webnovel

Love Mare

Love Mare, Love and Nightmare. Love is never a nightmare. Nightmare never relates to love. Pasalnya, malam itu, Suzumi Yukiko membuktikan bahwa kisah cintanya menjadi mimpi terburuk dalam hidupnya, menjadi satu-satunya unsur minus dalam hidupnya yang hampir sempurna. Di malam ketika Ryoma Ayato ㅡkekasihnyaㅡ melamarnya, di malam itu juga, ia harus berjuang sendiri untuk mencapai epilog bahagia bagi kisah cintanya, sekaligus hidupnya.

Seasonal_Girls · 若者
レビュー数が足りません
10 Chs

Chapter 9

"Fuuhh..."

Aku mengerjap sejenak sebelum bangkit dari posisiku yang sekarang. Angin malam yang super dingin membangunkanku begitu saja. Sambil mengusap mata, aku mengedarkan pandanganku.

Astaga, aku tertidur di kelas!

Saat ibuku mengabari bahwa ayah dan ibuku mungkin akan menginap di toko mengingat beberapa hari ini selalu ada pesanan berjibun-jibun. Aku menawarkan diri untuk membantu karena toh, di rumah sendirian pun aku akan kebosanan. Aku akan belajar dan berakhir merenung hingga menangis sebelum tidur.

Tapi, ayahku menyuruhku untuk tidur saja agar aku tidak kelelahan. Akhirnya, setelah jadwal bersih-bersih selesai sekitar jam 4.30, aku memutuskan untuk duduk sebentar di dalam kelas yang kosong, sembari mengerjakan tugas sendiri atau mengulang pelajaran.

Miris sekali, biasanya aku akan selalu ke rumah Hatsumi atau Hatsumi akan selalu ke rumahku. Sekarang, kami bak orang asing yang sama sekali tak mengenal. Tak lagi menyapa dan berbicara pada satu sama lain.

Akhirnya, bukannya belajar, aku tertidur sambil merenungi apa yang harus kulakukan sendiri. Banyak sekali faktor yang mengganggu pikiranku. Hatsumi, Ayato dan kemungkinan-kemungkinan lain.

Baiklah, mari ke tempat favoritku akhir-akhir ini. Mengeratkan sweater di tubuhku yang untungnya sempat kubawa dari rumah, aku menaiki tangga menuju rooftop. Aku segera duduk di kursi yang tersedia setelah menaruh tas ransel yang kubawa.

Akhir-akhir ini, untuk meredakan stress, aku belajar menggambar sketsa. Tidak terlalu bagus karena aku juga baru belajar. Toh, aku tidak begitu serius karena ini hanya bentuk pelampiasanku untuk meredakan stress.

Ketika menggambar, tak biasanya pikiran-pikiran aneh dan tekanan menggangguku. Tetapi, kali ini, semakin aku menggambar, semakin banyak tekanan yang bermunculan di dalam otakku.

Terkadang, aku bahkan takut dengan isi otakku sendiri.

Bagaimana bila aku tak bisa menyelamatkan orang tua Ayato? Aku bahkan tak tahu kapan mereka dibunuh dan di mana. Satu-satunya petunjukku hanyalah Ayato akan dibunuh di rumahnya sendiri, di 5 September 2020. Hari jadi kami yang ke-6.

"Ahhh!" pekikku.

Aku mengerjap beberapa kali, sejenak terperanjat oleh bunyi 'kreteek' yang menandakan isi pensilku yang patah dan benda itu yang entah bagaimana terlepas dari tanganku. Pasti aku menekannya terlalu kuat hingga patah. Dengan napas terengah, aku menatap pasrah ketika pensil itu menggelinding hingga melewati bagian pagar yang sedikit bolong.

Pagar rooftop dipasangi jaring-jaring tinggi untuk mencegah murid-murid terjatuh, namun, entah mengapa, ada sedikit bagian bawah yang berlubang. Tentu saja sekolah tidak akan repot-repot menggantinya. Toh, hanya sedikit. Bahkan, hanya jari kelingking yang cukup untuk melewati lubang itu.

Sialnya, aku melupakan fakta bahwa lubang itu cukup lebar bagi pensilku. Sekarang, benda itu berhenti tepat di ujung lantai rooftop. Mungkin dengan sedikit dorongan angin, pensilku akan jatuh.

Aku berdiri dari posisiku, menarik napas dan berusaha bangkit. Sungguh, untuk berdiri pun rasanya lemas sekali.

Aku berusaha mengambilnya dengan mengaitkan jari kelingkingku, tetapi yang bisa kulakukan hanya menyentuhnya. Aku bahkan hampir mendorongnya jatuh. Sebenarnya, aku bisa saja membeli pensil lain. Tapi, pensil ini pemberian ayahku sejak SD, sudah bertahun-tahun aku menggunakannya. Pensil ini benar-benar terasa pas di genggamanku.

Ugh, tapi benar-benar susah mengambilnya. Penasaran, aku menaiki kursi untuk melihat apakah ada cara lain untuk mengambilnya. Aku menyentuh ujung pagar besi yang cukup tinggi. Aku sempat terpikir untuk berjinjit, menggunakan ujung tongkat sapu untuk mendorong pensilku dari luar pagar. Namun, sepertinya mustahil. Ujung pagar ini bahkan lebih tinggi dariku, bagaimana aku bisa memegang sapunya?

Tiba-tiba saja, seseorang menarik ujung sweater-ku ke belakang. Membuatku memekik terkejut, bersamaan dengan tangan kananku yang secara tiba-tiba ditarik sehingga tubuhku otomatis ikut berbalik.

Dalam ekspetasiku, wajahku akan langsung menyentuh dengan lantai keramik rooftop yang keras. Tetapi, belum sempat aku memikirkan seberapa sakitnya wajahku yang akan terantuk lantai, fakta bahwa tubuhku bahkan tidak menyentuh lantai sama sekali saat terjatuh mengejutkanku.

Tangan kiriku yang bebas mencoba menggenggam apapun yang bisa kugenggam sebagai tumpuan. Namun, yang tersentuh olehku adalah bahu seseorang.

Huh? Apa aku baru saja bilang seseorang?

Untuk memastikan, aku beralih dengan menyentuh bagian lengannya yang ㅡugh.. padat dan berotot. Tipikal lengan laki-laki yang rajin berolahraga. Gosh, ada apa dengan pikiranku?

Aku bahkan tersentak ketika laki-laki itu tiba-tiba saja bernapas ㅡterengah-engah pula. Dengan meremas bahunya sebagai tumpuan, aku bangkit sedikit dan lagi-lagi terkejut saat melihat wajahnya.

"Ayato?!"

Ayato membuka sebelah matanya hanya untuk mengintip wajahku kemudian ia kembali merebahkan tubuhnya dan bernapas lega.

Sebenarnya, ada apa ini? Bagaimana bisa Ayato ada di sini?

"Ayaㅡ"

Oh, aku lupa sopan santunku! Aku lupa bahwa aku tidak berada di posisi menjalin hubungan dengannya.

"K-Kakak Senior, maksudku. Apa yang Senior lakukan di sini?"

Tidak menggubris pertanyaanku, Ayato menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya berkata, "Akan kujelaskan, tapi, Nona, bisakah kau bangkit terlebih dahulu?"

Terburu-buru, aku berusaha bangkit tetapi tubuhku lagi-lagi menubruk tubuhnya karena tanganku yang ditahan olehnya. Sontak, itu membuatnya tersadar dan melepaskan genggaman tangannya padaku.

Saat aku lagi-lagi menjadikan bahunya sebagai tumpuan, aku bisa mendengarnya mendengus.

"Suzumi, aku menolongmu tidak berarti kau bisa seenak jidat menyentuh bahuku terus." komentarnya.

"Toh, aku terjatuh karena Senior yang menahan tanganku."

"Itu tidak menjadi alasan."

"Ya, maafkan aku." responku enggan.

Dalam hati aku mencibir. Cih, tidak tahu saja saat pacaran aku sudah menyentuh lebih dari bahumu. Ups.

"Senior, jadi, apa yang Senior lakukanㅡ"

"Suzumi, kau sudah gila?"

"Huh..?"

"Pikirkan baik-baik sebelum bertindak gegabah! Kau tidak tahu ada orang yang menantimu selamat, kau tidak tahu siapa yang akan hancur hanya karena perbuatan bodohmu!"

Hah? Apa sih yang dia pikirkan?

"S-Seniorㅡ"

"Aku belum selesai bicara. Kau pikir mengakhiri hidupmu adalah jawaban dari masalah? Tidak, Suzumi. Bayangkan bila aku tak menolongmu, apa yang akan terjadi bila kau terlanjur melompat jatuh. Apa kau tidak memikirkan seberapa hancurnya orang tuamu atau saudaramu?"

Omelan Ayato yang panjang lebar membuatku tertawa. Jadi, ia pikir aku akan bunuh diri? Tanpa kemampuan untuk menahan tawaku, aku terkikik.

"Sekarang kau menganggapnya lelucon?"

"Senior, aku tidak berniat bunuh diri." ujarku setelah puas tertawa.

"Apa maksudmu? Aku jelas melihatmuㅡ"

"Aku mau mengambil pensilku yang hampir jatuhㅡ"

Entah dari mana, angin datang sehingga pensilku yang super ringan menggelinding jatuh.

"ㅡsudah jatuh." lanjutku murung.

Aku bisa melihat Ayato yang langsung menutup wajahnya dengan tangan, tampak malu dengan spekulasinya barusan.

"Kenapa kau bahkan bisa berpikiran aku mau bunuh diri, Senior?" tanyaku iseng.

Ayato menatapku barang sejenak kemudian beringsut mundur hingga punggungnya bersandar pada kursi yang kududuki tadi.

"Aku melihatmu menangis selama seminggu ini."

Aku terkejut. Ia... tahu...itu?

Mengetahui maksud dari ekspresiku, Ayato mengangguk kecil. "Kau mungkin tidak sadar, aku selalu diam-diam melihatmu menangis. Awalnya secara tidak sengaja, tetapi pada akhirnya aku menjadi penasaran dan selalu ke rooftop hanya untuk menemukanmu selalu menangis. Aku.. sudah mencoba untuk bertanya, tapi tetap saja aku tidak mampu untuk menyampaikan pertanyaanku ketika sudah melihatmu."

Aku diam saja, masih terkejur dengan fakta bahwa ternyata ada yang tahu aku selalu menangis hampir seminggu ini. Terlebih yang mengetahuinya Ayato.

Setelah itu, Ayato diam. Dengan tubuh bersandar pada kursi, ia menatap lurus ke arah langit malam yang gelap sehingga aku memutuskan untuk menyeret tubuhku dan ikut duduk di sampingnya.

"Aku bertengkar dengan Hatsumi. Mai Hatsumi, sahabatku. Mungkin ini terdengar kekanakan. Untuk beberapa alasan pribadi, aku tak bisa bercerita selengkapnya. Tapi, aku dan Hatsumi sudah dekat sejak SMP. Banyak sekali hal yang sudah kami lalui bersama hingga bisa berteman baik. Aku percaya padanya, dari dulu selalu begitu. Tidak ada yang melindungiku lebih dari Hatsumi. Namun, ada masalahku yang tidak sanggup kuceritakan padanya. Bukan karena aku tak mempercayainya, sekali lagi. Aku hanya tak ingin menambah beban pikirannya. Itulah yang mengganggu pikiranki pada akhir-akhir ini. Berbagai spekulasi menekan mentalku, aku jadi berandai apakah aku salah mengambil tindakan."

Kami berdua terdiam sejenak, dengan aku yang menunduk menahan tangis sementara Ayato tampak sibuk dengan pikirannya.

"Ikuti saja nalurimu."

Aku menoleh dengan keterkejutan, tidak menyangka bahwa ia akan memberikanku saran. Lebih tidak lagi menyangka bahwa ia akan menarik tubuhku mendekat, melingarkan lengannya di bahuku dan menepuk bahu sebelah kananku dengan tangannya yang mengelilingiku.

Air mata lagi-lagi berdesakan turun. Ayato memang tidak pintar menghibur orang, tapi aku hapal sekali, ketika aku sedih dulu, ia akan merangkulku dan menepuk-nepuk bahuku. Ia suka melakukan gerakan-gerakan kecil yang membuat aku merasa disayang.

"Aku yakin ada alasan mengapa kau harus menyembunyikan sesuatu darinya. Mai Hatsumi mungkin saja hanya kecewa. Mungkin itu juga dipicu oleh rasa khawatirnya padamu. Akuㅡ aku sempat bertanya dengannya. Melihat bagaimana kau dan Mai Hatsumi menjauh, aku berasumsi bahwa kalian sedang bertengkar. Jadi, aku menanyakan apa yang terjadi di antara kalian. Mai tidak sekalipun menjawab, namun aku bisa melihat bahwa keadaannya tak lebih baik darimu, Suzumi. Kehilangan-mu membuatnya sama hancurnya."

Aku terkekeh lagi. Gadis itu tidak pernah berubah, selalu berlagak seolah ia kuat sekali.

Berlarut dalam pikiranku, aku bahkan tak sadar saat Ayato bangkit berdiri kemudian menatapku lurus.

"Ayo."

Aku tersentak kemudian menatapnya.

"Apanya?"

"Sudah larut. Ini sudah jam 10, aku akan mengantarmu pulang."

Aku mengerjap sebelum mengangguk. Namun, saat aku berusaha berdiri, rasa nyeri di pergelangan kakiku menyerang tiba-tiba.

"Ada apa?" tanyanya khawatir.

"Sepertinya aku terkilir saat terjatuh tadi.

Untuk kesekian kalinya, aku terkejut saat Ayato mengangkat tubuhku dengan mudahnya kemudian mendudukkanku di kursi sebelum membuka sepatu kets-ku dan melihat pergelangan kakiku yang ㅡoh, astaga, membiru.

Ia menghela napas, kemudian memasangkan sepatuku kembali dengan lembut, menghindari lebam di kakiku.

Ia lalu berjongkok membelakangiku, membuatku terkejut setengah mati kali ini.

"Ayo." Ia menoleh sedikit.

"A-Apa?"

"Naik ke punggungku."