sedikit keras, "Buka pintunya Rin! Riko itu sepupu gue! Kita gak ada hubungan apa-apa kok! Reta juga cuma mantan doang!" Tetap saja, Belum terdengar jawaban dari dalam. Arwin tidak punya pilihan selain mendobrak pintu.

Dia mundur sedikit dan berlari. Naasnya, Bersamaan saat hendak mendobrak justru pintu terbuka dari dalam. Alhasil remaja itu mendarat ke lantai dalam posisi menyamping dengan tidak berkelasnya.

BRUK!

Arwin menjerit, "Njir! Pinggang gue!" Pinggangnya bagai dibelah dua akibat menghantam lantai.

Rino memekik, "Kak Arwin!" Lalu berjongkok di lantai.

Waktu menangis di kamar tadi dia mendengar suara ketukan keras di pintu kamarnya. Rino acuh, Disangkanya itu Bundanya yang ingin bertanya perihal dia yang tiba-tiba menangis tidak jelas.

Siapa yang menduga Rino akan salah kaprah, Dia tidak tahu jika si pengetuk pintu adalah Arwin. Kini remaja yang hamil hampir 3 Minggu itu malah kelabakan sendiri melihat Arwin terbaring kesakitan di lantai kamarnya.

Rino, "Kak Arwin tidak apa-apa?" Tanyanya cemas.

Arwin mendesis, "Ssshh... Udah tau orang sakit masih juga nanya! Lo pikir lantai rumah Lo kasur apa!" Marahnya. Demi apapun, Rasanya Arwin belum sanggup untuk bangkit dari posisinya.

Remaja itu meringis, "Maaf Kak, Aku tidak tau kalau itu kakak" Kata Rino bersalah. Dibangunkannya Arwin hingga berhasil duduk dan disandarkannya di dinding kamar yang terbuat dari susunan papan.

"Astaghfirullah ada apa ini Rin?" Tanya Rani sedikit panik, Pasalnya dari luar dia mendengar jelas suara benda jatuh keras dan bergegas ke sini.

Rino pun menjelaskan, "Itu Bun, Kak Arwin jatuh ke lantai" Kemudian kembali menatap Arwin cemas.

Rani, "Nak Arwin tidak apa-apa?" Meski kesakitan Arwin tetap mengangguk.

Saat ini Arwin telah ditidurkan pada tikar di kamar Rino. Remaja yang sebentar lagi menjadi suaminya itu sedang dipijat pinggangnya oleh Rino sendiri.

Penuh hati-hati, Rino mencoba bertanya, "Kak, Sudah enakan belum?"

Arwin menyahut dari posisi menyampingnya, "Udah sih, Tapi masih keram dikit" Keluhnya. Rino menghembuskan nafas lega, Setidaknya pijatannya agak berguna.

Habis kejadian tadi, Rani menyerahkan semuanya kepada Rino sebab ini salah putranya sendiri dan ia tidak ingin ikut campur dalam masalah anak muda. Wanita itu memilih keluar melanjutkan dagangan baksonya.

Jadilah Rino seorang diri yang menemani Arwin di kamarnya. Dan juga yang dilakukannya bukan pijat asal-asalan. Dulu sewaktu kecil, Rino pernah melihat almarhum ayahnya memijat tetangga mereka yang sakit pinggang. Hanya mengandalkan otak cerdasnya dalam mengingat, Rino sudah hafal dimana titik saraf yang harus dipijatnya.

Ingin meminta bantuan adiknya tidak bisa, Sebab remaja sawo matang itu kata Bundanya pamit ke rumah temannya di desa sebelah untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mereka.

Arwin, "Belajar pijat dimana Lo? Pinggang gue berasa enakan" Pujinya tiba-tiba.

Rino, "Dulu waktu aku kecil, Almarhum ayahku pernah memijat tetangga kami yang sakit pinggang juga, Aku hanya mengingat-ingat kembali dimana saja beliau memijat dan memperaktekannya pada kakak" Jelas Rino, Gerakan tanganya tidak kasar sehingga Arwin merasa nyaman.

Arwin, "Hebat ya calon suami gue, Ntar kalo kita nikah terus gue pegel-pegel pulang kerja Lo bisa pijetin gue" Ungkapnya tanpa sadar.

Rino, "Ka-kakak bilang apa?" Tanya Rino gugup, Apa dia tidak salah dengar? Baru saja Arwin menyebutnya suami!

Tersadar dengan perkataannya, Arwin berusaha mengelak, "Bu-bukan apa-apa kok, Lo salah dengar" Tidak sengaja dia melirik Rino dan mendapati wajah remaja itu sedikit lesu, Mungkin kecewa dengan jawabannya.

Arwin menarik nafas kemudian membuangnya ke udara, "Gue cuma mau jelasin aja sama Lo kalo gue gak punya hubungan apapun sama Reta, Ya kali gue mau ama yang bekasan kek gitu! Terus Riko juga, Dih amit-amit gue sama tuh anak" Dia bergidik membayangkan semuanya.

Rino, "Maaf, Itu hak kakak mau pacaran dengan siapa asalkan anak di perutku punya ayah, Itu sudah cukup dan aku tidak meminta lebih dari itu"

Lantas Arwin membalikkan tubuhnya jadi menghadap Rino lalu mendongak sedikit, "Lo gak cemburu?" Pertanyaan tak terduga itu keluar dari mulutnya.

Hal mengejutkannya yaitu Rino malah menangis, "Aku sudah bilang itu urusan kakak! Jangan hiraukan aku, Ini hanya bawaan bayi! Aku benci seperti ini, Lemah! cengeng! Rasanya kodratku sebagai pria dipermainkan oleh Tuhan! Tapi aku bisa apa selain ikhlas menerima semua ini!?" Rino sudah tidak kuat lagi dengan keadaannya, Ia menangis sebagai pria yang rapuh dihadapan Arwin.

Bangkit, Arwin membuang semua rasa sakit di pinggangnya lalu menarik Rino dan...

Cup!