Siang datang menyapa dengan riangannya. Seakan ingin menghibur seluruh siswa siswi yang penat setelah berjam-jam menjalankan kewajibannya untuk menuntut ilmu, kini saatnya istirahat tiba!
Adam Liandra Kin, memilih tempat di pojok ruangan kantin untuk menyantap semangkuk bakso panas yang ia pesan melalui Kayla Jovanka—gadis berparas ayu yang kini sudah berada di sisinya dengan semangkuk soto berkuah hitam sebab kecap manis yang dituangkan gadis itu ke dalamnya. Sungguh, momen yang langka melihat remaja tampan duduk bersama seorang gadis berparas ayu di sisinya. Mengabaikan puluhan pasang mata yang terus saja menaruh fokus ke arah keduanya. Bukan pasal paras tampan seorang Adam Liandra Kin kali ini, akan tetapi tentang kedekatan remaja itu bersama seorang gadis berhidung lancip dan bibir mungil merah muda yang membuat parasnya sempurna tak kurang apapun.
Siapa sangka jikalau Kayla Jovanka, si teman sekelaslah yang mampu mencuri perhatian Adam sampai sejauh ini. Mengabaikan puluhan gadis-gadis cantik yang mengantri untuk dijadikan pacar olehnya.
"Lo risih gak dilihatin gitu?" bisik Adam di tengah kunyahannya. Gadis di sisinya diam. Mengecap perlahan kemudian menelan sesuap nasi soto yang ada di dalam mulutnya.
Ia menggeleng kemudian. "Biarin aja. Mereka 'kan juga punya mata," katanya menimpali.
Adan terkekeh singkat. Cueknya Kayla memang 'sesuatu' untuknya.
"Lo gak risih digosipin nantinya?"
Cerewet! Selain brengsek Adam Liandra Kin itu sedikit cerewet jika sudah nyaman bersama dengan seseorang, seperti saat bersama Kayla Jovanka misalnya.
"Dam, yang bikin gue risih itu lo!" ketusnya menjawab. Meletakkan sendok yang ada dalam genggamannya dengan kasar. Suara dentingan sendok beradu dengan sisi mangkok kaca nyaring terdengar di kedua telinga remaja itu meskipun suasana kantin sedang ramai-ramainya saat ini.
Kayla memberi tatapan aneh pada remaja di sisinya itu. Cerewet dan brengseknya Adam tertutup oleh paras tampan mumpuni yang tak luput dari kata sempurna jika seseorang mendeskripsikannya, jadi ... syukur deh. Sebab tak akan ada gadis yang ilfeel dengannya sebab peringai cerewet dan brengseknya itu.
"Karena lo cerewet begini, gue jadi gak bisa nikmatin makan siang." Kayla memprotes. Memanyunkan bibirnya jelas sembari mengernyitkan dahinya samar.
Adam tertawa. Melepas sendok yang ada dalam genggamannya kemudian menjulurkan tangannya untuk mengacak kasar puncak kepala gadis cantik itu. "Ck, iya tuan putri. Maaf ya," selanya di tengah kekehan kecil yang ia buat.
Karena adegan itu ... Kayla kembali medapat tatapan sorot mata tajam bak ujung belati yang siap menggores permukaan kulit putih susunya. Sejenak bisikan samar terdengar di kedua lubang telinganya. Seakan sedang mencoba menghakimi gadis cantik yang sedang 'bermain' bersama remaja tampan yang menjabat sebagai ketua basket itu.
Akan tetapi, bagi seorang Kayla Jovanka itu semua tak berarti apapun. Gadis itu adalah tipe manusia yang berkepala batu dan 'bermuka badak'. Tak akan pernah mau mendengarkan apa kata orang tentang dirinya. Sifatnya satu ini sedikit mirip dengan peringai seorang Davira Faranisa. Bedanya, kalau Kayla sudah tak tahan dengan diam dan sifat tak acuhnya, ia akan memutuskan untuk memilih jalan datang dan 'mendobrak' pintu pertahanan orang-orang yang mengganggu dirinya. Katakan saja seperti saat ia datang dan menemui Davira Faranisa kemarin.
Jika Davira, ia adalah pendiam nan acuh pada semua caci maki, gosip, berita, dan hal-hal simpan siur tentang dirinya yang masuk ke dalam lubang telinga gadis itu. Muak atau tak muak, tetap saja gadis itu akan diam bungkam dan mengabaikan. Sebab baginya, kehidupannya adalah miliknya. Bukan milik orang-orang si tukang gosip dan penyebar berita bohong untuk menjatuhkannya.
--dan dari kejauhan, seseorang memperhatikan keduanya. Bukan hanya sepasang lensa, namun tiga. Ya, tiga pasang lensa bewarna identik sama-sama memusatkan tatapan ke arah dua insan manusia yang sedang asik dengan dunia mereka berdua, Adam Liandra Kin dan Kayla Jovanka.
Tatapan pertama adalah sepasang lensa tajam milik Arka Aditya. Menatap dari jarak yang cukup jauh dan sesekali tatapannya hilang sebab teman-teman sebaya dengannya yang berlalu lalang memotong fokus sorot matanya untuk Adam. Tak berubah ekspresi, hanya diam ber-pose mematung bak es balok dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam sisi saku celana abu panjangnya. Lalu, ia tersenyum picik.
Tatapan kedua adalah milik Davina Fradella Putri. Gadis itu menatap nanar sedikit semburat kekesalan ada di atas paras cantiknya. Layaknya fans Adam yang lain, gadis itu tak bisa menerimanya. Diam-diam Adam mengkhianati kesetiaannya sebagai idola remaja yang tak bisa menjaga hati para fans-nya.
Oke, Davina berlebihan! Adam tak salah dengan apa yang dilakukannya sekarang. Toh juga, sebelum janur kuning melengkung yang mengharuskannya untuk berucap janji pada gadis pilihannya, Adam masih berkesempatan untuk 'bermain' bersama siapa saja asalkan itu menyandang status single bukan seorang janda atau parahnya adalah istri seorang pengusaha kaya!
Lalu tatapan terakhir, milik gadis pragma bernama Davira Faranisa. Ia menatap sayu sedikit malas untuk memberi kesan pertama pada remaja yang masih asik dengan canda tawa haha-hihi yang ia lakukan bersama Kayla Jovanka—gadis yang sekarang membuat Davira berdecak dan mendengus hebat hingga membuat dua teman sebayanya itu menoleh pada gadis yang kini membuang tatapannya untuk Adam. Sumpah demi apapun, Arka dan Davina akan salah paham jikalau gadis itu tak kunjung menjelaskan maksud dari dengusan dan decakkan kekesalan yang terlontar keluar dari mulutnya itu.
Ya, kalau hanya dikira Davira kesal sebab suasana kantin ramai bak karnaval di pasar minggu. Kalau ternyata mereka salah paham dengan Davira yang sedang menaruh cemburu pada Adam bagaimana? 'Kan sialan!
"Lo kenapa, Ra?" tanya Davina membuyarkan fokua gadis itu.
Davira sejenak menoleh. Samar tersentak sebab pertanyaan tiba-tiba dilontarkan padanya.
"Gue?" Davira menunjuk dirinya sendiri. Menatap Davina yang jelas mengerutkan dahinya tanda tak mengerti ada dalam benak gadis itu saat ini.
"Gue laper," katanya beralasan.
"Lo kesel karena lo laper?" tanyannya meyakinkan.
Davira mengangguk. Tersenyum kuda sembari mengusap-usap perut datarnya.
"Kalau gitu, kita makan di sana!" pekik remaja tampan menyela keduanya. Menujuk bangku panjang kosong yang ada di depan Adam juga Kayla Jovanka.
Davina menatap dengan kedua bola mata yang berkilat. "Setuju banget!" sahutnya bersemangat. Segera ia menarik tangan Arka untuk cepat sampai ke tujuan mereka. Meninggalkan Davira yang masih tertinggal di tempatnya berdiri sekarang ini. Gadis itu menatap jauh, seakan tak ikhlas jikalau dua teman sekelasnya itu datang dan bergabung untuk makan siang bersama remaja brengsek dan gadis tak ada akhlak seperti Kayla Jovanka.
"Ra! Buruan!" Akhirnya Davina kembali memutar tubuhnya. Melepaskan tarikannya pada pergelangan Arka Aditya untuk mengijinkan pria itu pergi terlebih dahulu.
"Iya," sahutnya lirih tersenyum kaku.
Davina kembali melanjutkan langkah. Mempercepat irama kakinya untuk segera sampai ke meja yang sekarang berisi tiga orang remaja yang saling sapa satu sama lain.
Davira berjalan gontai. Ditatapnya meja Adam yang hampir penuh bangkunya jikalau ia datang ke sana. Remaja itu tampak akrab dan tak keberatan dengan kedatangan Arka maupun Davina yang bisa saja, mengganggu momen indahnya bersama Kayla Jovanka.
"Kalian berdua doang?" lirih suara Adam kini terdengar di telinga Davira. Gadis itu, sudah hampir sampai di sisi meja makan Adam.
"Sama nenek sihir." Arka menjawab sembari terkekeh kecil. Mendongakkan wajahnya dan melemparkan sorot mata tajamnya ke arah gadis yang hanya diam sesaat sampai di sisi meja yang penuh dengan teman-teman sebayanya itu.
Adam menoleh. Bersama dengan perubahan sorot matanya, kini raut wajah remaja itu juga ikut berganti lain. Semburat wajah bahagia terpancar jelas di atas visual tampannya. Sejenak tersenyum simpul untuk menyambut kedatangan gadis yang bahkan tak meliriknya sedikit pun saat ini.
Toh juga, untuk apa? Davira Faranisa sudah menatap Adam dari kejauhan tadi. Jikalau kembali menatapnya saat ini, untuk apa? Sekali lagi, untuk apa? Wajah, tubuh, fisik, dan peringai remaja itu tak akan berubah menjadi lebih baik 'kan? Bukan. Bukan untuk wajah, tubuh dan fisiknya, namun hanya untuk peringainya yang diharapkan gadis itu untuk berubah menjadi lebih mulia dari sebelumnya.
"Aku boleh gabung?" tanya berbasa-basi.
Tak ada yang menjawabnya. Semua diam membisu sejenak seakan sedang terpesona dengan kecantikan gadis yang kini tersenyum canggung itu.
Tidak! Itu bohong! Hahaha.
Arka diam sebab ia terkejut dengan peringai sopan yang ditunjukkan gadis yang dipanggilnya dengan sebutan nenek sihir barusan itu. Biasanya, Davira akan langsung duduk dan mengusir siapapun yang tak ia sukai duduk di sisinya. Katakan saja, dulu gadis itu pernah mengusir temannya ketika ia ingin duduk di bawah pohon rindang di tengah taman. Membuat si teman kecilnya itu menangis sebab peringai nakal yang ditunjukkan oleh gadis itu dulu.
Untuk Davina, gadis itu diam sebab ... ya tentu boleh! Tak usah bertanya begitu dong, ratu halu!
Lalu untuk Kayla Jovanka yang kini menatap Davira dengan penuh tatapan tak suka hanya diam sebab ia tak ingin mengubris gadis seusia dengannya itu. Katakan saja seperti mengabaikan orang yang tak disukai. Sebab katanya, hukuman paling berat dari sebuah kesalahan adalah mengabaikan.
Adam juga ikut diam, sebab dirinya terpesona! Ya. Terpesona. Benar dugaan awal kalian yang menyebut bahwa semua diam seakan terpesona dengan kecantikan Davira. Dugaan itu valid untuk Adam Liandra Kin.
"Boleh, kok." Adam menjawab dengan nada lembutnya.
Kayla tersedak. Mampus! Gadis itu segera mengambil es teh yang ada di sisinya. Menyedotnya kasar kemudian melirik Adam yang memberi tatapan aneh untuknya. Bukan hanya Adam tapi juga Arka, Davira, dan Davina.
"Pesen dulu, Ra!" Arka kemudian menyela di tengah keheningan di antara mereka yang baru saja ingin membentang.
Davira berdecak. "Pesen sendiri lah, brengsek."
Sifat buruknya, kembali lagi!
"Dih, sekalian lo yang berdiri," protes Arka menyahut. Davina mengetuk sisi meja. Seakan menyela kedua sahabat aneh yang baru saja ingin berdebat itu.
"Gue setuju," katanya menyela.
Davira menyipitkan matanya. Menghela napasnya kasar kemudian menegadahkan tangannya untuk meminta uang pada temannya.
Davina merogoh saku bajunya. "Bakso aja gak pakek nasi, es tehnya satu." Lancar tak ada sela. Memberikan selembar uang dua puluh ribuan pada Davira.
"Lo?" tanyanya pada Arka.
"Biasa." Arka menjawab singkat. Tak merespon, gadis itu masih diam di tempatnya. Oh, iya uangnya!
"Bayarin dulu. Nanti di rumah gue ganti." Arka tersenyum kuda kemudian. Menatap Davira yang kini memberi tatapan malas pada remaja brengsek nan menyebalkan ini.
'Ngutang' ke Davira adalah caranya bertahan hidup di sekolah dan di luar rumah!
Adam menatap keduanya. Kemudian memusatkan sorot matanya pada punggung Davira yang hilang setelah menerobos kerumunan yang ada di depannya untuk sampai ke warung bakso di kantin sekolahnya itu.
Kalimat terakhir Arka membuatnya kini berpikir, sampai di mana hubungan mereka berdua saat ini?
...To be Continued...