Semburat awan putih menghias indahnya cakrawala yang membentang di atas bumi. Seakan menjadi payung peneduh untuk semua manusia dengan menghalau cahaya sang surya untuk tidak menembus dan menyinari apapun yang ada di bawahnya. Pagi ini sedikit mendung. Meskipun bukan awan hitam pekat yang menjadi penghias di atas langit, namun gumpalan awan putih sukses menghalau cahaya mentari untuk menghangatkan pagi.
Davira menatap mamanya sayu dari balik ambang pintu yang terbuka lebar. Mengamati setiap gerak gerik wanita berusia kepala empat itu yang masih sibuk menata koper dan beberapa barang bawaannya masuk ke dalam bagasi mobil.
Sesekali Diana melirik anak semata wayangnya. Tersenyum simpul meskipun ia tahu bahwa Davkra masih merajuk sebab kejadian kemarin malam yang mengharuskannya pulang seorang diri sebab Davira yang keluar dan 'kabur' dari jangkaunnya. Gadis itu tak langsung pulang ke rumah. Kiranya jarum jam menunggu angka 10 lah, batang hidung gadis bertubuh sedikit semampai itu tertangkap dengan jelas oleh kedua lensa pekat milik Diana.
Wanita yang menjadi single parent bertahun-tahun lamanya itu tak langsung menghampiri sang anak dan menariknya untuk mendekat. Bercengkrama ringan sembari melepas segala ego dan amarah yang ada. Jujur saja, Diana merasa begitu bersalah setelah meninggikan nada bicaranya pada sang anak gadis. Membuat luka baru di atas luka lama milik Davira Faranisa.
Membiarkan dengan terus memandanginya dari jauh hingga punggung sang putri hilang setelah naik ke lantai dua dan pintu kamarnya tertutup rapat adalah keputusan Diana kemarin malam. Sebab mengajak Davira untuk mengobrol dalam keadaan hati yang sedang kalut tak akan menghasilkan apapun. Ego gadis itu tinggi jikalau seseorang 'menyentil' luka yang ada dalam hatinya. Membuatnya keras kepala dan tak akan pernah mau mendengar siapapun lagi. Diana paham benar itu, sifat yang dimiliki putrinya mirip seseorang.
--dan orang itu adalah Denis Handi Putro, papa dari seorang Davira Faranisa.
Wanita itu berjalan mendekat. Dengan tak mengurangi senyum di wajahnya, ia menyebut nama gadis dengan seragam sekolah yang sudah melekat rapi membalut tubuh mungil sedikit semampai miliknya itu. Davira Diam. Tak mengubris banyak hanya terus memberi tatapan untuk mamanya itu.
"Mama akan berangkat habis ini. Besok Weekend mungkin mama telfon kamu buat tanya kabar. Jangan tidur di rumah sendirian, sepulang sekolah baliknya ke rumah Tante Desi, Oke?" kata mamanya memperintah panjang nan lebar.
Davira hanya mengangguk. Tak mau memberi suara untuk merespon kalimat mamanya itu. Seakan sudah paham akan peringai baik dan buruk gadis itu saat dirinya sedang merajuk seperti ini, Diana hanya tersenyum. Mengulurkan tangannya kemudian mengusap puncak kepala putri semata wayangnya yang sedikit lebih tinggi darinya itu.
"Jangan terlalu banyak main dan jaga pola makannya. Diet bukan cara yang benar untuk menjalani hidup," kekeh Diana mencoba untuk mencairkan suasana. Davira kini tersenyum. Sejenak menunduk dan membiarkan helai demi helai rambutnya turun dari batas telinganya yang sedikit cuping.
"Mama berangkat," pungkasnya menutup kalimat. Gadis di depannya masih diam. Lagi-lagi mengangguk dan membiarkan tubuh krempeng mamanya itu berputar dan mengambil langkah untuk kembali menjauh darinya.
"Mama juga harus jaga kesehatan mama!" teriak Davira kemudian. Membuat wanita yang tadinya berjalan ragu meninggalkan putrinya itu kini terhenti dan memutar tubuhnya. Mengembangkan senyum manis sembari mengangguk paham.
"Davira tunggun telepon dari mama," lanjutnya.
"Mama pasti menelepon," sahut Diana sembari melambaikan tangannya ringan yang juga dibalas dengan lambaian ragu dari Davira Faranisa. Bukannya tak mau melambai pada mamanya yang akan pergi meninggalkannya beberapa hari dengan menginap di negara tetangga, namun Davira tak pernah melambai untuk merespon pada siapapun yang akan datang atau pergi darinya. Sebab, itu terlalu kekanak-kanakan menurutnya.
Diana masuk ke dalam mobil. Memakai sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobilnya. Sejenak melirik spion untuk melihat perawakan tubuh Davira yang masih kokoh dalam posisi dan tatapan hangatnya. Sungguh, jika ditelisik lebih dalam lagi pasal keinginannya untuk pergi dari negara ini dan meninggalkan Davira beberapa hari, jawabannya adalah tidak bisa! Ia sangat berat hati saat ini. Meskipun sudah menitipkan anak gadisnya pada orang yang ia percayai, namun beda cerita jikalau suaminya sendirilah yang menjadi orang kepercayaannya saat ini.
Mobil merah itu melaju dengan kecepatan sedang. Meninggalkan rumah beserta gadis yang kini memutar tubuhnya dan masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas ransel yang biasa dikenakan untuk datang ke sekolah. Jarum jam baru menunjukkan pukul enam pagi itu artinya Arka tak akan datang dan menjemputnya sekarang. Jadi, lebih baik ia berjalan kaki untuk sampai ke halte bus dan menunggu bus pertama datang selama beberapa menit saja. Dari pada harus menunggu Arka selama setengah jam lebih lamanya.
Davira mengunci pintu rumahnya. Berjalan ringan menyusuri halaman kemudian juga mengembok gerbang rumahnya. Memasukkan dua kunci yang diikatkan menjadi satu itu ke dalam saku rok pendeknya kemudian berjalan ringan menjauhi rumahnya itu. Sebenarnya sih, Diana —Mama Davira sudah menawarkan pada putrinya untuk berangkat bersama saja. Namun, gadis itu menolak dengan alasan kuat bahwa ini masih terlalu pagi untuk datang ke sekolah. Akan bosan jikalau Davira menunggu di dalam kelas sembari bermain gawai dan terus melirik jam dinding untuk seakan berkomunikasi agar mempercepat detakkannya.
Gadis itu terus berjalan menyusuri jalanan komplek dan hampir saja berbelok di ujung perempatan jalan, namun suara moge kini menghentikan langkahnya. Ia menoleh. Menatap moge yang kini memelan seiring dengan senyumanan sang pengendara yang ditujukan padanya.
"Bener 'kan? Lo gak sabaran." Arka menyela sesaat setelah moge yang ditumpanginya berhenti di sisi Davira. Gadis itu diam sembari melipat keningnya samar. Tak mengerti sebab kedatangan Arka yang terkesan tiba-tiba begini.
"Mama bilang Tante Diana akan pergi pukul enam. Kalau kamu ikut bareng sama mama kamu, syukur. Tapu feeling-ku enggak."Arka terkekeh. Menatap gadis yang kini masih diam enggan berusara sedikitpun.
"Lo masih marah sama keluarga gue karena semalem itu?" tanya Arka asal menebak sebab sifat aneh dari Davira pagi ini. Jujur saja ketimbang diam membisu tak mau bersuara seperti ini, Arka lebih suka kalau Davira menjadi nenek sihir yang suka mengoceh dan mengumpat padanya.
"Gak usah asal nebak," sahut Davira cuek.
"Terus?"
"Kalau Lo mau jemput gue buat sekolah, mending lo pergi sendiri." Davira berkata dengan memulai langkahnya kembali. Meninggalkan Arka yang masih 'nangkring' di atas moge sembari mengenakan helm hitam miliknya.
"Ra!" panggilnya kini turun dari motor gede-nya. Berlari kecil untuk mengejar Davira dan menarik tangan gadis itu untuk membawanya mendekat padanya.
"Lo gak mau sekolah?" tanyannya sembari memberi tatapan pada gadis yang kini mengangguk ringan.
"Kenapa?"
"Gue udah terlanjur kirim surat ijin sebab mau ngater mama ke bandara awalnya. Tapi, rencana berubah dan surat ijin tak bisa dicabut lagi 'kan?" Davira kini menjelaskan. Membuat Arka menyeringai samar sesaat setelah mendengar penjelasan dari Davira.
Gadis itu ingat jikalau beberapa hari yang lalu, ia sudah menyuruh mamanya menuliskan sebuah surat ijin dan menandatanginya untuk diserahkan pada pihak sekolah perihal ketidakhadirannya hari ini. Namun, rencana berubah sesaat setelah sebuah panggilan datang dan mengatakan pada si mama bahwa tak perlu anak gadis yang menghantarnya, namun Burhan— Papa dari Arka-lah yang akan menghantarnya nanti. Diana hanya cukup datang ke kantor Burhan saja pagi ini, sebab pria berkumis itu sudah berangkat pagi buta tadi. Burhan lah yang akan mengendarai mobilnya kembali ke rumah dan menyimpannya lagi di dalam bagasi. Menjemput lagi Diana jikalau wanita itu kembali nantinya.
Diana sempat bertanya pada Davira perihal surat ijin yang dituliskannya kemarin. Dengan tegas Davira menjawab bahwa surat itu masih ada dalam tasnya sebab rencana menyerahkan adalah selisih satu hari dengan kepergiaan mamanya nanti. Davira dusta. Sebab dalam pikirannya, inilah saat yang tepat menjalani kehidupan pribadinya sebagai seorang remaja bebas tanpa perintah dan kekangan dari siapapun. Katakan saja seperti, Davira memang sudah berniat untuk membolos hari ini sejak jauh-jauh hari tanpa memberi tahu Arka si sahabat kecilnya yang akan selalu mendapat berita terbaru perihal keadaan Davira Faranisa sebelumnya.
"Bisa aja, kalau lo mau gue ban—"
"Gue gak suka ngrepotin orang." Davira menyela. Melepas kasar tangan Arka kemudian kembali berjalan menjauh dari remaja itu.
"Kalau lo bolos gue ikut!" teriaknya. Membuat gadis yang tadinya berjalan tegas tak ragu sedikitpun itu menoleh pada Arka. Mengembangkan senyum manis sembari mengacungkan jempolnya.
"Itu baru sahabat gue," katanya berlari ke arah remaja yang kini menggeleng samar untuk kelakuan 'bocah' milik Davira Faranisa. Gadis itu kini tersenyum sumringah. Menatap Arka sembari mengulur tangannya untuk memberi israyat pada remaja itu agar lekas datang padanya.
Davira mengenakan helm yang sengaja disediakan untuknya. Berdiri di sisi moto gede dan menunggu Arka untuk datang kembali padanya.
"Lo yakin mau ikut gue bolos?" tanya Davira kemudian.
Arka mengangguk. "Lo gak mau gue temenin?"
"Kalo ada orang lain jawabannya enggak. Tapi kepaksanya cuma ada lo, gue mau." Davira tertawa ringan. Menampilkan deretan gigi putuh nan rapi miliknya.
Arka berdecak lirih. Mengetuk perlahan helm yang dikenakan gadis yang hanya setinggi pundaknya itu.
"Mau ke mana?" tanya Arka di sela tawa milik Davira Faranisa.
Gadis itu diam sejenak. Menarik-narik dagu lancip dan sedikit memutar bola matanya untuk memikirkan tempat yang cocok untuknya menghabiskan hari bersama si sahabat kecilnya ini. Sebuah tempat yang damai di mana ia bisa makan sepuasnya dan berbicang bersama Arka meningat belakang ini, dirinya selalu saja sibuk dan seakan semesta mencoba menjauhkannya dengan seorang Arka Aditnya.
"Makan, bermain, dan nonton biskop." Davira akhirnya menyela. Remaja yang tadinya diam untuk menunggu balasan darinya itu kini mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
"Tapi ...." Gadis itu kembali menyela. Menatap remaja yang juga ikut menatapnya heran.
"Mama gak ngasih uang jajan banyak. Jadi berhubung ada lo, lo traktir gue sebagai tanda permintamaafan atas Tante Desi kemaren," sambung Davira tercengir kuda.
Arka tertawa. Mengangguk untuk kalimat Davira barusan itu. Dirinya paham benar, jikalau alasan yang dikatakan Davira tak benar adanya. Gadis itu tak akan pernah menganggap keluarganya bersalah padanya. Alasan yang dilontarkan Davira barusan adalah sebuah kalimat yang seakan memberi tahu Arka bahwa Davira ingin diperlakukan seperti anak kecil dengan penuh kasih sayang seorang sahabat lama.
...To be Continued...