webnovel

8 – Sisi Lain yang Mengerikan 

Don't look at others

When you're with me

Ketika wanita bergaun merah itu perlahan sadar dari pengaruh kekuatan Key dan Demon, dia menggelengkan kepala, berusaha menjernihkan kepalanya. Saat melihatku, wanita itu terbelalak. Dia tampak ingin berdiri, tapi tak bisa, terikat oleh sesuatu tak nampak di kursi tempatnya duduk. Menyerah berusaha berdiri, wanita itu kembali menatapku.

"Gadis ini …"

"Kau bisa menjawab semua pertanyaan kami baik-baik, atau kau bisa memilih pilihan kedua," Key memotong apa pun yang hendak dikatakan wanita itu. "Kami akan harus menyiksamu dulu sebelum kau menjawab semua yang ingin kami tahu."

Aku meringis mendengarnya, mendadak merasa kasihan pada wanita itu.

"Gadis ini benar-benar …"

"Ya." Kali ini Demon yang menyela kalimat wanita itu.

"Tapi, dia … benar-benar cantik." Wanita itu menatapku takjub.

Aku mengerutkan kening. Apa dia masih di bawah pengaruh kekuatan Demon?

"Kau juga, Cantik." Balasan Demon membuatku memutar mata. Meski dia tidak mengatakan hal yang salah. Wanita itu cantik. Rambut hitam sebahunya jatuh di sisi tubuhnya, terlepas dari sanggulan rapinya tadi, sementara matanya yang berwarna hijau tampak begitu jernih.

"Dia … begitu polos," gumam gadis itu lagi, tak menyadari apa yang baru saja dikatakan Demon tentangnya.

Apa gadis itu membicarakan tentangku?

"Jika kau terus mengatakan apa yang seharusnya tidak kau katakan, aku terpaksa harus membungkammu juga," Key kembali mengancam.

Wanita itu seketika menatap Key tajam. "Kau bahkan bisa membunuhku dan aku tidak akan mengatakan apa pun," tantangnya.

"Membunuhmu terlalu mudah. Bagaimana dengan menyiksamu? Um … pikiranmu, mungkin? Tentang keluargamu yang tewas di tangan Iblis?" pancing Key.

Teriakan marah wanita itu memenuhi ruang bawah tanah, membuatku bergidik. Mata hijaunya tampak marah dan … terluka.

"Kau melihat mereka disiksa di depan matamu, lalu dibunuh. Kau selamat karena keluargamu melindungimu dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri," sebut Key.

"Hentikan!" teriak wanita itu. "Hentikan!"

Aku menggigit bibir, iba melihat kesakitan yang mungkin dirasakannya. Jika benar apa yang dikatakan Key tadi …

"Vealene, namamu. Benar?" Key menyebutkan.

Wanita itu mendesis marah.

"Vea, begitu mereka memanggilmu, kan?" Key melanjutkan.

Wanita itu, Vea, memejamkan mata, berusaha menutup pikirannya dari apa pun yang dilakukan Key padanya.

Namun kemudian, dia kembali berteriak kesakitan. Aku mengerutkan kening ketika Demon berjengit. Key juga tampaknya menyadari itu dan menghentikan serangannya.

"Ada apa?" Key bertanya padanya.

Demon menggeleng. "Seranganmu … sepertinya sedikit meleset." Dia meringis.

Key mengangkat alis. "Kau … kena?"

"Sedikit," jawab Demon.

"Well, ini pertama kalinya seranganku seperti ini meleset." Key menatap Demon heran. "Mungkin, kau sedang tidak baik-baik saja. Kau bisa pergi jika kau butuh istirahat. Aku akan memanggilmu lagi jika aku akan pergi. Untuk sementara, aku perlu menginterogasi wanita ini. Kurasa, aku tidak akan pergi ke mana pun sampai aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan."

Demon mengangguk. Dia menatap Vea sekilas, keningnya berkerut, sebelum iblis itu menghilang dalam udara kosong.

"Dia juga bisa menghilang?" tanyaku, teringat pada mimpiku semalam.

"Dia Iblis, Crystal. Tentu saja bisa," jawab Key kalem.

"Dia … Iblis?" Vea tampak terkejut.

Key menyipitkan mata. "Kau tidak bisa merasakannya?"

Vea menggeleng. "Sama sekali," akunya, sorot matanya tampak terluka, marah, dan tak percaya.

Key mengerutkan kening, tampak berpikir keras. "Sepertinya ada yang salah di sini. Tentang kau dan Demon. Sepertinya … ada sesuatu yang mengikat kalian, tanpa kalian sadari."

"Aku? Dan Iblis sialan itu?" Vea menunjukkan ekspresi jijik.

"Hati-hati bicaramu, Pemburu," Key mengingatkan, lalu detik berikutnya, Vea kembali berteriak kesakitan.

"Cukup!" Kali ini aku yang berteriak, membuat Key seketika menoleh ke arahku, terkejut. Well, sepertinya dia terlalu sering bingung dan terkejut malam ini. "Ini sudah sangat larut. Biarkan dia tidur. Dan, sepertinya kau juga sudah sangat lelah. Beristirahatlah, Key," kataku.

Key menelengkan kepala, matanya menyipit curiga ke arahku. "Apa yang kau inginkan? Tiba-tiba bersikap begini manis? Tidak untuk melindungi Pemburu ini, kan?"

Aku berdehem. "Dia sudah menyerangmu, kenapa aku harus melindunginya?"

"Apakah perlu aku membuka pikiranku?" pancingnya.

Aku menggeleng. "Aku juga sudah lelah. Dan aku tidak akan pergi jika kau tidak pergi. Aku tidak suka kau berada di sini hanya dengan wanita itu," kataku, kali ini jujur. Entah kenapa, aku tidak suka jika Key bersama wanita itu, meski hanya untuk menginterogasi atau menyiksanya.

Lagi-lagi, Key menatapku terkejut karena jawabanku. Namun, kali ini dia tidak bertanya atau membantah. Dia bangkit dari duduknya dan menghampiriku yang duduk di sofa di sisi ruangan.

"Ayo." Dia mengulurkan tangan padaku.

Aku tersenyum lebar ketika menyambut uluran tangannya. "Sebenarnya, aku sudah mengantuk, tapi aku akan berkeras tinggal di sini jika kau tidak pergi. Aku benar-benar meniatkan itu," kataku.

Key mendengus pelan. "Aku bahkan tidak terkejut."

Ketika kami berjalan ke pintu, Vea bertanya, pertanyaan yang mengejutkanku,

"Kalian … Pasangan?"

Aku menoleh padanya, lalu menatap Key. "Apa yang dia bicarakan?"

Key tersenyum padaku. "Jangan dipikirkan," katanya. Lalu, dia berkata dengan nada lebih dingin, pada Vea. "Itu bukan urusanmu. Sebaiknya kau mempersiapkan dirimu untuk besok. Karena besok tidak akan berakhir semudah ini," janjinya.

Mendengar itu, desahan pelan lolos dari bibirku, membuat Key kembali menatapku.

"Kau kenapa?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Hanya sedikit lelah," kataku, tak sepenuhnya benar.

Aku hanya tidak suka pikiran tentang Key menyiksa dan menyakiti orang lain. Bahkan meskipun itu seorang Pemburu. Entah kenapa.

***

"Seharian ini kau hanya menatapnya nyaris tanpa jeda." Aku tak dapat menahan kesinisan dalam suaraku ketika kami makan malam esok malamnya. Sama seperti kemarin, hari ini Key kembali menginterogasi Vea, dengan menyiksanya. Namun, wanita itu masih tak mau mengatakan apa pun. Aku bahkan sampai kasihan padanya ketika dia sampai bermimpi buruk tentang hari kematian keluarganya.

Namun, yang membuatku kesal hari ini, Key tampak terlaku fokus, terlalu serius, menatap Vea. Jangan-jangan, dia …

"Aku hanya berusaha membaca ekspresinya. Apa yang membuatmu begitu kesal ketika aku menatapnya, dan bukannya menatapmu? Kau selalu kesal jika aku menatapmu lama-lama, kan? Tapi, dia tidak protes. Kenapa kau harus protes?" balas Key.

"Karena kau mengabaikanku. Kenapa aku ada di sana jika pada akhirnya kau sama sekali tak menganggapku ada?" balasku.

"Seingatku, sudah kukatakan bahwa kau tidak harus berada di sana. Tapi, kau berkeras untuk selalu ada di sana, entah kenapa." Key masih tak mau mengalah.

"Aku hanya khawatir kau akan membunuhnya," ungkapku jujur. "Bagaimanapun, sepertinya dia terikat dengan Demon. Jika sesuatu terjadi padanya, Demon mungkin …"

"Itu baru dugaanku, belum ada kepastian. Dan aku belum bertemu Demon lagi." Key mendesah berat.

Aku mendecakkan lidah kesal.

"Apa lagi sekarang?" tanyanya sabar.

"Tidak ada," ketusku. "Hanya, kurasa akhirnya aku akan punya kesempatan untuk pergi keluar sendiri sementara kau sibuk dengan Pemburu itu."

"Jangan coba-coba, Crystal," dia mengingatkan.

"Mau taruhan?" tantangku.

Key seketika mengangkat tatapannya ke arahku. "Perlukah aku menguncimu di …"

"Cukup," selaku tajam. "Aku bukan anak kecil. Kau yang tidak menepati janjimu! Kau tidak mau membantuku mencari jalan pulang dan hanya mengurungku di rumah ini. Jika kau tidak bisa, setidaknya biarkan Demon menemaniku sementara kau sibuk bermain-main dengan pikiran Pemburu itu. Dan ya, aku muak berada di sana, melihatmu menyiksa orang seperti itu. Aku tidak tahan hingga rasanya aku mulai jijik berada di dekatmu."

Tubuh Key seketika kaku, tatapannya masih tertuju padaku, dan aku tak bisa mengartikan sorot matanya.

"Sayang sekali, kau akan harus bertahan dengan pria yang membuatmu jijik ini untuk sementara waktu. Bahkan meskipun aku harus mengikatmu, aku tidak akan membiarkanmu keluar dari rumah ini tanpaku," katanya dingin. Setelah mengatakan itu, dia bangkit dari duduknya dan berjalan kembali ke arah ruang bawah tanah tempat dia menyekap Vea.

Sepeninggal Key, aku mendesah berat. Kerja bagus, Crystal, aku menyemangati diriku sendiri. Namun entah kenapa, mengingat kata-kata yang kulemparkan padanya tadi, dadaku justru terasa sakit. Tak lagi ingin melanjutkan makan malamku, aku bangkit dari dudukku dan pergi menyusul Key. Setidaknya, aku harus memastikan Key tidak membunuh Vea.

***