Iam senyum geli mengingat kebersamaannya dengan Anna saat pelajaran biologi. Sambil melamun ia memandang keluar jendela kelasnya dengan berpangkutangan. Dari atas ruang kelas, Iam melihat sekumpulan murid dari klub sepakbola dengan tim pesoraknya berkumpul di lapangan.
Seperti biasanya pada jam-jam seperti ini, mereka akan bersiap untuk pemanasan awal dan kemudian latihan untuk pertandingan. Sementara anak-anak yang bukan anggota, hanya akan menonton dari pinggir lapangan.
"Tumben kau mau menonton tim sepakbola latihan?" tanya Jessi yang tiba-tiba masuk dan menghampiri Iam. Ia melirik ke arah lapangan sebentar lalu kemudian duduk di meja.
"Hanya ingin melihat saja. Apa tidak boleh?" balas Iam.
"Boleh sih," jawab Jessi, "Tapi biasanya kau akan sibuk dengan tugasmu atau paling tidak dengan buku-buku tebalmu itu. Kau sering mengatakan, menonton itu hanya untuk orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Aku masih ingat dengan sangat jelas betapa sulitnya aku mengajakmu keluar hanya untuk menonton sebuah pertandingan. Padahal 'kan saat itu adalah pertandingan yang penting. Pertandingan menyangkut harga diri kampus kita. Pertandingan yang mendebarkan antara kampus kita dengan kampus rival kita."
"Tapi akhirnya aku menonton pertandingan itu juga 'kan?"
"Ya... iya. Tapi tetap saja itu sulit karena kau terus-terusan saja menolak. Dan sekarang lihat! Kau diam-diam mulai menyukai pertandingan bola. Iya, 'kan?" tanya Jessi bersemangat.
Iam tertawa, "Tidak. Aku bukannya menyukai pertandingannya."
"Lalu apa yang kau sukai?" tanya Jessi heran.
Iam hanya diam dan kembali melihat ke arah tim pesorak yang ada di lapangan. Jadi, gadis itu adalah anggota pesorak tim sepakbola kampus ini?! Iam mengulas sebuah senyum.
Ia tak menyangka ternyata teriakan Anna bisa begitu keras mengingat suara gadis itu yang selalu pelan dan halus setiap kali ia berbicara dengannya. Di tubuh mungil itu ternyata tersimpan kekuatan yang besar. Bukankah ini sungguh mengejutkan?
"Hei! Hei! Jangan membuatku takut dengan seringaianmu itu. Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?" tanya Jessi agak ngeri melihat Iam yang mendadak tersenyum ke arah lapangan tanpa sebab yang jelas.
"Tiba-tiba saja aku ingat pada seseorang. Seorang yang dulu pernah menangis karena tidak bisa masuk dalam tim yang diinginkannya. Mungkinkah itu dia?" Perkataan Iam malah membuat Jessi semakin bingung.
"Bukan apa-apa. Tak usah dipikirkan. Aku hanya tinggal menanyakannya. Atau memastikannya saja. Aku pergi dulu, ya Jess. Bye!"
Iam mengambil tasnya lalu berjalan keluar meninggalkan Jessi yang terbengong-bengong.
"Haiz! Anak itu mengacuhkanku lagi! Benar-benar!" teriaknya jengkel.
***
Iam menunggui Anna selesai latihan dan tak sabaran ingin memastikan keingintahuannya itu. Apa benar Anna adalah wanita yang sama dengan wanita yang pernah ditemuinya beberapa tahun lalu. Walaupun tidak ingat kapan tepatnya, tapi Iam masih ingat betul kejadian saat itu.
Anna keluar dari ruang klub dan langsung terkejut begitu melihat Iam sudah berdiri diluar.
"A-apa yang kau lakukan di sini?" tanya Anna bingung.
"Kau mencari seseorang? Mau aku panggilkan?" tanya Anna. Menawarkan bantuan. Ia yakin Iam pasti sedang menunggu seseorang.
Iam menggelengkan kepala, "Tidak. Kau tidak perlu memanggil siapapun karena aku ke sini untuk mencarimu. Apa kita bisa bicara di luar?"
Anna terkejut mendapati Iam sengaja datang untuk mencarinya.
Ada sesuatu yang penting apa sampai Iam datang khusus kemari. Dan darimana iam tahu kalau Anna ada di sana? Anna semakin bingung.
Tapi tetap mengikuti Iam. Mereka menuju sebuah taman yang ada di dekat kampus dan hal ini semakin membuat Anna gugup dan bertanya-tanya. Ia melihat ke sekeliling.
Bukankah ini adalah taman yang sama dimana ia selalu memperhatikan Iam dari jauh saat laki-laki itu tengah sibuk dengan pekerjaannya sendiri? Kenapa dia mengajaknya kemari? Apa yang mau dibicarakannya? Apa sesuatu yang serius? Ini membuat Anna semakin tidak tenang.
"Udara di sini segar bukan?" Iam membuka suara.
Anna menoleh, "Ya?"
Anna bingung karena Iam tiba-tiba saja membuka percakapan dengan pertanyaan tidak jelas. Bukankah setiap taman pastilah segar karena selalu akan ada banyak sekali tanaman yang tumbuh di dalamnya?
Walaupun tidak mengerti ke arah mata ucapan Iam. Anna tetap mengangguk dan menyetujui ucapannya.
"Dan apa itu berhasil membuatmu berhenti menangis?" Lanjut Iam.
"Apa?" Anna semakin tidak mengerti.
"Kau... gadis yang menangis seorang diri di belakang kampus dua tahun yang lalu karena gagal masuk tim cheerlyders 'kan? Aku memang tidak sempat melihat wajahmu karena kau terus-terusan menangis sambil berjongkok dan menutup wajahmu dengan kedua tanganmu itu. Tapi aku sangat yakin bahwa aku tidak salah menebaknya. Apa aku benar?" Pernyataan Iam membuat Anna langsung tertengun.
"D-dari mana kau mengetahuinya?" tanya Anna takjub.
Iam tersenyum, "Jadi itu memang benar?" tanyanya tak percaya.
"Sungguh tak kusangka. Aku hanya mengira-ngira saja dan mengatakan bahwa aku sangat yakin padahal aku tidak sepenuhnya yakin dengan kejadian yang begitu kebetulan seperti ini. Jadi itu memang kau? Itu benar-benar kau?" tanyanya lagi.
"Kau... masih mengingat kejadian itu?" Anna tak menyangka Iam masih ingat padanya. Hal ini cukup membuatnya tersentuh.
"Apa kau pikir aku akan dengan mudah melupakan orang yang tiba-tiba saja menangis dan memakiku tanpa sebab yang jelas seperti yang kau lakukan padaku waktu itu?" Celetuk Iam.
Anna tertunduk malu. Ia akui, ia memang agak keterlaluan saat itu. Karena gagal dalam seleksi masuk tim cheerlyders, ia kabur dan menangis seorang diri di tempat yang sepi. Ia pikir tidak akan ada orang yang akan ke sana karena memang tempat itu jarang sekali dilewati orang.
Akhirnya tanpa pikir panjang, Anna langsung saja berteriak dan meluapkan semua emosinya tanpa henti. Memaki, mengutuk, bahkan mengatakan kata-kata yang kasar, dilakukannya semua.
Ia tidak tahu setan apa yang menghantuinya saat itu. Selama ini ia tidak pernah sekalipun berkata kasar ataupun memaki orang. Ia dikenal sebagai Anna yang memiliki tutur kata halus dan juga lembut. Tapi... karena saat itu suasana hatinya sedang amat buruk, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya seperti roket.
Dan tanpa ia sadari, ada seseorang yang juga berada di sana dan mendengarkan semua kata-katanya itu. Seorang pria yang bahkan tak dikenalnya ketika itu.
Sehingga karena terlalu malu dan tidak tahu harus berbuat apa, Anna berjongkok terus di tempatnya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Lalu Laki-laki itu mendekatinya dan berdiri tempat di samping Anna, ketika Anna tidak sanggup melihat ke arahnya.
Sampai saat ini, Anna masih ingat kata-kata apa saja yang dikatakan pria itu padanya.
"Kau berhak mengatakan apapun yang kau inginkan. Anggap saja aku tidak mendengarnya. Walaupun itu seolah kau mengataiku karena hanya aku yang berada di sini. Tapi aku rasa, aku bisa memahami situasimu ini. Jadi kau tidak perlu merasa malu," seru pria itu.
Kata-kata itu membuat Anna tersentuh dan malah jadi mulai menangis.
"Aku sudah berusaha. Aku sudah belajar dengan giat. Apa mereka tidak bisa melihat itu?" Anna tanpa sadar meluapkan emosinya.
"Apanya yang kurang terampil. Kau bahkan mengatakan kalau aku tidak punya bakat sama sekali. Jika aku punya bakat, aku tidak mungkin berusaha sekeras ini. Apa kalian pikir aku hanya bermain-main selama ini?" seru Anna lagi. Yang malah semakin membuatnya menangis. Ia menangis sesungutan dan menutupi wajahnya.
"Aku sudah berusaha. Aku... aku benar-benar sudah berusaha.." serunya berulang kali. Dan lama kelamaan, suaranya semakin lama semakin hilang.
Iam menghiburnya, "Bukankah jika kau gagal kali ini, kau tinggal mencobanya lagi? Jika kau gagal... kau hanya perlu memperbaiki kesalahanmu dan mengingat semua perkataan orang-orang terhadapmu. Itu akan bisa membangunmu untuk menjadi yang lebih baik. Lakukan apapun untuk membuat mereka menarik kembali semua ucapan mereka itu tentangmu. Tunjukkan pada mereka kalau kau pantas berada di sana dan mereka sudah salah menilaimu. Bukankah itu yang seharusnya kau lakukan?"
Anna terdiam. Ia mencoba meresapi semua ucapan Iam padanya saat itu. Mencoba lagi?
Itu benar...
Jika ia gagal, maka ia hanya perlu mencobanya lagi. Dan jika itu masih juga gagal, maka ia harus mencobanya terus sampai ia tidak menemukan kata gagal itu lagi. Tidak perduli akan membutuhkan waktu berapa lama, ia akan tetap melakukan apa yang ia sukai. Itulah janjinya pada diri sendiri.
Dan sejak hari itu, Anna akhirnya menemukan seseorang yang menjadi cinta pertamanya.
Iam...
***