webnovel

Sebuah Kenyataan

"Bel," Kevin menyentuh tangan Abel lirih. Baru akan menggenggamnya tapi Abel segera menepis.

"Maaf Vin, aku harus bilang ini semua sama kamu. Aku tahu kamu pasti terkejut. Dan selama 10 tahun ini kamu pun pasti berubah. Kamu juga pasti pernah berhubungan dengan wanita lain selain aku."

"Enngak." Kevin menyanggah dengan cepat. "Aku enggak pernah berhubungan dengan wanita lain selain kamu."

"Jangan bohong. Pasti pernah. Enggak mungkin kamu hidup sendiri selama 10 tahun ini." Jawab Abel ngotot. Seakan-akan Abel memang tahu kehidupannya.

Beberapa saat mereka hanya saling menatap.

"Tapi pada kenyataannya enggak ada wanita lain." Jawab Kevin pada akhirnya. Nada bicaranya terdengar begitu putus asa.

"Kalau enggak ada kenapa kamu mendadak berubah setelah mendapat telepon malam itu? pasti itu dari pacar kamu atau siapa lah. Makanya kamu berubah jadi beda." Mata Kevin membulat lalu dia mengacak-ngacak rambutnya gusar.

"Astaga, itu bukan pacar aku. Itu bukan siapa-siapa."

"Enggak mungkin si penelpon itu bukan siapa-siapa sedangkan kamu berubah, dan mengabaikan aku setelah mendapat telepon darinya."

Kevin menghela napas dan memposisikan tubuhnya sepenuhnya ke arah Abel dan menatap Abel dengan sangat yakin.

"Tapi dia emang bukan siapa-siapa. Dia bukan pacar aku ataupun selingkuhan aku. Dia-"

"Kalau bukan pacar kamu, terus siapa?" tanya Abel memotong ucapan Kevin. "Kamu enggak ngomong sama aku. Kamu malah bilang 'Udah deh' waktu aku tanya."

"Abel, aku bukannya enggak mau jawab, tapi ini terlalu rumit buat dijelasin. Kamu pasti enggak akan ngerti."

Kevin menggapai tangan Abel, tapi lagi-lagi Abel langsung mengangkat kedua tangannya keatas menghindari Kevin.

"Kebukti, kan sekarang? kamu udah berubah. Kamu bukan Kevin yang aku kenal dulu. Kevin yang aku kenal dulu enggak pernah nyembunyiin apa-apa dari aku. Dia selalu ceritain apapun sama aku. Kevin yang dulu, enggak pernah ngebentak aku dan mengabaikan aku." Abel menahan ucapannya ketika nada bicaranya mulai meninggi, kemudian mengembuskan napas panjang. "Tapi ini enggak masalah. Aku juga udah berubah." Lanjut Abel dengan lebih tenang.

"Abel, aku enggak berubah. Dia bukan siapa-siapa. Percaya sama aku. Ini terlalu rumit aja buat dijelasin."

"Udahlah, engga masalah. Aku cuma nanya, kalau kamu enggak mau jelasin sama aku juga enggak apa-apa. Dan kamu harus tahu, kita udah berubah dan udah punya hidup masing-masing. Aku udah sama Tristan, dan kamu udah sama dia yang rumit."

Kevin baru akan menggapai tangan Abel, tapi wanita itu sudah mengangkat kedua tangannya memberikan jarak diantara mereka. Kemudian Abem pergi dari toilet. Dia tidak berniat kembali ke meja restoran. Hatinya sedang kacau balau. Tidak mungkin dia bisa menghadapi Tristan dan Kevin secara bersamaan. Dia hanya perlu waktu.

***

Kevin kembali ke meja yang masih ada Tristan di sana.

"Loh, Abel mana?" Tanya Tristan begitu Kevin sampai di meja dan duduk kursi.

"Enggak tahu, tadi enggak liat ada di toilet."

Ucap Kevin bohong. Dia hanya tidak mau membahas masalah ini dulu. Baginya ini terlalu cepat. Terlebih bahwa tunangan mantan pacarnya adalah orang terdekatnya. Kevin sendiri masih gamang, harus mulai darimana untuk bertanya pada Tristan.

Ponsel Tristan berdering, lalu dia memeriksanya siapa yang menghubunginya. Sebuah pesan whatsapp dari Abel yang mengatakan bahwa dia akan pulang cepat karena tidak enak badan.

"Tadi kamu mau kenalin aku sama seseorang. Siapa?"

"Oh, itu." Kevin menggaruk pelipisnya. "Enggak dateng kayanya orangnya, Mas."

Trista tersenyum kemudian menyondongkan tubuhnya ke depan. "Pacar?"

Kevin mendongak saat Tristan menyebut kata 'pacar'. Sesaat dia berpikir bahwa mungkin memang seharusnya Tristan tahu. Tapi Kevin ragu untuk membuka suara.

"Vin," Baru saja Kevin membuka mulut, Tristan sudah mendahuli bicara. "Aku bukannya mau mencampuri urusan pribadi kamu, tapi coba kamu pikirin lebih dulu kalau kamu mau kencan sama wanita lain."

"Apa yang harus dipikirin, Mas?"

"Lily."

Kevin tertegun. Dia mengusap wajahnya kasar. Kevin tidak tahu sejak kapan gadis itu menjadi penghalang bagi dirinya untuk mengencani seseorang.

"Mas, dia masih remaja. Bisa jadi itu hanya karena kita sering sama-sama. Perasaan Lily cuma sebatas aku kakanya."

"Tapi dia enggak anggap kamu seperti itu."

"Mas, ini konyol. Aku tahu dia dari sejak dia masih anak-anak. Dan enggak mungkin aku--"

Kevin menghentikan kalimatnya. Dia tampak sangat gusar. Kevin memalingkan wajahnya ke kiri, menatap kaca restoran dengan pemandangan jalan raya. Lama mereka saling terdiam, sampai akhirnya Kevin membuka mulut.

"Aku sama Lily beda 13 tahun Mas, aku enggak bisa. Orang-orang bakal anggap aku pedofilia."

"Lily sudah cukup usia untuk punya perasaan itu sama kamu. Dan kalau dia tahu kamu punya pacar, kamu tahu dia bakal kaya gimana?"

Ya. Kevin tahu Lily akan seperti apa. Tapi Kevin tidak ingin selamanya Lily menjadi penghalang baginya untuk menentukan masa depannya. Kembalinya dia ke Indonesia bukan hanya untuk membantu Barata, tapi juga untu menghindari Lily. Tapi nyatanya gadis itu malah mengikutinya sampai Jakarta.

Dia menyayangi Lily. Sangat. Tapi tidak lebih dari seorang adik. Itu saja.

"Mas mau ke mana?" Kevin menahan Tristan yang beranjak dari kursinya.

"Abel sakit, aku mau nyusul dia."

"Mas udah lama pacaran sama Abel?"

Tristan diam sejenak sebelum akhirnya dia menjawab. "Udah 2 tahun." Ujar Tristan. "Kamu kenal dia?"

"Oh enggak," Kevin menggeleng. "Cuma baru kenal pas di kantor."

Tristan mengangguk, Kevin terdiam.

"Ya udah, aku jalan dulu."

Kevin menghela napas saat Tristan keluar dark restoran dan menghilang dari pandangan. Akhirnya dia mengerti bahwa hidupnya memang sudah berubah. Tapi cintanya untuk Abel justru semakin kuat. Di tambah saingannya Tristan. Belum lagi ada Lily. Posisinya memang sudah benar-benar buntu. Kecuali ada keajaiban.

***

Abel berbaring diatas ranjang menatap langit-langit kamar. Kejadian siang itu masih terus berkeliaran bebas di otak Abel. Sejak makan siang itu Kevin sama sekali tidak berbicara pada Abel. Tapi bukankah itu bagus, jadi Abel tidak usah repot-repot menghindarinya dan berdebat dengannya.

Tapi bagaimana dengan kelanjutan karir Abel di kantor itu, bagaimana jika Kevin sakit hati kemudian Kevin memecat Abel, karena tidak ingin melihat wanita itu lagi. Tapi rasanya tidak mungkin. Kevin bukan tipe orang yang seperti itu. Tapi masa bodoh siapa yang peduli jika dirinya di pecat. Toh sebentar lagi Abel akan menjadi istri Tristan.

Tunggu, kenapa Abel merasa aneh dengan predikat itu. Bukannya dia harusnya bahagia. Tapi kenapa dia jadi tidak yakin.

Maksudnya, Abel memang mencintai Tristan, tapi selama ini hubungannya dengan Tristan semakin hari semakin buruk. Bertengkar dan salah paham hanya gara-gara masalah sepele. Jika sekarang saja Abel dan Tristan selalu mempermasalahkan sesuatu yang tidak penting, bagaimana bisa mereka mempertahankan pernikahan yang akan berlangsung seumur hidup.

Abel tidak bisa. Tidak. Tidak. Dia harus yakin dengan keputusannya. Abel mencintai Tristan dan dia tidak boleh punya pikiran seperti ini.

"Aku tidak ragu. Aku yakin."

Abel bangkit berdiri dari ranjangnya berniat untuk pergi ke kosannya Annisa. Barangkali saja anak itu bisa memberinya sedikit solusi atas masalahnya saat ini.