webnovel

Bagian 3

"Mas Ikaal! Tolong, Mas!" jerit Airin. Saking kerasnya, seluruh penghuni rumah terbangun. Kawanan cicak ramai berdecak, seolah menegaskan ada sesuatu yang ganjil di sana.

"Kenapa, Ay?" Bu Mariah tergopoh-gopoh menuruni anak tangga, disusul Pak Kliwon di belakangnya. Tampak Airin menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Dia terisak di sudut ruang tamu.

Haikal yang lebih duluan hadir, lekas memeluk istrinya dengan erat. Mendekap tubuh yang dingin dan gemetaran tersebut.

"Mendung, Mas ...," lirih wanita itu setelah mampu menguasai diri. Jemari sang kekasih sibuk menyeka sudut mata istrinya. Juga mengusap lembut rambut panjang Airin.

"Kenapa dengan Mendung?" tanya Haikal.

"Tadi Mendung mengeong terus, Ay ke sini buat bantuin, tapi ternyata Mendung jadi hewan mengerikan, matanya merah, bulunya berdiri semua. Mendung berjalan dengan mata yang meneteskan darah!" Airin menjelaskan tanpa jedah, membuat pendengarnya ikutan sesak napas.

Bu Mariah, Pak Kliwon, dan Bik Nuri yang mendengar penjelasan Airin segera menyisir ruang tamu, mencari makhluk itu. Namun, Mendung tak ditemukan.

"Kamu sepertinya sangat lelah. Ayo, kita istirahat saja," bisik Haikal pada istrinya. Dia merenggangkan pelukan lalu menuntun Airin ke kamar. Meninggalkan tiga orang tua di ruang tamu—dengan tatapan bingung.

"Mas, tadi aku beneran lihat Mendung dengan ma—"

"Sstt ... kita bicarakan besok saja. Sekarang istirahat dulu," potong Haikal saat Airin masih berupaya menjelaskan kejadian tadi di kamar.

***

Matahari bersinar terang. Cahayanya menembus jendela kamar dan memantul ke wajah Airin. Wanita itu menggeliat sebentar lalu duduk di bibir ranjang. Sejenak pikirannya teringat kejadian-kejadian aneh tadi malam.

Airin mengembuskan napas berat. Semoga hari ini tak lagi ada kejadian serupa. Mungkin Haikal benar, tubuh yang lelah menjadi pemicu kejadian tampak aneh.

Elang dan Haikal sudah tak tampak di kamar. Diliriknya jam dinding, rupanya hari sudah pukul 09.00. Sang suami pasti sudah berangkat kerja, sedang Elang mungkin tengah bermain.

Airin mengambil handuk lalu bergerak ke kamar mandi. Air pegunungan sangat dingin dan menyegarkan. Rasanya ia betah berlama-lama mandi kalau saja tidak ingat tugasnya hari ini.

Dia hendak menyiapkan tempat praktik di depan rumah. Ada sebuah ruangan di bagian depan yang akan disulap menjadi tempat praktik. Dulunya ruangan tersebut dipakai sebagai kamar penjaga rumah dinas ini.

Airin adalah seorang bidan, jadi di mana pun berada, ia akan tetap menjalankan profesi mulia itu. Kebetulan izin praktik di daerah ini sudah dikantongi. Haikal yang mengurusnya jauh sebelum mereka pindah ke sini.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian, Airin bergegas ke dapur. Perutnya sudah keroncongan meminta sarapan.

"Pagi, Bik," sapa wanita cantik ini. Sebuah senyum terukir di wajahnya.

"Pagi, Bu. Pak Haikal udah berangkat ke kebun, Bu. Kalau Elang, lagi jalan pagi sama kakek dan neneknya," terang Bik Nuri tanpa diminta.

"Iya, Bik, terima kasih infonya."

Bik Nuri permisi ke belakang, katanya hendak membersihkan daun-daun pohon mangga yang berjatuhan. Di dapur, Airin sendirian. Tampak sedang menyendok nasi goreng dan telur mata sapi ke piringnya. Tomat dan timun ditinggalkan, sebab tak doyan. Sedang enak mengunyah, kakinya merasa disentuh sesuatu yang berbulu.

Meong ....

Airin refleks mengangkat kaki saat mendengar suara kucing. Dengan perasaan takut, ia menundukkan pandangan. Itu benaran Mendung rupanya. Airin buru-buru menghabiskan sarapan. Sungguh kejadian tadi malam masih membekas dan membuatnya sedikit trauma dengan hewan itu.

Sudah pukul 09.30, saatnya Airin bergerak ke halaman. Bapak dan Ibu mertua beserta Elang baru saja pulang dari jalan pagi. Bocah dua tahun itu berlari menghambur begitu melihatku.

"Waah, Elang dari mana?" Elang hanya menjawab dengan telunjuk yang mengarah ke arah barat. Bocah lelaki ini belum bisa ngomong. Bahkan untuk mengucap kata Mama dan Papa pun belum bisa. Sudah pernah dibawa ke dokter umum dan dokter spesialis, tapi mereka meminta Airin dan Haikal bersabar sambil terus melatih keinginan sang anak dalam berbicara.

"Tadi kita jalan sampai ke rumah ujung sana. Rupanya itu rumah Pak Heru, temannya Ikal. Rumahnya sepi banget, Ay, kayak gak ada penghuni. Istrinya ke mana, ya?" Bu Mariah bertanya dengan nada penasaran.

"Ay juga gak tahu, Bu. Kenal sama Pak Heru juga waktu hadir di pameran lukisan sebulan yang lalu."

"Kamu mau ke mana, Ay?" tanya Pak Kliwon. Itu karena sang menantu berpenampilan rapi.

"Ke ruang itu, Pak. Nanti mau dipakai buat paktik mandiri," jawab Airin seraya menunjuk ruang yang berjarak dua meter dari tempat mereka berdiri. Ruang praktik ini letaknya terpisah dari bangunan utama rumah.

"Elang ikut sama Kakek, yuk. Kita main air." Pak Kliwon mengambil Elang dari gendongan ibunya.

"Ibu mandi dulu, ya, Ay. Nanti Ibu bantuin," pamit Bu Mariah. Airin mengangguk.

Setelahnya, Airin berjalan ke ruang paktik. Pintu sudah tidak dikunci. Mungkin Bik Nuri sudah membersihkan ruang itu sesuai permintaannya kemarin.

Pintu ruangan masih terlihat bagus, belum ada lubang rayap atau jejak keropos kayu. Kaca jendela masih baik, sudah kinclong. Di dalam ruang sudah disiapkan sebuah tempat tidur persalinan yang dibawa dari Kota Bengkulu. Ada sebuah wastafel untuk membersihkan tangan setelah praktik dan juga terdapat sebuah kamar mandi kecil yang dapat digunakan oleh pasien.

Bagian plafon masih bagus, tidak ada yang terkelupas atau rusak. Dinding masih baik dengan cet biru muda. Ventilasi juga masih oke. Airin puas dengan ruang ini.

Airin tersenyum lega. Apalagi saat menatap etalase gagah yang akan digunakan sebagai tempat penyimpanan obat-obatan. Impiannya membuka praktik di pedesaan segera terwujud. Dia duduk di kursi. Meja di hadapan belum memiliki taplak.

Istri pengawas perkebunan Oelong ini merasa perlu menambahkan kaca agar ruang tampak sedikit luas, dan menempelkan poster-poster kesehatan. Di depan ruang akan diperlukan sebuah kursi panjang sebagai tempat pasien menunggu. Semua sudah dicatat dalam benak. Hanya tinggal menyampaikannya dengan sang suami. Rencananya praktik akan dibuka lusa. Jadi, masih ada waktu mempersiapkan apa saja yang belum tersedia.

***

Sore harinya Airin sudah menunggu kepulangan sang suami dari kantor. Dia duduk di teras bersama Elang yang sedang menderetkan mobil-mobilan. Pak Kliwon dan Bu Mariah sedang mengobrol sama Bik Nuri di belakang.

Langit sudah mulai gelap, tetapi Haikal belum juga pulang. Airin tampak gelisah saat melirik jam di dinding dalam. Tak biasanya sang suami terlambat pulang hingga pukul 18.00. Dalam hati ia terus berharap tak ada sesuatu hal yang buruk menimpa suaminya.

Elang berdiri ketika seorang perempuan berdiri di pinggir teras. Tangannya mengguncang bahu ibunya lalu menunjuk ke tempat sosok yang berdiri dengan wajah pucat. Airin terkejut, sebab perempuan berbaju merah dan berkacamata hitam itu berdiri tepat di belakangnya.

"Eh, Mbak, ada perlu apa, ya?" Airin berdiri sambil memaksakan senyum.

"Saya ke sini mencari kucing saya," jawab perempuan itu dengan tatapan tajam dan ekspresi yang sangat kaku.

"Kucing Mbak warnanya apa?" tanya Airin dengan ramah.

"Abu-abu."

"Maaf, Mbak, saya gak lihat kucingnya main ke sini. Mungkin dia—"

Meong ....

Seekor kucing abu-abu tiba-tiba berjalan keluar dari dalam, Mendung mengekor di belakangnya. Airin melongo. Cirinya benar-benar mirip dengan Mendung. Perempuan itu langsung menyambut si kucing yang tampak sangat jinak di tangannya.

"Permisi," kata perempuan itu, kemudian berlalu.

Airin bergeming seraya menatap punggung perempuan itu. Mendung menggesek-gesekkan badan dan menimbulkan geli, hal ini membuat ibunya Elang kembali duduk.